Langsung ke konten utama

MAKALAH Aliran-Aliran dalam Teologi Islam “MUKTAZILAH"




MAKALAH

Aliran-Aliran dalam Teologi Islam “MUKTAZILAH”
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teosofi
Dosen Pengampu : Rovita Agustin Zulaimiah, M.A


Hasil gambar untuk logo uin malang
 









Disusun Oleh :
Rodiyatul Jannah                            (16320001)
Balqist Hamada                              (16320021)
Dea Kartika Sari                             (16320049)
Fadhoilul Amri                               (16320069)
Nurin Naufina                                (16320168)


JURUSAN SASTRA INGGRIS
FAKULTAS HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017/2018
 




DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................  ii
BAB I PENDAHULUAN
A.        Latar Belakang Masalah ................................................................  1
B. ... Rumusan Masalah ..........................................................................  2
C..... Tujuan .............................................................................................  2
BAB II PEMBAHASAN
A.     Biografi Tokoh- Tokoh Aliran Muktazilah ..................................  3
B.     Kerangka Berfikir Aliran Mu’tazilah ........................................... 6
C.     Akal dan wahyu ..............................................................................  7
D.     Free Will dan Predestination .........................................................  9
E.     Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan .................................  10
F.      Keadilan Tuhan ............................................................................  12
G.     Perbuatan-perbuatan Tuhan ...........................................................  15
H.     Sifat-Sifat Tuhan ..........................................................................  17
I.       Konsep Iman dan Kufur ..............................................................  18
BAB III PENUTUP
A.     KESIMPULAN .............................................................................  21
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................  22








BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Banyak aliran dan mazhab yang timbul sepanjang sejarah umat Islam. Mulai dari timbulnya aliran berlatarbelakang politik, yang kemudian aliran tersebut berevolusi dan memicu kemunculan aliran bercorak akidah (teologi), hingga bermacam mazhab Fikih, Ushul Fikih dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Jika dilihat dari sisi positif, keberagaman aliran dan mazhab dalam Islam itu menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang kaya dengan corak pemikiran. Ini berarti umat Islam adalah umat yang dinamis, bukan umat yang statis dan bodoh yang tidak pernah mau berfikir.
Namun dari semua aliran yang mewarnai perkembangan umat Islam itu, tidak sedikit juga yang mengundang terjadinya konflik dan membawa kontroversi dalam umat, khususnya aliran yang bercorak atau berkonsentrasi dalam membahas masalah teologi. Satu diantara golongan/aliran itu adalah Mu’tazilah. Banyak yang mengidentikkan Mu’tazilah dengan aliran sesat, cenderung merusak tatanan agama Islam dan dihukumi telah keluar dari ajaran Islam. Namun juga tidak sedikit yang menganggap Mu’tazilah sebagai ikon utama dari kebangkitan umat Islam di masa keemasannya
Meskipun demikian, agar tidak terjebak dalam kontroversi dan kesalahpahaman, maka perlu dilakukan usaha-usaha untuk mengkaji kelompok ini secara objektif di setiap sisinya. Karena itu, penulis mencoba menguraikan beberapa hal yang berkaitan tentang Mu’tazilah dalam makalah ini.


B. Rumusan Masalah
Untuk memperjelas arah pembahasan, penulis akan membatasi pembahasan materi yakni:
1.      Siapa dan Bagaimana biografi dari tokoh pendiri aliran Mu’tazilah?
2.      Bagaimana Kerangka Pemikiran dari makalah ini?
3.      Bagaimana Pemikiran Mu’tazilah Tentang akal dan Wahyu?
4.      Bagaimana Pemikiran Mu’tazilah Tentang Free will dan Predestination?
5.      Bagaimana Pemikiran Mu’tazilah TentangKekuasaan dan kehendak Mutlak Tuhan?
6.      Bagaimana Pemikiran Mu’tazilah Tentang Keadilan Tuhan?
7.      Bagaimana Pemikiran Mu’tazilah Tentang Perbuatan-perbuatan Tuhan?
8.      Bagaimana Pemikiran Mu’tazilah Tentang Sifat-sifat Tuhan?
9.      Bagaimana Pemikiran Mu’tazilah Tentang Konsep Iman-kufur?

C.  Tujuan
1.      Mengetahui Biografi Tokoh Pendiri Mutazilah.
2.      Mengetahui Kerangka Berfikir dari Makalah.
3.      Mengetahui Pemikiran Mu’tazilah Tentang akal dan Wahyu.
4.      Mengetahui Pemikiran Mu’tazilah Tentang Free will dan Predestination.
5.      Mengetahui Pemikiran Mu’tazilah Tentang Kekuasaan dan kehendak Mutlak Tuhan.
6.      Mengetahui Pemikiran Mu’tazilah Tentang Keadilan Tuhan.
7.      Mengetahui Pemikiran Mu’tazilah Tentang Perbuatan-perbuatan Tuhan.
8.      Mengetahui Pemikiran Mu’tazilah Tentang Sifat-sifat Tuhan.
9.      Mengetahui Pemikiran Mu’tazilah Tentang Konsep Iman-kufur.
BAB II
PEMBAHASAN
A.        Biografi Tokoh Aliran Muktazilah
a)      Wasil bin Atha
Ia adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran Muktazilah. Ia lahir di tahun 81 H. di Madinah dan meninggal tahun 131 H. Ada tiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Muktazilah, yaitu al-manzilah bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.
b)   Abu Huzail al-‘Allaf
 Nama lengkapnya adalah Abu Hauzail Hamdan ibn Huzail al-‘Allaf.[1] Kelebihan Al-’Allaf adalah ia mempunyai pengetahuan yang luas, pemikiran mendalam, lisan fasih, argumentasi kuat, pendebat alian dualisme dan rafidah. Ia wafat pada tahun 235 H. Ia merupakan seorang pengikut aliran Wasil bin Atha. Abu Huzail mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kota Bashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam.
Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah). Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik dari pihak rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang, tragedi mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini.
Abu Huzail al-Allaf adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak falsafah yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Muktazilah yang bercorak filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang kadim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan), berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa kepada kemusyrikan. Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula manusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh wa al-aslah.
c)  An-Nazzam
Nama lengkapnya adalah Ibrahim ibn Sayyar ibn Hani al-Nazzam.[2] Ia lahir di Basrah tahun 185 H. dan meninggal dunia dalam usia muda di tahun 221 H. Ia mempunyai kecerdasan yang lebih dari gurunya. Abu Huzail. Ia juga mempunyai hubungan dengan Filsafat Yunani.
Pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian. Ia juga mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya, mukjizat al-Quran terletak pada kandungannya, bukan pada uslub (gaya bahasa) dan balagah (retorika)-Nya. Ia juga memberi penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam adalah segalanya sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak kadim.[3]
d)  Al- Jahiz
Dalam tulisan-tulisan al-Jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai paham naturalism atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum muktazilah disebut Sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, malainkan ada pengaruh hukum alam.
e)   Mu’ammar bin Abbad Mu’ammar bin Abbad
Ia merupakan pendiri muktazilah aliran Baghdad. pendapatnya tentang kepercayaan pada hukum alam. Pendapatnya ini sama dengan pendapat al-jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi. Adapun al-‘arad atau accidents (sesuatu yang datang pada benda-benda), itu adalah hasil dari hukum alam. Misalnya, jika sebuah batu dilemparkan ke dalam air, maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan hasil ciptaan Tuhan.
f)   Bisyr al-Mu’tamir
Ajarannya yang penting menyangkut pertanggung jawaban perbuatan manusia. Anak kecil baginya tidak dimintai pertanggung jawaban atas perbuatannya di akhirat kelak karena ia belum mukalaf. Seorang yang berdosa besar kemudian bertaubat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah bertaubat atas dosa besarnya yang terdahulu.
g)  Abu Musa al-Mudrar
Al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin Muktazilah yang sangat ekstrim, karena pendapatnya yang mudah mengafirkan orang lain. Menurut Syahristani, ia menuduh kafir semua orang yang mempercayai kekadiman Al-Quran. Ia juga menolak pendapat bahwa di akhirat Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala.
h)    Hisyam bin Amr al-Fuwati
Al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alasan yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum waktunya orang memasuki surga dan neraka.[4]

B.        Kerangka Berfikir Aliran Mu’tazilah
Aliran Muktazilah pada dasarnya memiliki pola pemikiran yang cenderung rasionalis. Hal ini disebabkan banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani yang membawa pemujaan akal ke dalam pemikiran Islam. Kaum Muktazilah banyak dipengaruhi hal ini dan tidak mengherankan kalau dalam pemikiran teologi mereka banyak dipengaruhi oleh daya akal dan teologi mereka memiliki corak liberal.[5]
Aliran Mu'tazilah mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat-sifat yang melekat pada dirinya. Selanjutnya, Mu'tazilah berpendapat bahwa Tuhan bersifat immateri, dan tidak dapat dilihat dari mata kepala.
Aliran Mu’tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas. Oleh karena itu, Mu’tazilah menganut faham Qadariyah atau Free Will. Aliran Mu’tazilah mengecam keras faham yang mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan.  Aliran Mu’tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan manusia berperan sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah bentuknya.
Mu’tazilah adalah golongan yang mengatakan bahwa orang melakukan dosa besar bukan mu’min dan bukan kafir, tetapi menduduki tempat diantara mu’min dan kafir. Iman menurut Muktazilah adalah amal perbuatan yang merupakan terpenting dalam konsep iman bahkan hampir mengidentikannya dengan iman.
Kufur menurut Muktazilah adalah orang yang berbuat dosa bukan kafir dan bukan muslim tapi dia adalah fasik.
Kufur menurut mereka adalah orang yag melakukan dosa besar dan tidak bertobat pada Allah.
Di antara doktrin Muktazilah yang dimunculkan oleh mereka yaitu mengenai Kalam Mukatzilah, yang dirumuskan dalam lima prinsip pokok yang disebut “al-Ushul al-Karimah”. (1) At-Tauhid (Keesaan Tuhan), (2) Ad-Adl (Keadilan-Nya), (3) Al-Wa’d wa al’Wa’id (Janji dan ancaman-Nya), (4) Al-Manzilah bain al-Manzilatain (Posisi di antara dua posisi), (5) Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Perintah untuk melakukan perbuatan baik dan mencegah perbuatan jahat).[6]

C.        Akal dan wahyu
Kata akal berasal dari bahasa Arab (اْلعَقْل ) yang berarti faham dan mengerti. Al-Kindi (796-873 M) menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya, yaitu daya nafsu yang berada di perut, daya berani yang bertempat di dada dan daya berfikir yang berpusat di kepala. Filosof lain juga memberikan pembagian tiga pula, tetapi sejalan dengan filsafat Aristoteles, mereka menyebutnya bukan tiga daya, tetapi tiga jiwa, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan, jiwa binatang dan jiwa manusia.[7] Jiwa manusia inilah merupakan pusat daya berfikir yang disebut akal.
Kaum teolog mengartikan akal sebagai daya untuk memperoleh pengetahuan. Abu Huzail mengatakan bahwa “akal merupkan daya untuk memperoleh pengetahuan, dan juga daya yang membuat seseorang dapat membedakan antara dirinya dan benda lain, dan juga antara benda yang satu dari yang lain”. Lebih jauh lagi menurut kaum teolog akal juga mempunyai daya untuk membedakan antara kebaikan dan kejahatan.[8]
Sedangkan Wahyu secara etimologis, mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Wahyu juga mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan terjadi dengan cepat. Secara konseptual, wahyu menunjukan kepada nama-nama yang lebih dikenal seperti Al-kitab, Risalah, Al-Qur’an dan Balagh. Dengan demikian wahyu berarti penyampaian kalam Allah kepada Nabi pilihan-Nya untuk disampaikan kepada manusia sebagai pedoman hidup. Dalam islam wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad terkumpul dalam Al-Qur’an
·         Akal dan Wahyu Menurut Mu’tazilah
Kaum mu’tazilah dikenal dengan kaum yang banyak menggunakan pemikiran secara akal dalam pembahasan teologinya. Sehingga aliran ini sering disebut kaum rasionalis islam. Sebagaimana yang dikemukakan oleh para tokohnya, segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal. Kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam, dengan demikian berterimakasih kepada Tuhan sebelum turun wahyu adalah wajib. Baik dan jahat diketahui oleh akal, demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk wajib pula.[9]
      Selanjutnya wahyu bagi mu’tazilah berfungsi memberi penjelasan tentang perincian pahala dan siksa di akhirat. Abd al-Jabar mengatakan, akal tidak dapat mengetahui bahwa pahala untuk suatu perbuatan baik lebih besar dari upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik yang lain. Demikian pula akal tidak mengetahui bahwa siksa bagi suatu perbuatan buruk lebih besar daripada siksa untuk suatu perbuatan buruk lainnya. Semua ini hanya diketahui melalui wahyu.
      Jadi mnurut mu’tazilah, wahyu berfungsi sebagai konfirmasi dan informasi, maksudnya wahyu memperkuat apa-apa yang telah diketahui akal dan menerangkan apa-apa yang belum diketahui akal. Dengan demikian, wahyu menyempurnakan pengetahuan yang diperoleh akal.


D.        Free Will dan Predestination
Menurut Harun Nasution yang kemudian diikuti Dr. Hasan Zaini, Qadariyah dalam isitlah inggrisnya dikenal dengan nama free will, sedangkan Jabaiyyah dikenal dengan sebutan predestination atau fatalism. Dengan demikian, terdapat hubungan yang erat sekali antara istilah-istilah itu. Namun, disini yang akan dibicarakan bukan mengenai kedua aliran itu melainkan nilai dan fahamnya.
Menurut Drs. H.Z.A. Syihab dalam bukunya Aqidah Ahlus-sunnah, kaum Muktazilah disebut golongan Muatthilah yakni menafikan sifat-sifat Allah. Di samping menafikan sifat-sifat Allah, mereka juga mengatakan bahwa tindakan dan perbuatan makhluk bukanlah diciptakan oleh Allah, melainkan diciptakan oleh makhluk itu sendiri (tawallud). Jadi, menurut mereka, Allah hanya menciptakan makhluk, lalu oleh makhluk itu  menciptakan pekerjaan sendiri. Misalnya, sebentuk cincin di jari tangan manusia, kalau cincin itu bergerak, adalah proses dari pergerakan tangan yang digerakkan oleh manusia. Jadi, gerakan itu bukan digerakan oleh Tuhan. Sedangkan menurut ahlus sunnah waljama'ah, segala perbuatan dan tindakan manusia diciptakan oleh Allah, bukan oleh manusia. Firman Allah (Qs. Ash Shaffat:96)[10]
Al-Juba’I mempunyai pandangan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Manusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kemauannya sendiri. Dan daya (al-Isthitha’ah) untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan. Begitu juga dengan al-Qadh Abd al-Jabbar. Menurutnya, perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia. Tetapi, manusia sendirilah yang mewujudkannya. Perbuatan adalah apa yang dihasilkan dengan daya yang bersifat baru. Manusia adalah makhluk yang dapat memilih. Tuhan, menurut Abd al-Jabbar, tidak akan menyiksa atau memberi pahala kepada seseorang berdasar kehendak mutlak-Nya, tetapi karena amal yang dilakukannya. Dalam pengertiannya sebagai suatu tindakan, amal yang dilakukan seseorang terjadi karena pilihan bebasnya. Karena itu, menjadi mukmin atau kafir bukanlah ditetapkan oleh kehendak mutlak Tuhan, tetapi merupakan pilihannya sendiri. Akan tetapi, agar pilihan tersebut berjalan adil pula, Allah wajib menurunkan petunjuk, aturan, dan mengirim nabi-nabi dengan membawa peringatan. Jika semua itu telah diberikan Tuhan, maka manusia dipersilahkan memilih menjadi iman atau kafir.[11]

E.        Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
Sebagai akibat dari perbedaan paham yang terdapat dalam aliran-aliran teologi Islam mengenai soal kekuatan akal, fungsi wahyu dan kebebasan serta kekuasaan manusia atas kehendak dan perbuatannya, terdapat pula perbedaan paham tentang kekuasaan dan kebendak mutlak Tuhan. Bagi aliran yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya besar dan manusia bebas dan berkuasa atas kehendak dan perbuatannya, kekuasaan dan kehendak Tuhan pada hakikatnya tidak lagi bersifat mutlak semutlak-mutlaknya. bagi kaum Mu'tazilah, kekuasaan dan kehendak Tuhan tidak lagi mempunyai sifat mutlak semutlak- mutlaknya.
Menurut al-Dawwani, Tuhan adalah Maha Pemilik (Al Malik) yang bersifat absolut dan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya di dalam kerajaan-Nya dan tak seorang pun yang dapat mencela perbuatan-Nya. Yaitu, sungguhpun perbuatan-perbuatan itu oleh akal manusia dipandang bersifat tidak baik dan tidak adil.
Dalam hubungan ini al-Baghdadi mengatakan bahwa boleh saja. Tuhan melarang apa yang telah diperintahkan-Nya dan memerintahkan apa yang telah dilarang-Nya. Lebih tegas ia menulis:
“Tuhan bersifat adil dalam segala perbuatan-Nya. Tidak ada suatu larangan pun bagi Tuhan. la buat apa saja yang dikendaki-Nya. Seluruh makhluk-Nya dan milik-Nya dan perintah Nya adalah di atas segala perintah. Ia tak berlanggang tentang perbuatan-perbuatan-Nya kepada siapa pun”.
Al-Ghazali juga mengeluarkan pendapat yang sama Tuhan dapat buat apa saja yang dikehendaki-Nya, dapat memberikan hukum menurut kehendak-Nya, dapat menyiksa orang yang berbuat baik jika dikehendaki-Nya dan dapat memberi upah orang kafir jika yang demikian dikehendaki Nya.
      Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya kekuasaan tidak bersifat mutlak lagi. Seperti terkandung dalam uraian Nadir, kekuasaan mutlak Tuhan telah dibatasi oleh kebebasan yang menurut paham Mu’tazilah, telah diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatan. Seterusnya kekuasaan mutlak itu dibatasi pula oleh sifat keadilan Tuhan. Tuhan tidak bisa lagi berbuat sekehendaknya, Tuhan telah terikat pada norma-norma keadilan yang kalau dilanggar, membuat Tuhan bersifat tidak adil bahkan zalim. Sifat serupa ini tak dapat diberikan kepada Tuhan. Selanjutya, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi lagi oleh kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia yang menutur paham Mu’tazilah memang ada. Lebih lanjut lagi, kekuasaan mutlak itu dibatasi pula oleh natur atau hukum alam (sunnah Allah) yang tidak mengalami perubahan.[12]
Bahwa kaum Mu'tazilah menganut paham bahwa tiap-tiap benda mempunyai natur atau hukum sendiri, telah disebut dalam Bagian Pertama. Di sini ada baiknya ditambahkan tulisan pemuka Mu'tazilah lainnya.
Al-Jahiz mengatakan bahwa tiap-tiap benda mempunyai sifat dan natur sendiri yang menimbulkan efek tertentu menurut natur masing-masing. Lebih tegas al-Khayyat menerangkan bahwa tiap benda mempunyai natur tertentu, dan tak dapat menghasilkan kecuali efek yang itu-itu juga; api tak dapat menghasilkan apa-apa kecuali panas dan es tidak dapat menghasilkan apa-apa kecuali dingin. Efek yang ditimbulkan tiap benda, menurut Mu'ammar seperti gerak, diam, warna, rasa, bau, panas, dingin, basah dan kering, timbul sesuai dengan natur dari masing-masing benda yang bersangkutan. Sebenarnya efek yang ditimbulkan tiap benda bukan perbuatan Tuhan. Perbuatan Tuhan hanyalah menciptakan benda-benda yang mempunyai natur tertentu.
Dari tulisan-tulisan seperti di atas itu dapat ditarik kesimpulan bahwa kaum Mu'tazilah percaya pada hukum alam atau Sunnah Allah yang menganut perjalanan kosmos dan dengan demikian menganut paham determinisme. Dan determinisme ini bagi mereka, sebagai kata Nader, tidak berubah-ubah sama dengan keadaan Tuhan yang juga tidak berubah-ubah.
Sebagai penjelasan selanjutnya bagi paham sunnah Allah yang tak berubah-ubah dan determinisme ini, ada baiknya dibawa di sini uraian Tafir al-Manar. Segala sesuatu di alam ini, demikian, berjalan menurut sunnah Allah dan sunnah Allah itu dibuat Tuhan sedemikian rupa sehingga sebab dan musabab di dalamnya mempunyai hubungan yang erat. Bagi tiap sesuatu Tuhan menciptakan Sunnah tertentu. Umpamanya sunnah yang mengatur hidup berlainan dengan sunah yang mengatur hidup tumbuh-tumbuhan. Bahkan juga ada sunnah yang tidak berubah-ubah untuk mencapai kemenangan. Jika seseorang mengikuti jalan yang ditentukan sunnah ini, orang akan mencapai kemenangan, tetapi jika ia menyimpang dari jalan yang ditentukan sunnah itu, ia akan mengalami kekalahan. Ada pula sunnah yang membawa pada kesenangan dan ada pula yang membawa pada kesusahan. Keadaan seseorang kafir tidak mempunyai pengaruh dalam hal ini. Sunnah tidak kenal pada pengecualian, sungguhpun pengecualian untuk Nabi-nabi. Sunnah tidak berubah-ubah dan Tuhan tidak menghendaki supaya sunnah sekali-sekali menyalahi natur. Oleh karena itu orang sakit yang memohon pada Tuhan supaya ia diberikan kesehatan kembali, sebenarnya meminta: "Tuhanku, hentikanlah untuk kepentinganku Sunnah-Mu yang Engkau katakan tidak akan berubah-ubah itu" Jelas bahwa sunnah Allah tidak mengalami perubahan atas kehendak Tuhan sendiri dan dengan demikian merupakan batasan bagi kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Semua uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa dalam paham Mu'tazilah kekuasaan mutlak Tuhan mempunyai batasan-batasan; dan Tuhan sendiri, sebagai kata al-Manar, tidak bersikap absolut halnya dengar Raja Absolut yang menjatuhkan hukuman menurut kehendaknya semata-mata, Keadaan Tuhan, dalam ini, lebih dekat menyerupai keadaan Raja Konstitusional, yang kekuasaannya dan kehendaknya dibatasi oleh konstitusi.[13]

F.         Keadilan Tuhan
Prinsip Al-Adl (Keadilan-Nya) didefinisikan bahwa semua perbuatan-Nya adalah baik. Dia tidak mungkin melakukan sesuatu yang tidak baik. Dia juga tidak mungkin meninggalkan apa pun yang merupakan kewajiban bagi-Nya. Dikatakan oleh al-Khayyat, salah satu tokoh Muktazilah, “Seseorang tidak berhak atas nama ‘iktizal’ kecuali ia berpegang pada keseluruhan dari lima prinsip Muktazilah, yaitu tauhid, keadilan, janji dan ancaman, posisi di antara dua posisi, dan amar makruf nahi munkar. Jika kelima hal ini ada pada diri seseorang, maka ia adalah seorang Muktazilah”.
1)      Allah tidak berdusta dalam firman-Nya, dan kedustaan tidak boleh menjadi hukum-Nya.
2)      Allah tidak menyiksa anak-anak orang musyrik, karena dosa orangtuanya.
3)      Allah tidak memberikan mukjizat kepada orang-orang yang banyak berdusta.
4)      Allah tidak membebani hamba-Nya dengan sesuatu yang tidak dapat dilakukan dan tidak dapat diketahui (dipahami). Sebaliknya Dia membuat hamba-Nya mampu melakukan beban yang diberikan, membuat mereka mengetahui sifat beban itu, dan menunjukan serta menjelaskannya kepada mereka. Sedemikian, sehingga orang yang dibinasakan maupun yang dihidupkan, adalah berdasarkan atas keterangan yang telah diberikan yaitu, karena ketaatan dan kelalaian mereka sendiri.
5)      Allah pasti memberikan balasan yang baik kepada manusia yang menjalankan kewajibannya secara baik dan benar.
6)      Rasa sakit dan sakit yang ditimpakan Allah atas orang mukalaf adalah untuk kepentingan mukalaf itu sendiri. Kalau tidak, maka dia berarti telah meninggalkan kewajiban-Nya. [14]
7)      Pandangan Allah tentang hamba-Nya, mengenai hal-hal yang berkenaan dengan agama, tugas serta kewajiban adalah lebih baik daripada pandangan mereka sendiri mengenai hal itu.[15]
Kebebasan manusia yang memang diberikan Tuhan kepadanya bermakna kalau Tuhan membatasi kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya. Demikian pula keadilan Tuhan membuat Tuhan sendiri terikat pada norma-norma keadilan yang bila dilanggar membuat Tuhan bersifat tidak adil atau zalim.
Maka, aliran Mu`tazilah mengatakan bahwa sebenarnya kekuasaan Tuhan tidak mutlak lagi. Ketidakmutlakan kekuasaan Tuhan itu disebabkan oleh kebeasan yang diberikan Tuhan terhadap manusia serta adanya hukum alam (sunatullah) yang menurut Al-Quran tidak pernah berubah.
Oleh sebab itu, menurut pandangan aliran Mu`tazilah kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan berlaku dalam jalur hukum-hukum yang tersebar di tengah alam semesta. Itulah sebabnya mu’tazilah mempergunakan ayat 62 surat al-Ahzab di samping ayat-ayat yang menjelaskan kebebasan manusia yang disinggung dalam pembicaraan tentang free will dan free act.
Keadilan itu sendiri mereka tinjau dari sudut pandangan manusia, bagi mereka seperti yang diterangkan oleh Abd al-Jabbar, keadilan erat kaitannya dengan hak dan keadilan diartikan memberikan orang akan haknya. Kata-kata “Tuhan Adil” mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik, bahwa ia tidak dapat berbuat yang buruk dan bahwa ia tidak dapat mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia.
 Oleh karena itu Tuhan tidak boleh bersifat zalim dalam memberi hukuman, tidak dapat menghukum anak orang musyrik lantaran dosa orang tuanya, dan mesti memberi upah kepada orang orang yang patuh kepada-Nya dan memberikan hukuman kepada orang orang yang menentang perintah-Nya. Selanjutnya, keadilan juga mengandung arti berbuat semestinya serta seusai dengan kepentingan manusia. Demikian, memberi upah atau hukuman kepada manusia itu sejajar dengan corak perbuatannya. Menurut al–Nazzam dan pemuka pemuka Mu’tazilah lainnya, bahwasanya Tuhan tidak dapat dikatakan bahwa Tuhan berdaya untuk bersifat zalim, berdusta dan tidak dapat untuk tidak memberi apa yang terbaik bagi manusia.[16]

G.        Perbuatan-perbuatan Tuhan
·         Kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap Manusia
Sebagaimana dilihat dalam uraian tentang kekuasaan mutlak dan keadilan Tuhan, kaum Mu'tazilah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap manusia. Kewajiban-kewajiban itu dapat disimpulkan dalam satu kewajiban, yaitu kewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia.
Dalam paham ini termasuklah kewajiban-kewajiban seperti kewajiban Tuhan menepati janji-janji-Nya, kewajiban Tuhan mengirim Rasul-rasul untuk memberi petunjuk kepada manusia, kewajiban Tuhan memberi rezeki kepada manusia dan sebagainya.
Paham bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban timbul sebagai akibat dari konsep kaum Mu'tazilah tentang keadilan Tuhan dan sejajar dengan paham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.

·         Berbuat Baik dan Terbaik
Dalam istilah Arabnya berbuat baik dan terbaik bagi manusia Al-Salah wa Al-Aslah. Term ini dalam teologi Islam terkenal dengan term Mutazilah, dan yang dimaksud ialah kewajiban Tuhan berbuat baik bahkan yang terbaik bagi manusia. Hal ini memang merupakan salah satu keyakinan yang penting bagi kaum Mu'tazilah.

·         Beban di Luar Kemampuan Manusia
Memberi beban di luar kemampuan manusia (taklif ma la yutaq) adalah bertentangan dengan paham berbuat baik dan tertbaik. Oleh karena itu kaum Mu'tazilah tak dapat menerima paham bahwa Tuhan dapat memberikan kepada manusia beban yang tak dapat dipikul. Hal ini juga bertentangan dengan paham mereka tentang keadilan Tuhan. Tuhan akan bersifat tidak adil, kalau ia memberi beban yang lerlalu berat kepada manusia. [17]
·         Pengiriman Rasul-rasul
Bagi kaum Mu'tazilah dengan kepercayaan mereka bahwa mengetahui hal-hal tentang alam gaib, pengiriman Rasul-Rasul sebenarnya tidak begitu penting. sebagaimana telah dilihat dalam pembahasan-pembahasan tentang wahyu, fungsi wahyu lebih banyak bersifat memperkuat dan menyempurnakan apa-apa yang telah dimilikinya.
Pengiriman Rasul-rasul mempunyai arti yang besar bagi kaum Asy’ ariah, karena banyak bergantung pada wahyu Tuhan dan alam gaib, bahkan juga untuk mengetahui hal-hal yang bersangkutan dengan hidup keduniaan manusia. Bagi merekalah Rasul rasul mempunyai sifat sedangkan bagi kaum Mu’tazilah pengiriman yang demikian seharusnya tidak mempunyai sifat wajib. Tetapi sebagaimana lelah disebut di atas, kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa pengiriman Rasul kepada umat manusia menjadi salah satu kewajiban Tuhan. Argumen yang dimajukan kaum Mu'tazilah untuk ini ialah keadaan akal tidak dapat mengetahui segala apa yang harus diketahui manusia tentang Tuhan dan alam gaib. Oleh karena Tuhan berbuat baik dan terbaik bagi manusia, wajiblah bagi Tuban untuk mengirim Rasul-rasul kepada umat manusia. Tanpa pengiriman Rasul-asal. Manusia tidak akan dapat memperoleh hidap baik dan terbaik, di dunia maupun di akhirat nanti. Argumen inilah yang dipakai dalam Syarh al-Usulal-Khamsah untuk menyongkong pendapat mereka tentang sifat wajibnya pengiriman Rasul-rasul kepada umat manusia.

·         Janji dan Ancaman
Dalam perbuatan-perbuatan Tuhan termasuk perbuatan menepeti janji dan menjalankan ancaman (al-wa'd wa al-wa'id). Sebagaimana diketahui, janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan kaum Mu'tazilah. Hal ini erat hubungannya dengan dasar kedua, yaitu keadilan. Tuhan akan bersifat tidak adil, jika tidak menepati janji untuk memberi upah kepada orang yang baik, dan jika tidak menjalankan ancaman untuk memberi kepada orang berbuat jahat. Juga, menurut 'Abd al-Jabbar, hal ini akan membuat Tuhan mempunyai sifat berdusta. Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan ancaman, bertentangan dengan maslahat dan kepentingan manusia. Oleh karena itu menepati janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan.[18]

H.        Sifat-sifat tuhan
Aliran mu’tazilah memandang dirinya sebagai aliran ahlut tauhid wal ‘adil dengan menafikan sifat-sifat tuhan, tujuannya adalah untuk menyucikan keesaan tuhan. Golongan mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa tuhan tidak mempunyai sifat. Definisi mereka tentang tuhan, sebagaimana dijelaskan oleh al-Asy’ari, bersifat negatif.
Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai hajat dan sebagainya. Ini tidak berarti bahwa tuhan bagi mereka tidak mengetahui, tidak berkuasa, tidak hidup dan sebagainya. Tuhan tetap mengetahui, berkuasa, dan sebagainya, tetapi mengetahui, berkuasa, dan sebagainya tersebut bukanlah sifat dalam arti kata sebenarnya. Artinya tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan itu adalah tuhan itu sendiri. Washil bin Atha’ menegaskan bahwa siapa saja yang menetapkan adanya sifat qadim bagi Allah Swt, ia telah menetapkan adanya dua tuhan. Mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan tidak memiliki sifat, sebab apabila tuhan memiliki sifat, sifat tersebut harus kekal seperti halnya zat tuhan. Jika sifat-sifat itu kekal, maka yang kekal bukan hanya satu tetapi banyak. Tegasnya, kekalnya sifat-sifat membawa pada pemahaman banyak yang kekal. Selanjutnya paham ini akan membawa kepada paham politheisme atau syirik. Aliran mu’tazilah memberikan daya yang besar kepada akal berpendapat bahwa tuhan tidak dapat memiliki sifat-sifat jasmani.
Mereka mentakwilkan ayat-ayat yang memberikan kesan bahwa tuhan bersifat jasmani secara metaforis. Dengan kata lain, ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan tuhan bersifat jasmani ditakwil dengan pengertian yang layak bagi kebesaran dan keagungan Allah. Misalnya, kata “istawa” dalam surah Thaha ayat lima ditakwil dengan “al-Istila wa al-Ghalabah” (menguasai dan mengalahkan), kata ini dalam surah Thaha ayat 39 ditakwilkan dengan “ilmi” (pengetahuanKu), kata “wajhah” dalam surah al-Qashash ayat 88 ditakwilkan dengan “zatuhu ayy nafsuhu” (zat-Nya, yakni diri-Nya), kata “yadd” dalam surah Shad: 75 ditakwilkan dengan “al quwwah” (kekuatan). Mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan karena bersifat immateri, tidak dapat dilihat oleh mata kepala. Karena, pertama tuhan tidak mengambil tempat sehingga tidak dapat dilihat. Kedua, bila tuhan dapat dilihat dengan mata kepala, berarti tuhan dapat dilihat sekarang di dunia, padahal kenyataannya tidak ada seorangpun yang dapat melihat tuhan di alam ini.

I.          Konsep Iman dan Kufur
Muhammad Ahmad (1998: 19-21) mengemukakan bahwa kata iman berasal dari bahasa Arab yang berarti tasdiq (membenarkan). Iman ialah kepercayaan dalam hati meyakini dan membenarkan keberadaan Tuhan dan membenarkan semua yang di bawa Nabi Muhammad SAW. Karena iman, seseorang mengakui sesuatu yang wajib dan mustahil bagi Allah. Iman menjadikan seorang mukmin berbahagia dan berhak untuk mendapatkan surga Tuhan kelak dihari akhir.
Sedangkan kufur daalam pembahasan ini adalah keadaan tidak percaya atau tidak beriman kepada Allah SWT. dengan demikian, orang yang kafir adalah orang yang tidak percaya atau tidak beriman kepada Allah, baik orang tersebut bertuhan selain Allah maupun tidak bertuhan, seperti apabila komunis (ateis).
Kekafiran jelas sangat bertentangan dengan akidah islam atau tauhid sebab tauhid sebab ttauhid merupakan kepercayaan dan keimanan atau keyakinan terhadap keberadaan Allah SWT. orang kafir sering melakukan penantangan kepada Allah dan ketentuan-ketentuan syariat-Nya. Mereka selalu berupaya dengan berbagai cara agar islam dan kepercayaannya lenyap dari permukaan bumi.
Dengan demikian, kufur merupakan kondisi seseorang yang tidak mengikuti ketentuan-ketentuan syari’at yang telah digariskan oleh Allah. Oleh sebab itu, kufur mempunyai lubang-lubang yang kalau tidak hati-hati, seseorang akan terjerumus ke dalam lubang yang menyesatkan seperti syirik, nifaq, murtad, tidak mau bersyukur, dan sebaagainya.[19]
Menurut paham mu’tazilah Iman adalah tashdiq di dalam hati, iktar dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan konsep ini mengaitkan perbuatan manusia dengan iman, karena itu, keimanan seseorang ditentukan pula oleh amal perbuatannya. Konsep ini dianut pula olah Khawarij. Menurut mereka iman adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada Tuhan. Jadi, orang yang membenarkan (tashdiq) tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban itu tidak dikatakan mukmin. Tegasnya iman adalah amal. Iman tidak berarti pasif, menerima apa yang dikatakan orang lain, iman mesti aktif karena akal mampu mengetahui kewajiban-kewajiban kepada Tuhan. Kaum Mu’tazilah juga berpendapat bahwa orang mukmin yang mengerjakan dosa besar dan mati sebelum tobat, tidak lagi mukmin dan tidak pula kafir, tetapi dihukumi sebagai orang fasiq.[20]
Kemunculan aliran Mu’tazilah dalam pemikiran teologi Islam diawali oleh masalah yang hampir sama dengan kedua aliran yang telah dijelaskan di atas, yaitu mengenai status pelaku dosa besar; apakah masih beriman atau telah menjadi kafir. Perbedaanya, bila Khowarij mengkafirkan pelaku dosa besar dan Mu’tazilah memelihara keimanan pelaku dosa besar, Mu’tazilah tidak menentukan status predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar, apakah ia tetap mukmin atau kafir, kecuali dengan sebutan yang sangat terkenal, yaitu al-manzilah bain al-manzilatain. Setiap pelaku dosa besar, menurut Mu’tazilah, berada di posisi tengah di antara posisi mukmin dan posisi kafir. Jika pelakunya meninggal dunia dan belum sempat bertobat, ia akan dimasukkan ke dalam neraka selama-lamanya. Walaupun demikian, siksaan yang diterimanya lebih ringan daripada siksaan orang kafir. Dalam perkembanganya, tokoh Mu’tazilah seperti Wasil bin Atha dan Amr bin Ubaid memperjelas sebutan itu dengan istilah fasik yang bukan mukmin atau kafir.
Mengenai perbutan apa saja yang dikatagorikan sebagai doas besar, aliran Mu’tazilah merumuskan secara lebih konseptual ketimbang aliran Khawarij. Yang dimaksud dengan dosa besar menurut pandangan Mu’tazilah adalah segala perbuatan yang ancamannya disebutkan secara tegas dalam nas, sedangkan dosa kecil adalah sebaliknya, yaitu segala ketidakpatuhan yang ancamannya tegas dalam nas. Tampaknya Mu’tazilah menjadikan ancaman sebagai kriteria dasar bagi dosa besar maupun kecil.






















BAB III
PENUTUP
A.        KESIMPULAN
Orang pertama yang dianggap meletakkan kerangka dasar ajaran Muktazilah ialah Wasil bin Atha. Pada dasarnya, aliran Muktazilah ini memiliki pola pemikiran yang cenderung rasionalis. Aliran Mu'tazilah mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat-sifat yang melekat pada dirinya. Selain itu, Mu’tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas. Oleh karena itu, Mu’tazilah menganut faham Qadariyah atau Free Will. Mu’tazilah beranggapan bahwasannya, orang melakukan dosa besar bukan mu’min dan bukan kafir, tetapi menduduki tempat diantara mu’min dan kafir. Di antara doktrin Muktazilah yang dimunculkan oleh mereka yaitu mengenai Kalam Mukatzilah, yang dirumuskan dalam lima prinsip pokok yang disebut “al-Ushul al-Karimah”. (1) At-Tauhid (Keesaan Tuhan), (2) Ad-Adl (Keadilan-Nya), (3) Al-Wa’d wa al’Wa’id (Janji dan ancaman-Nya), (4) Al-Manzilah bain al-Manzilatain (Posisi di antara dua posisi), (5) Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Perintah untuk melakukan perbuatan baik dan mencegah perbuatan jahat).










DAFTAR PUSTAKA
Rahman Taufik. 2013. Tauhid Ilmu Kalam, Pengertian Kufur, Bandung: Pustaka Setia.
Nasution Harun. 1986. Teologi Islam, Jakarta: UI Press,
Nasution Harun. 2010. Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Rozak Abdul dan Anwar Rosihon. 2009, Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.
Kristeva Nur Sayyid Santoso. 2014.Sejarah Teologi Islam dan Akar Pemikiran Ahlusunnah Wal Jama’ah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Saputra Nizar A., “Tempat Makalah Gratis: Free Will and Predestination”, diakses pada http://makalah88.blogspot.co.id/2012/01/free-will-dan-predestination.html, pada tanggal 20 Februari 2018 pukul 19:38.
Syahid H.Z.A. 1998, Akidah Ahlus Sunnah, Jakarta: Bumi Aksara.
Nasution Harun. 2008 Islam Ditinjau dari Beberapa Aspek, Jilid II., Jakarta: Univertas Indonesia Press.
Diknas.Ensiklopedi islam 3.
Shahrastani Muhammad Abd Al Karim. 2006.Al-Milal Wa Al-Nihal diterjemahkan oleh Asywadie Syukur Surabaya: PT Bina Ilmu.




[1] Muhammad Abd Al Karim Shahrastani, Al-Milal Wa Al-Nihal diterjemahkan oleh Asywadie Syukur (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2006) h. 42
[2] Ibid.,
[4] Abdul Rojak, Anwar Rosihon. Ilmu Kalam. 2006. CV Pustaka Setia, Bandung. Hal 32
[6] Abd Jabbar, Syarh, hlm. 128
[7] Harun Nasution., Op.,cit. h. 9
[8] Ibid., h. 12
[9] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran –Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press,1972), h.80
[12] Harun Nasution., Op.,cit. hal. 118-119
[13] Ibid., hal. 120-121
Teks aslinya berbunyi “Innahu taa ahsan nazaran bi al-ibadih minhum li anfusihim was fi-ma yata’alaq bi ad-din wa at-taklif”
[16]  Abdul Rozak dan Anwar Rosihon,Op. Cit., hal. 20
[17] Harun Nasution, Op.Cit., hal. 128-130

[18] Ibid., hal. 131-132
[19] Taufik Rahman, Tauhid Ilmu Kalam, Pengertian Kufur, Bandung: Pustaka Setia, 2013
[20] Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta: UI Press, 1986

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian, Syarat, dan Metode Tahammul wal Ada'

Pengertian Tahammul wa al-Ada’           Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan hadits dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadits.[1] Muhammad ‘Ajaj al-Khatib memberikan defenisi dengan kegiatan menerima dan mendengar hadits.[2] Jadi tahammul adalah proses menerima periwayatan sebuah hadits dari seorang guru dengan metode-metode tertentu. Al-‘Ada adalah kegiatan meriwayatkan dan menyampaikan hadits.[3] Menurut Nuruddin ‘Itr adalah menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada orang lain.[4] Jadi al-‘ada adalah proses menyampaikan dan meriwayatkan hadits. At-Tahammulal-Hadist        Menurut bahasa tahammul merupakan masdar dari fi’il madli tahmmala ( ﺗَﺤَﻤَّﻞَ - ﻳَﺘَﺤَﻤَّﻞُ - ﺗَﺤَﻤُﻼ ) yang berarti menanggung , membawa, atau biasa diterjemahkan dengan menerima. Berarti tahammul al-hadits menurut bahasa adalah menerima hadits atau menanggung hadits. Sedangkan tahammul al-hadits menurut istilah ulama ahli hadits, sebagaima

MAKALAH Hadits menurut segi kuantitas rawi (Mutawatir dan Ahad); segi kualitas Rawi (Shahih, Hasan dan Dhaif) LENGKAP

BAB I PENDAHULUAN 1.1      Latar Belakang Seperti yang telah diketahui, hadits diyakini sebagai sumber ajaran Islam setelah kitab suci Al-Quran. Hadits merupakan segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW. baik berupa ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum dan ketentuan Allah yang disyari’atkan kepada manusia. Selain itu, hadits juga dibutuhkan manusia untuk mengetahui inti-inti ajaran dalam Al-Quran. Jika ayat-ayat dalam Al-Quran mutlak kebenarannya, berbeda dengan hadits yang bisa saja belum jelas periwayatannya, hadits tersebut benar berasal dari Nabi Muhammad SAW. atau bukan. Ditinjau dari segi kuantitasnya, hadits dibagi menjadi mutawatir dan ahad. Sedangkan ditinjau dari segi kualitasnya, hadits terbagi menjadi dua yaitu, hadits Maqbul (hadits yang dapat diterima sebagai dalil) dan hadits Mardud (hadits yang tertolak sebagai dalil). Hadits Maqbul terbagi menjadi dua yaitu hadits Shahih dan Hasan, sedangkan yang termasuk dalam ha

Language Varieties (Dialect, Styles, Slang word, Registers)

Language Varieties Group 6 Rizal Fachtur Hidayat (16320017) Balqist Hamada (16320021) Sheni Diah Safitri (16320052) Dhimas Muhammad I. J. (16320053) Yoshi Nur Rahmawati (16320096) Nikma Hidayatul Khasanah (16320101) Audy Oktaviani A. I. (16320140) Roby Inwanuddin Affandi (16320220) Wahida Camelia (16320228) Language Varieties Language varies from one social group to another social group, from one situation to another situation, and from one place to another place. Variation shows that every speaker does not speak the same way all the time. Language varieties indicate that the speakers are distinct from members of other groups (Finegan, 2008) . Language variety that signifies particular situations of use is called registers, it is appropriate for use in particular speech situations. There are some examples of language variations that are of interest to linguist according to   (Akmajian, 1998) , lingua francas, pidgins, creoles, jargon, sl