MAKALAH
Aliran-Aliran dalam Teologi
Islam “MUKTAZILAH”
Disusun untuk Memenuhi
Tugas Mata
Kuliah Teosofi
Dosen Pengampu
: Rovita Agustin Zulaimiah, M.A
Disusun Oleh :
Rodiyatul Jannah (16320001)
Balqist Hamada (16320021)
Dea Kartika Sari (16320049)
Fadhoilul Amri (16320069)
Nurin Naufina (16320168)
JURUSAN SASTRA
INGGRIS
FAKULTAS
HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017/2018
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. ... Rumusan
Masalah .......................................................................... 2
C..... Tujuan
............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Biografi Tokoh- Tokoh Aliran
Muktazilah .................................. 3
B. Kerangka Berfikir
Aliran Mu’tazilah ........................................... 6
C. Akal
dan wahyu .............................................................................. 7
D. Free Will dan Predestination ......................................................... 9
E. Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan ................................. 10
F. Keadilan Tuhan ............................................................................ 12
G. Perbuatan-perbuatan Tuhan ........................................................... 15
H. Sifat-Sifat Tuhan .......................................................................... 17
I. Konsep Iman dan Kufur .............................................................. 18
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN
............................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 22
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Banyak aliran dan mazhab yang timbul
sepanjang sejarah umat Islam. Mulai dari timbulnya aliran berlatarbelakang
politik, yang kemudian aliran tersebut berevolusi dan memicu kemunculan aliran
bercorak akidah (teologi), hingga bermacam mazhab Fikih, Ushul Fikih dan
ilmu-ilmu keislaman lainnya. Jika dilihat dari sisi positif, keberagaman aliran
dan mazhab dalam Islam itu menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang kaya
dengan corak pemikiran. Ini berarti umat Islam adalah umat yang dinamis, bukan
umat yang statis dan bodoh yang tidak pernah mau berfikir.
Namun dari semua aliran yang
mewarnai perkembangan umat Islam itu, tidak sedikit juga yang mengundang
terjadinya konflik dan membawa kontroversi dalam umat, khususnya aliran yang
bercorak atau berkonsentrasi dalam membahas masalah teologi. Satu diantara
golongan/aliran itu adalah Mu’tazilah. Banyak yang mengidentikkan Mu’tazilah
dengan aliran sesat, cenderung merusak tatanan agama Islam dan dihukumi
telah keluar dari ajaran Islam. Namun juga tidak sedikit yang menganggap
Mu’tazilah sebagai ikon utama dari kebangkitan umat Islam di masa
keemasannya
Meskipun demikian, agar tidak
terjebak dalam kontroversi dan kesalahpahaman, maka perlu dilakukan usaha-usaha
untuk mengkaji kelompok ini secara objektif di setiap sisinya. Karena itu,
penulis mencoba menguraikan beberapa hal yang berkaitan tentang Mu’tazilah
dalam makalah ini.
B. Rumusan
Masalah
Untuk memperjelas arah pembahasan, penulis akan
membatasi pembahasan materi yakni:
1. Siapa dan Bagaimana biografi dari tokoh pendiri aliran Mu’tazilah?
2. Bagaimana Kerangka Pemikiran dari
makalah ini?
3. Bagaimana Pemikiran Mu’tazilah
Tentang akal dan Wahyu?
4. Bagaimana Pemikiran Mu’tazilah
Tentang Free will dan Predestination?
5. Bagaimana Pemikiran Mu’tazilah
TentangKekuasaan dan kehendak Mutlak Tuhan?
6. Bagaimana Pemikiran Mu’tazilah
Tentang Keadilan Tuhan?
7. Bagaimana Pemikiran Mu’tazilah
Tentang Perbuatan-perbuatan Tuhan?
8. Bagaimana Pemikiran Mu’tazilah
Tentang Sifat-sifat Tuhan?
9. Bagaimana Pemikiran Mu’tazilah
Tentang Konsep Iman-kufur?
C. Tujuan
1. Mengetahui Biografi Tokoh Pendiri
Mutazilah.
2. Mengetahui Kerangka Berfikir dari
Makalah.
3. Mengetahui Pemikiran Mu’tazilah
Tentang akal dan Wahyu.
4. Mengetahui Pemikiran Mu’tazilah
Tentang Free will dan Predestination.
5. Mengetahui Pemikiran Mu’tazilah
Tentang Kekuasaan dan kehendak Mutlak Tuhan.
6. Mengetahui Pemikiran Mu’tazilah
Tentang Keadilan Tuhan.
7. Mengetahui Pemikiran Mu’tazilah
Tentang Perbuatan-perbuatan Tuhan.
8. Mengetahui Pemikiran Mu’tazilah
Tentang Sifat-sifat Tuhan.
9. Mengetahui Pemikiran Mu’tazilah
Tentang Konsep Iman-kufur.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi
Tokoh Aliran Muktazilah
a)
Wasil
bin Atha
Ia adalah orang pertama yang
meletakkan kerangka dasar ajaran Muktazilah.
Ia lahir di
tahun 81 H. di Madinah dan meninggal tahun 131 H. Ada
tiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain
al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua
tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga
ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Muktazilah, yaitu al-manzilah bain
al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.
b)
Abu Huzail al-‘Allaf
Nama lengkapnya adalah Abu Hauzail Hamdan ibn
Huzail al-‘Allaf.[1]
Kelebihan Al-’Allaf adalah ia mempunyai pengetahuan yang luas, pemikiran
mendalam, lisan fasih, argumentasi kuat, pendebat alian dualisme dan rafidah.
Ia wafat pada tahun 235 H. Ia merupakan seorang pengikut aliran Wasil bin Atha.
Abu Huzail mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kota Bashrah. Lewat sekolah
ini, pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan
pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam.
Aliran teologis ini pernah berjaya
pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah). Mu’tazilah sempat menjadi
madzhab resmi negara. Dukungan politik dari pihak rezim makin mengokohkan
dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang, tragedi mihnah telah mencoreng
madzhab rasionalisme dalam Islam ini.
Abu Huzail al-Allaf adalah seorang
filosof Islam. Ia mengetahui banyak falsafah yunani dan itu memudahkannya untuk
menyusun ajaran-ajaran Muktazilah yang bercorak filsafat. Ia antara lain membuat
uraian mengenai pengertian nafy as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha
Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan
Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah
Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk
menghindari adanya yang kadim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat
(dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan), berarti sifat-Nya itu
kadim. Ini akan membawa kepada kemusyrikan. Ajarannya yang lain adalah bahwa
Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar digunakan untuk membedakan yang
baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi
perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula manusia dapat sampai pada pengetahuan
tentang adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain
itu ia melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh wa al-aslah.
c) An-Nazzam
Nama lengkapnya adalah Ibrahim ibn
Sayyar ibn Hani al-Nazzam.[2] Ia
lahir di Basrah tahun 185 H. dan meninggal dunia dalam usia muda di tahun 221
H. Ia mempunyai kecerdasan yang lebih dari gurunya. Abu Huzail. Ia juga
mempunyai hubungan dengan Filsafat Yunani.
Pendapatnya yang terpenting adalah
mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk
berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf.
Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya,
maka an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan
Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa
pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna,
sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian. Ia juga mengeluarkan pendapat
mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya, mukjizat al-Quran terletak pada
kandungannya, bukan pada uslub (gaya bahasa) dan balagah (retorika)-Nya. Ia
juga memberi penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam adalah segalanya sesuatu
yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam adalah
sesuatu yang bersifat baru dan tidak kadim.[3]
d) Al- Jahiz
Dalam tulisan-tulisan al-Jahiz Abu
Usman bin Bahar dijumpai paham naturalism atau kepercayaan akan hukum alam yang
oleh kaum muktazilah disebut Sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa
perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu
sendiri, malainkan ada pengaruh hukum alam.
e) Mu’ammar bin Abbad
Mu’ammar bin Abbad
Ia merupakan pendiri muktazilah
aliran Baghdad. pendapatnya tentang kepercayaan pada hukum alam. Pendapatnya
ini sama dengan pendapat al-jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan
benda-benda materi. Adapun al-‘arad atau accidents (sesuatu yang datang pada
benda-benda), itu adalah hasil dari hukum alam. Misalnya, jika sebuah batu dilemparkan
ke dalam air, maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah
hasil atau kreasi dari batu itu, bukan hasil ciptaan Tuhan.
f) Bisyr al-Mu’tamir
Ajarannya yang penting menyangkut
pertanggung jawaban perbuatan manusia. Anak kecil baginya tidak dimintai
pertanggung jawaban atas perbuatannya di akhirat kelak karena ia belum mukalaf.
Seorang yang berdosa besar kemudian bertaubat, lalu mengulangi lagi berbuat
dosa besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah bertaubat atas dosa besarnya
yang terdahulu.
g) Abu Musa al-Mudrar
Al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin
Muktazilah yang sangat ekstrim, karena pendapatnya yang mudah mengafirkan orang
lain. Menurut Syahristani, ia menuduh kafir semua orang yang mempercayai
kekadiman Al-Quran. Ia juga menolak pendapat bahwa di akhirat Allah SWT dapat
dilihat dengan mata kepala.
h) Hisyam bin Amr
al-Fuwati
Al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang
dinamakan surga dan neraka hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alasan
yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya menciptakan surga dan neraka sekarang
karena belum waktunya orang memasuki surga dan neraka.[4]
B. Kerangka Berfikir
Aliran Mu’tazilah
Aliran Muktazilah pada dasarnya
memiliki pola pemikiran yang cenderung rasionalis. Hal ini disebabkan banyak
dipengaruhi oleh filsafat Yunani yang membawa pemujaan akal ke dalam pemikiran
Islam. Kaum Muktazilah banyak dipengaruhi hal ini dan tidak mengherankan kalau
dalam pemikiran teologi mereka banyak dipengaruhi oleh daya akal dan teologi
mereka memiliki corak liberal.[5]
Aliran Mu'tazilah mengatakan bahwa
Tuhan tidak mempunyai sifat-sifat yang melekat pada dirinya. Selanjutnya,
Mu'tazilah berpendapat bahwa Tuhan bersifat immateri, dan tidak dapat dilihat
dari mata kepala.
Aliran Mu’tazilah memandang manusia
mempunyai daya yang besar dan bebas. Oleh karena itu, Mu’tazilah menganut faham
Qadariyah atau Free Will. Aliran Mu’tazilah mengecam keras faham yang
mengatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan. Aliran Mu’tazilah
mengaku Tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan manusia berperan sebagai pihak
yang berkreasi untuk mengubah bentuknya.
Mu’tazilah adalah golongan yang
mengatakan bahwa orang melakukan dosa besar bukan mu’min dan bukan kafir,
tetapi menduduki tempat diantara mu’min dan kafir. Iman menurut Muktazilah
adalah amal perbuatan yang merupakan terpenting dalam konsep iman bahkan hampir
mengidentikannya dengan iman.
Kufur menurut Muktazilah adalah
orang yang berbuat dosa bukan kafir dan bukan muslim tapi dia adalah fasik.
Kufur menurut mereka adalah orang
yag melakukan dosa besar dan tidak bertobat pada Allah.
Di antara doktrin Muktazilah yang
dimunculkan oleh mereka yaitu mengenai Kalam Mukatzilah, yang dirumuskan dalam
lima prinsip pokok yang disebut “al-Ushul al-Karimah”. (1) At-Tauhid
(Keesaan Tuhan), (2) Ad-Adl (Keadilan-Nya), (3) Al-Wa’d wa al’Wa’id
(Janji dan ancaman-Nya), (4) Al-Manzilah bain al-Manzilatain (Posisi di
antara dua posisi), (5) Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Perintah untuk
melakukan perbuatan baik dan mencegah perbuatan jahat).[6]
C. Akal dan wahyu
Kata akal berasal dari bahasa Arab (اْلعَقْل ) yang berarti faham dan mengerti. Al-Kindi
(796-873 M) menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya, yaitu daya
nafsu yang berada di perut, daya berani yang bertempat di dada dan daya
berfikir yang berpusat di kepala. Filosof lain juga memberikan pembagian tiga
pula, tetapi sejalan dengan filsafat Aristoteles, mereka menyebutnya bukan tiga
daya, tetapi tiga jiwa, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan, jiwa binatang dan jiwa
manusia.[7] Jiwa manusia inilah
merupakan pusat daya berfikir yang disebut akal.
Kaum teolog mengartikan akal sebagai daya untuk
memperoleh pengetahuan. Abu Huzail mengatakan bahwa “akal merupkan daya untuk
memperoleh pengetahuan, dan juga daya yang membuat seseorang dapat membedakan
antara dirinya dan benda lain, dan juga antara benda yang satu dari yang lain”.
Lebih jauh lagi menurut kaum teolog akal juga mempunyai daya untuk membedakan
antara kebaikan dan kejahatan.[8]
Sedangkan Wahyu secara etimologis, mengandung arti bisikan,
isyarat, tulisan dan kitab. Wahyu juga mengandung arti pemberitahuan secara
tersembunyi dan terjadi dengan cepat. Secara konseptual, wahyu menunjukan
kepada nama-nama yang lebih dikenal seperti Al-kitab, Risalah, Al-Qur’an dan
Balagh. Dengan demikian wahyu berarti penyampaian kalam Allah kepada Nabi
pilihan-Nya untuk disampaikan kepada manusia sebagai pedoman hidup.
Dalam islam wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad terkumpul dalam
Al-Qur’an
·
Akal dan Wahyu Menurut Mu’tazilah
Kaum mu’tazilah dikenal dengan kaum yang
banyak menggunakan pemikiran secara akal dalam pembahasan teologinya. Sehingga
aliran ini sering disebut kaum rasionalis islam. Sebagaimana
yang dikemukakan oleh para tokohnya, segala pengetahuan dapat diperoleh dengan
perantaraan akal. Kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang
mendalam, dengan demikian berterimakasih kepada Tuhan sebelum turun wahyu
adalah wajib. Baik dan jahat diketahui oleh akal, demikian pula mengerjakan
yang baik dan menjauhi yang buruk wajib pula.[9]
Selanjutnya wahyu bagi mu’tazilah
berfungsi memberi penjelasan tentang perincian pahala dan siksa di akhirat. Abd
al-Jabar mengatakan, akal tidak dapat mengetahui bahwa pahala untuk suatu
perbuatan baik lebih besar dari upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik
yang lain. Demikian pula akal tidak mengetahui bahwa siksa bagi suatu perbuatan
buruk lebih besar daripada siksa untuk suatu perbuatan buruk lainnya. Semua ini
hanya diketahui melalui wahyu.
Jadi mnurut mu’tazilah, wahyu berfungsi
sebagai konfirmasi dan informasi, maksudnya wahyu memperkuat apa-apa yang telah
diketahui akal dan menerangkan apa-apa yang belum diketahui akal. Dengan
demikian, wahyu menyempurnakan pengetahuan yang diperoleh akal.
D. Free Will dan
Predestination
Menurut
Harun Nasution yang kemudian diikuti Dr. Hasan Zaini, Qadariyah
dalam isitlah inggrisnya dikenal dengan nama free
will, sedangkan Jabaiyyah dikenal dengan sebutan predestination
atau fatalism. Dengan demikian, terdapat
hubungan yang erat sekali antara istilah-istilah itu. Namun, disini yang akan
dibicarakan bukan mengenai kedua aliran itu melainkan nilai dan fahamnya.
Menurut Drs. H.Z.A. Syihab dalam bukunya Aqidah Ahlus-sunnah, kaum
Muktazilah disebut golongan Muatthilah yakni menafikan sifat-sifat Allah. Di
samping menafikan sifat-sifat Allah, mereka juga mengatakan bahwa tindakan dan perbuatan makhluk bukanlah diciptakan oleh
Allah, melainkan diciptakan
oleh makhluk itu sendiri (tawallud).
Jadi, menurut mereka, Allah hanya menciptakan makhluk, lalu oleh makhluk
itu menciptakan pekerjaan sendiri.
Misalnya, sebentuk cincin di jari tangan manusia, kalau cincin itu bergerak,
adalah proses dari pergerakan tangan yang digerakkan oleh manusia. Jadi,
gerakan itu bukan digerakan oleh Tuhan. Sedangkan menurut ahlus sunnah
waljama'ah, segala perbuatan dan tindakan manusia diciptakan oleh Allah, bukan
oleh manusia. Firman Allah (Qs. Ash Shaffat:96)[10]
Al-Juba’I mempunyai pandangan bahwa manusialah yang menciptakan
perbuatan-perbuatannya. Manusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh
kepada Tuhan atas kemauannya sendiri. Dan daya (al-Isthitha’ah) untuk
mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia sebelum adanya
perbuatan. Begitu juga dengan al-Qadh Abd al-Jabbar. Menurutnya, perbuatan
manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia. Tetapi, manusia sendirilah
yang mewujudkannya. Perbuatan adalah apa yang dihasilkan dengan daya yang
bersifat baru. Manusia adalah makhluk yang dapat memilih. Tuhan, menurut Abd
al-Jabbar, tidak akan menyiksa atau memberi pahala kepada seseorang berdasar
kehendak mutlak-Nya, tetapi karena amal yang dilakukannya. Dalam pengertiannya sebagai
suatu tindakan, amal yang dilakukan seseorang terjadi karena pilihan bebasnya.
Karena itu, menjadi mukmin atau kafir bukanlah ditetapkan oleh kehendak mutlak
Tuhan, tetapi merupakan pilihannya sendiri. Akan tetapi, agar pilihan tersebut
berjalan adil pula, Allah wajib menurunkan petunjuk, aturan, dan mengirim
nabi-nabi dengan membawa peringatan. Jika semua itu telah diberikan Tuhan, maka
manusia dipersilahkan memilih menjadi iman atau kafir.[11]
E. Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
Sebagai
akibat dari perbedaan paham yang terdapat dalam aliran-aliran teologi Islam
mengenai soal kekuatan akal, fungsi wahyu dan kebebasan serta kekuasaan manusia
atas kehendak dan perbuatannya, terdapat pula perbedaan paham tentang kekuasaan
dan kebendak mutlak Tuhan. Bagi aliran yang berpendapat bahwa akal mempunyai
daya besar dan manusia bebas dan berkuasa atas kehendak dan perbuatannya,
kekuasaan dan kehendak Tuhan pada hakikatnya tidak lagi bersifat mutlak
semutlak-mutlaknya. bagi kaum Mu'tazilah, kekuasaan dan kehendak Tuhan tidak
lagi mempunyai sifat mutlak semutlak- mutlaknya.
Menurut
al-Dawwani, Tuhan adalah Maha Pemilik (Al Malik) yang bersifat absolut dan
berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya di dalam kerajaan-Nya dan tak seorang pun
yang dapat mencela perbuatan-Nya. Yaitu, sungguhpun perbuatan-perbuatan itu
oleh akal manusia dipandang bersifat tidak baik dan tidak adil.
Dalam
hubungan ini al-Baghdadi mengatakan bahwa boleh saja. Tuhan melarang apa yang
telah diperintahkan-Nya dan memerintahkan apa yang telah dilarang-Nya. Lebih
tegas ia menulis:
“Tuhan
bersifat adil dalam segala perbuatan-Nya. Tidak ada suatu larangan pun bagi
Tuhan. la buat apa saja yang dikendaki-Nya. Seluruh makhluk-Nya dan milik-Nya
dan perintah Nya adalah di atas segala perintah. Ia tak berlanggang tentang
perbuatan-perbuatan-Nya kepada siapa pun”.
Al-Ghazali
juga mengeluarkan pendapat yang sama Tuhan dapat buat apa saja yang
dikehendaki-Nya, dapat memberikan hukum menurut kehendak-Nya, dapat menyiksa
orang yang berbuat baik jika dikehendaki-Nya dan dapat memberi upah orang kafir
jika yang demikian dikehendaki Nya.
Kaum
Mu’tazilah berpendapat bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya kekuasaan tidak
bersifat mutlak lagi. Seperti terkandung dalam uraian Nadir, kekuasaan mutlak
Tuhan telah dibatasi oleh kebebasan yang menurut paham Mu’tazilah, telah
diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatan. Seterusnya
kekuasaan mutlak itu dibatasi pula oleh sifat keadilan Tuhan. Tuhan tidak bisa
lagi berbuat sekehendaknya, Tuhan telah terikat pada norma-norma keadilan yang
kalau dilanggar, membuat Tuhan bersifat tidak adil bahkan zalim. Sifat serupa
ini tak dapat diberikan kepada Tuhan. Selanjutya, kekuasaan dan kehendak mutlak
Tuhan dibatasi lagi oleh kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia yang
menutur paham Mu’tazilah memang ada. Lebih lanjut lagi, kekuasaan mutlak itu
dibatasi pula oleh natur atau hukum alam (sunnah Allah) yang tidak mengalami
perubahan.[12]
Bahwa kaum
Mu'tazilah menganut paham bahwa tiap-tiap benda mempunyai natur atau hukum
sendiri, telah disebut dalam Bagian Pertama. Di sini ada baiknya ditambahkan
tulisan pemuka Mu'tazilah lainnya.
Al-Jahiz
mengatakan bahwa tiap-tiap benda mempunyai sifat dan natur sendiri yang
menimbulkan efek tertentu menurut natur masing-masing. Lebih tegas al-Khayyat
menerangkan bahwa tiap benda mempunyai natur tertentu, dan tak dapat
menghasilkan kecuali efek yang itu-itu juga; api tak dapat menghasilkan apa-apa
kecuali panas dan es tidak dapat menghasilkan apa-apa kecuali dingin. Efek yang
ditimbulkan tiap benda, menurut Mu'ammar seperti gerak, diam, warna, rasa, bau,
panas, dingin, basah dan kering, timbul sesuai dengan natur dari masing-masing
benda yang bersangkutan. Sebenarnya efek yang ditimbulkan tiap benda bukan
perbuatan Tuhan. Perbuatan Tuhan hanyalah menciptakan benda-benda yang
mempunyai natur tertentu.
Dari
tulisan-tulisan seperti di atas itu dapat ditarik kesimpulan bahwa kaum
Mu'tazilah percaya pada hukum alam atau Sunnah Allah yang menganut perjalanan
kosmos dan dengan demikian menganut paham determinisme. Dan determinisme ini
bagi mereka, sebagai kata Nader, tidak berubah-ubah sama dengan keadaan Tuhan
yang juga tidak berubah-ubah.
Sebagai
penjelasan selanjutnya bagi paham sunnah Allah yang tak berubah-ubah dan
determinisme ini, ada baiknya dibawa di sini uraian Tafir al-Manar. Segala
sesuatu di alam ini, demikian, berjalan menurut sunnah Allah dan sunnah Allah
itu dibuat Tuhan sedemikian rupa sehingga sebab dan musabab di dalamnya
mempunyai hubungan yang erat. Bagi tiap sesuatu Tuhan menciptakan Sunnah
tertentu. Umpamanya sunnah yang mengatur hidup berlainan dengan sunah yang
mengatur hidup tumbuh-tumbuhan. Bahkan juga ada sunnah yang tidak berubah-ubah
untuk mencapai kemenangan. Jika seseorang mengikuti jalan yang ditentukan
sunnah ini, orang akan mencapai kemenangan, tetapi jika ia menyimpang dari
jalan yang ditentukan sunnah itu, ia akan mengalami kekalahan. Ada pula sunnah
yang membawa pada kesenangan dan ada pula yang membawa pada kesusahan. Keadaan
seseorang kafir tidak mempunyai pengaruh dalam hal ini. Sunnah tidak kenal pada
pengecualian, sungguhpun pengecualian untuk Nabi-nabi. Sunnah tidak
berubah-ubah dan Tuhan tidak menghendaki supaya sunnah sekali-sekali menyalahi
natur. Oleh karena itu orang sakit yang memohon pada Tuhan supaya ia diberikan
kesehatan kembali, sebenarnya meminta: "Tuhanku, hentikanlah untuk
kepentinganku Sunnah-Mu yang Engkau katakan tidak akan berubah-ubah itu"
Jelas bahwa sunnah Allah tidak mengalami perubahan atas kehendak Tuhan sendiri
dan dengan demikian merupakan batasan bagi kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Semua
uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa dalam paham Mu'tazilah kekuasaan
mutlak Tuhan mempunyai batasan-batasan; dan Tuhan sendiri, sebagai kata
al-Manar, tidak bersikap absolut halnya dengar Raja Absolut yang menjatuhkan
hukuman menurut kehendaknya semata-mata, Keadaan Tuhan, dalam ini, lebih dekat
menyerupai keadaan Raja Konstitusional, yang kekuasaannya dan kehendaknya
dibatasi oleh konstitusi.[13]
F. Keadilan
Tuhan
Prinsip Al-Adl (Keadilan-Nya)
didefinisikan bahwa semua perbuatan-Nya adalah baik. Dia tidak mungkin
melakukan sesuatu yang tidak baik. Dia juga tidak mungkin meninggalkan apa pun
yang merupakan kewajiban bagi-Nya. Dikatakan oleh al-Khayyat, salah satu tokoh
Muktazilah, “Seseorang tidak berhak atas nama ‘iktizal’ kecuali ia berpegang
pada keseluruhan dari lima prinsip Muktazilah, yaitu tauhid, keadilan, janji
dan ancaman, posisi di antara dua posisi, dan amar makruf nahi munkar. Jika
kelima hal ini ada pada diri seseorang, maka ia adalah seorang Muktazilah”.
1)
Allah
tidak berdusta dalam firman-Nya, dan kedustaan tidak boleh menjadi hukum-Nya.
2)
Allah
tidak menyiksa anak-anak orang musyrik, karena dosa orangtuanya.
3)
Allah
tidak memberikan mukjizat kepada orang-orang yang banyak berdusta.
4)
Allah
tidak membebani hamba-Nya dengan sesuatu yang tidak dapat dilakukan dan tidak
dapat diketahui (dipahami). Sebaliknya Dia membuat hamba-Nya mampu melakukan
beban yang diberikan, membuat mereka mengetahui sifat beban itu, dan menunjukan
serta menjelaskannya kepada mereka. Sedemikian, sehingga orang yang dibinasakan
maupun yang dihidupkan, adalah berdasarkan atas keterangan yang telah diberikan
yaitu, karena ketaatan dan kelalaian mereka sendiri.
5)
Allah
pasti memberikan balasan yang baik kepada manusia yang menjalankan kewajibannya
secara baik dan benar.
6)
Rasa
sakit dan sakit yang ditimpakan Allah atas orang mukalaf adalah untuk
kepentingan mukalaf itu sendiri. Kalau tidak, maka dia berarti telah
meninggalkan kewajiban-Nya. [14]
7)
Pandangan
Allah tentang hamba-Nya, mengenai hal-hal yang berkenaan dengan agama, tugas
serta kewajiban adalah lebih baik daripada pandangan mereka sendiri mengenai
hal itu.[15]
Kebebasan manusia yang memang
diberikan Tuhan kepadanya bermakna kalau Tuhan membatasi kekuasaan dan kehendak
mutlak-Nya. Demikian pula keadilan Tuhan membuat Tuhan sendiri terikat pada
norma-norma keadilan yang bila dilanggar membuat Tuhan bersifat tidak adil atau
zalim.
Maka, aliran Mu`tazilah mengatakan
bahwa sebenarnya kekuasaan Tuhan tidak mutlak lagi. Ketidakmutlakan kekuasaan
Tuhan itu disebabkan oleh kebeasan yang diberikan Tuhan terhadap manusia serta
adanya hukum alam (sunatullah) yang menurut Al-Quran tidak pernah berubah.
Oleh sebab itu, menurut pandangan
aliran Mu`tazilah kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan berlaku dalam jalur
hukum-hukum yang tersebar di tengah alam semesta. Itulah sebabnya mu’tazilah
mempergunakan ayat 62 surat al-Ahzab di samping ayat-ayat yang menjelaskan
kebebasan manusia yang disinggung dalam pembicaraan tentang free will dan free
act.
Keadilan itu sendiri mereka tinjau
dari sudut pandangan manusia, bagi mereka seperti yang diterangkan oleh Abd
al-Jabbar, keadilan erat kaitannya dengan hak dan keadilan diartikan memberikan
orang akan haknya. Kata-kata “Tuhan Adil” mengandung arti bahwa segala
perbuatan-Nya adalah baik, bahwa ia tidak dapat berbuat yang buruk dan bahwa ia
tidak dapat mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia.
Oleh karena itu Tuhan tidak boleh bersifat
zalim dalam memberi hukuman, tidak dapat menghukum anak orang musyrik lantaran
dosa orang tuanya, dan mesti memberi upah kepada orang orang yang patuh
kepada-Nya dan memberikan hukuman kepada orang orang yang menentang
perintah-Nya. Selanjutnya, keadilan juga mengandung arti berbuat semestinya
serta seusai dengan kepentingan manusia. Demikian, memberi upah atau hukuman
kepada manusia itu sejajar dengan corak perbuatannya. Menurut al–Nazzam dan
pemuka pemuka Mu’tazilah lainnya, bahwasanya Tuhan tidak dapat dikatakan bahwa
Tuhan berdaya untuk bersifat zalim, berdusta dan tidak dapat untuk tidak
memberi apa yang terbaik bagi manusia.[16]
G. Perbuatan-perbuatan Tuhan
·
Kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap Manusia
Sebagaimana
dilihat dalam uraian tentang kekuasaan mutlak dan keadilan Tuhan, kaum Mu'tazilah
berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap manusia.
Kewajiban-kewajiban itu dapat disimpulkan dalam satu kewajiban, yaitu kewajiban
berbuat baik dan terbaik bagi manusia.
Dalam paham
ini termasuklah kewajiban-kewajiban seperti kewajiban Tuhan menepati
janji-janji-Nya, kewajiban Tuhan mengirim Rasul-rasul untuk memberi petunjuk
kepada manusia, kewajiban Tuhan memberi rezeki kepada manusia dan sebagainya.
Paham bahwa
Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban timbul sebagai akibat dari konsep kaum
Mu'tazilah tentang keadilan Tuhan dan sejajar dengan paham adanya
batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
·
Berbuat Baik dan Terbaik
Dalam
istilah Arabnya berbuat baik dan terbaik bagi manusia Al-Salah wa Al-Aslah.
Term ini dalam teologi Islam terkenal dengan term Mutazilah, dan yang dimaksud
ialah kewajiban Tuhan berbuat baik bahkan yang terbaik bagi manusia. Hal ini
memang merupakan salah satu keyakinan yang penting bagi kaum Mu'tazilah.
·
Beban di Luar Kemampuan Manusia
Memberi
beban di luar kemampuan manusia (taklif ma la yutaq) adalah bertentangan dengan
paham berbuat baik dan tertbaik. Oleh karena itu kaum Mu'tazilah tak dapat
menerima paham bahwa Tuhan dapat memberikan kepada manusia beban yang tak dapat
dipikul. Hal ini juga bertentangan dengan paham mereka tentang keadilan Tuhan.
Tuhan akan bersifat tidak adil, kalau ia memberi beban yang lerlalu berat
kepada manusia. [17]
·
Pengiriman Rasul-rasul
Bagi kaum
Mu'tazilah dengan kepercayaan mereka bahwa mengetahui hal-hal tentang alam
gaib, pengiriman Rasul-Rasul sebenarnya tidak begitu penting. sebagaimana telah
dilihat dalam pembahasan-pembahasan tentang wahyu, fungsi wahyu lebih banyak
bersifat memperkuat dan menyempurnakan apa-apa yang telah dimilikinya.
Pengiriman
Rasul-rasul mempunyai arti yang besar bagi kaum Asy’ ariah, karena banyak
bergantung pada wahyu Tuhan dan alam gaib, bahkan juga untuk mengetahui hal-hal
yang bersangkutan dengan hidup keduniaan manusia. Bagi merekalah Rasul rasul
mempunyai sifat sedangkan bagi kaum Mu’tazilah pengiriman yang demikian
seharusnya tidak mempunyai sifat wajib. Tetapi sebagaimana lelah disebut di
atas, kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa pengiriman Rasul kepada umat manusia
menjadi salah satu kewajiban Tuhan. Argumen yang dimajukan kaum Mu'tazilah
untuk ini ialah keadaan akal tidak dapat mengetahui segala apa yang harus
diketahui manusia tentang Tuhan dan alam gaib. Oleh karena Tuhan berbuat baik
dan terbaik bagi manusia, wajiblah bagi Tuban untuk mengirim Rasul-rasul kepada
umat manusia. Tanpa pengiriman Rasul-asal. Manusia tidak akan dapat memperoleh
hidap baik dan terbaik, di dunia maupun di akhirat nanti. Argumen inilah yang
dipakai dalam Syarh al-Usulal-Khamsah untuk menyongkong pendapat mereka tentang
sifat wajibnya pengiriman Rasul-rasul kepada umat manusia.
·
Janji dan Ancaman
Dalam
perbuatan-perbuatan Tuhan termasuk perbuatan menepeti janji dan menjalankan
ancaman (al-wa'd wa al-wa'id). Sebagaimana diketahui, janji dan ancaman
merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan kaum Mu'tazilah. Hal ini erat
hubungannya dengan dasar kedua, yaitu keadilan. Tuhan akan bersifat tidak adil,
jika tidak menepati janji untuk memberi upah kepada orang yang baik, dan jika
tidak menjalankan ancaman untuk memberi kepada orang berbuat jahat. Juga,
menurut 'Abd al-Jabbar, hal ini akan membuat Tuhan mempunyai sifat berdusta.
Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan ancaman,
bertentangan dengan maslahat dan kepentingan manusia. Oleh karena itu menepati
janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan.[18]
H. Sifat-sifat tuhan
Aliran mu’tazilah memandang dirinya
sebagai aliran ahlut tauhid wal ‘adil dengan menafikan sifat-sifat tuhan,
tujuannya adalah untuk menyucikan keesaan tuhan. Golongan mu’tazilah mencoba
menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa tuhan tidak mempunyai
sifat. Definisi mereka tentang tuhan, sebagaimana dijelaskan oleh al-Asy’ari,
bersifat negatif.
Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, tidak
mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai hajat dan sebagainya. Ini tidak berarti
bahwa tuhan bagi mereka tidak mengetahui, tidak berkuasa, tidak hidup dan
sebagainya. Tuhan tetap mengetahui, berkuasa, dan sebagainya, tetapi
mengetahui, berkuasa, dan sebagainya tersebut bukanlah sifat dalam arti kata
sebenarnya. Artinya tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan itu
adalah tuhan itu sendiri. Washil bin Atha’ menegaskan bahwa siapa saja yang
menetapkan adanya sifat qadim bagi Allah Swt, ia telah menetapkan adanya dua
tuhan. Mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan tidak memiliki sifat, sebab apabila
tuhan memiliki sifat, sifat tersebut harus kekal seperti halnya zat tuhan. Jika
sifat-sifat itu kekal, maka yang kekal bukan hanya satu tetapi banyak.
Tegasnya, kekalnya sifat-sifat membawa pada pemahaman banyak yang kekal.
Selanjutnya paham ini akan membawa kepada paham politheisme atau syirik. Aliran
mu’tazilah memberikan daya yang besar kepada akal berpendapat bahwa tuhan tidak
dapat memiliki sifat-sifat jasmani.
Mereka mentakwilkan ayat-ayat yang
memberikan kesan bahwa tuhan bersifat jasmani secara metaforis. Dengan kata lain,
ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan tuhan bersifat jasmani ditakwil dengan
pengertian yang layak bagi kebesaran dan keagungan Allah. Misalnya, kata
“istawa” dalam surah Thaha ayat lima ditakwil dengan “al-Istila wa al-Ghalabah”
(menguasai dan mengalahkan), kata ini dalam surah Thaha ayat 39 ditakwilkan
dengan “ilmi” (pengetahuanKu), kata “wajhah” dalam surah al-Qashash ayat 88
ditakwilkan dengan “zatuhu ayy nafsuhu” (zat-Nya, yakni diri-Nya), kata “yadd”
dalam surah Shad: 75 ditakwilkan dengan “al quwwah” (kekuatan). Mu’tazilah
berpendapat bahwa tuhan karena bersifat immateri, tidak dapat dilihat oleh mata
kepala. Karena, pertama tuhan tidak mengambil tempat sehingga tidak dapat
dilihat. Kedua, bila tuhan dapat dilihat dengan mata kepala, berarti tuhan
dapat dilihat sekarang di dunia, padahal kenyataannya tidak ada seorangpun yang
dapat melihat tuhan di alam ini.
I. Konsep Iman dan
Kufur
Muhammad Ahmad (1998: 19-21) mengemukakan bahwa kata
iman berasal dari bahasa Arab yang berarti tasdiq (membenarkan). Iman ialah
kepercayaan dalam hati meyakini dan membenarkan keberadaan Tuhan dan
membenarkan semua yang di bawa Nabi Muhammad SAW. Karena iman, seseorang
mengakui sesuatu yang wajib dan mustahil bagi Allah. Iman menjadikan seorang
mukmin berbahagia dan berhak untuk mendapatkan surga Tuhan kelak dihari akhir.
Sedangkan kufur daalam pembahasan ini adalah keadaan
tidak percaya atau tidak beriman kepada Allah SWT. dengan demikian, orang yang
kafir adalah orang yang tidak percaya atau tidak beriman kepada Allah, baik
orang tersebut bertuhan selain Allah maupun tidak bertuhan, seperti apabila
komunis (ateis).
Kekafiran jelas sangat bertentangan dengan akidah
islam atau tauhid sebab tauhid sebab ttauhid merupakan kepercayaan dan keimanan
atau keyakinan terhadap keberadaan Allah SWT. orang kafir sering melakukan
penantangan kepada Allah dan ketentuan-ketentuan syariat-Nya. Mereka selalu
berupaya dengan berbagai cara agar islam dan kepercayaannya lenyap dari
permukaan bumi.
Dengan demikian, kufur merupakan kondisi seseorang
yang tidak mengikuti ketentuan-ketentuan syari’at yang telah digariskan oleh
Allah. Oleh sebab itu, kufur mempunyai lubang-lubang yang kalau tidak
hati-hati, seseorang akan terjerumus ke dalam lubang yang menyesatkan seperti
syirik, nifaq, murtad, tidak mau bersyukur, dan sebaagainya.[19]
Menurut paham mu’tazilah Iman adalah
tashdiq di dalam hati, iktar dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan
konsep ini mengaitkan perbuatan manusia dengan iman, karena itu, keimanan
seseorang ditentukan pula oleh amal perbuatannya. Konsep ini dianut pula olah
Khawarij. Menurut mereka iman adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada
Tuhan. Jadi, orang yang membenarkan (tashdiq) tidak ada Tuhan selain Allah dan
Muhammad rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban itu tidak
dikatakan mukmin. Tegasnya iman adalah amal. Iman tidak berarti pasif, menerima
apa yang dikatakan orang lain, iman mesti aktif karena akal mampu mengetahui
kewajiban-kewajiban kepada Tuhan. Kaum Mu’tazilah juga berpendapat bahwa orang
mukmin yang mengerjakan dosa besar dan mati sebelum tobat, tidak lagi mukmin
dan tidak pula kafir, tetapi dihukumi sebagai orang fasiq.[20]
Kemunculan aliran Mu’tazilah dalam pemikiran teologi Islam
diawali oleh masalah yang hampir sama dengan kedua aliran yang telah dijelaskan
di atas, yaitu mengenai status pelaku dosa besar; apakah masih beriman atau
telah menjadi kafir. Perbedaanya, bila Khowarij mengkafirkan pelaku dosa besar
dan Mu’tazilah memelihara keimanan pelaku dosa besar, Mu’tazilah tidak
menentukan status predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar, apakah ia tetap
mukmin atau kafir, kecuali dengan sebutan yang sangat terkenal, yaitu
al-manzilah bain al-manzilatain. Setiap pelaku dosa besar, menurut Mu’tazilah,
berada di posisi tengah di antara posisi mukmin dan posisi kafir. Jika
pelakunya meninggal dunia dan belum sempat bertobat, ia akan dimasukkan ke
dalam neraka selama-lamanya. Walaupun demikian, siksaan yang diterimanya lebih
ringan daripada siksaan orang kafir. Dalam perkembanganya, tokoh Mu’tazilah
seperti Wasil bin Atha dan Amr bin Ubaid memperjelas sebutan itu dengan istilah
fasik yang bukan mukmin atau kafir.
Mengenai perbutan apa saja yang dikatagorikan sebagai doas
besar, aliran Mu’tazilah merumuskan secara lebih konseptual ketimbang aliran
Khawarij. Yang dimaksud dengan dosa besar menurut pandangan Mu’tazilah adalah
segala perbuatan yang ancamannya disebutkan secara tegas dalam nas, sedangkan
dosa kecil adalah sebaliknya, yaitu segala ketidakpatuhan yang ancamannya tegas
dalam nas. Tampaknya Mu’tazilah menjadikan ancaman sebagai kriteria dasar bagi
dosa besar maupun kecil.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Orang pertama yang dianggap
meletakkan kerangka dasar ajaran Muktazilah ialah Wasil bin Atha. Pada
dasarnya, aliran Muktazilah ini memiliki pola pemikiran yang cenderung
rasionalis. Aliran Mu'tazilah mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai
sifat-sifat yang melekat pada dirinya. Selain itu, Mu’tazilah memandang manusia
mempunyai daya yang besar dan bebas. Oleh karena itu, Mu’tazilah menganut faham
Qadariyah atau Free Will. Mu’tazilah beranggapan bahwasannya, orang melakukan
dosa besar bukan mu’min dan bukan kafir, tetapi menduduki tempat diantara
mu’min dan kafir. Di antara doktrin Muktazilah yang dimunculkan oleh mereka
yaitu mengenai Kalam Mukatzilah, yang dirumuskan dalam lima prinsip pokok yang
disebut “al-Ushul al-Karimah”. (1) At-Tauhid (Keesaan Tuhan), (2) Ad-Adl
(Keadilan-Nya), (3) Al-Wa’d wa al’Wa’id (Janji dan ancaman-Nya), (4) Al-Manzilah
bain al-Manzilatain (Posisi di antara dua posisi), (5) Amar Ma’ruf Nahi
Munkar (Perintah untuk melakukan perbuatan baik dan mencegah perbuatan
jahat).
DAFTAR PUSTAKA
Rahman Taufik. 2013. Tauhid Ilmu
Kalam, Pengertian Kufur, Bandung: Pustaka Setia.
Nasution Harun. 1986. Teologi Islam,
Jakarta: UI Press,
Nasution Harun. 2010. Teologi Islam;
Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Rozak
Abdul dan Anwar Rosihon. 2009, Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.
Kristeva Nur Sayyid Santoso. 2014.Sejarah
Teologi Islam dan Akar Pemikiran Ahlusunnah Wal Jama’ah, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Saputra Nizar A., “Tempat Makalah Gratis: Free Will and
Predestination”, diakses pada http://makalah88.blogspot.co.id/2012/01/free-will-dan-predestination.html,
pada tanggal 20 Februari 2018 pukul 19:38.
Syahid H.Z.A. 1998, Akidah Ahlus
Sunnah, Jakarta: Bumi Aksara.
Nasution Harun. 2008 Islam
Ditinjau dari Beberapa Aspek, Jilid II., Jakarta: Univertas Indonesia
Press.
Diknas.Ensiklopedi islam 3.
Shahrastani Muhammad Abd Al Karim.
2006.Al-Milal Wa Al-Nihal diterjemahkan oleh Asywadie Syukur Surabaya:
PT Bina Ilmu.
[1] Muhammad Abd
Al Karim Shahrastani, Al-Milal Wa Al-Nihal diterjemahkan oleh Asywadie
Syukur (Surabaya: PT Bina Ilmu, 2006) h. 42
[6] Abd Jabbar, Syarh,
hlm. 128
[7] Harun Nasution., Op.,cit. h.
9
[8] Ibid., h. 12
[9] Harun Nasution, Teologi
Islam: Aliran –Aliran
Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press,1972), h.80
Komentar
Posting Komentar