Pengertian
Tahammul wa al-Ada’
Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan
hadits dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan
hadits.[1] Muhammad ‘Ajaj al-Khatib memberikan defenisi dengan kegiatan
menerima dan mendengar hadits.[2] Jadi tahammul adalah proses menerima
periwayatan sebuah hadits dari seorang guru dengan metode-metode tertentu.
Al-‘Ada adalah kegiatan meriwayatkan dan menyampaikan hadits.[3] Menurut
Nuruddin ‘Itr adalah menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada orang
lain.[4] Jadi al-‘ada adalah proses menyampaikan dan meriwayatkan hadits.
At-Tahammulal-Hadist
Menurut
bahasa tahammul merupakan masdar dari fi’il madli tahmmala ( ﺗَﺤَﻤَّﻞَ
- ﻳَﺘَﺤَﻤَّﻞُ - ﺗَﺤَﻤُﻼ ) yang berarti menanggung , membawa,
atau biasa diterjemahkan dengan menerima. Berarti tahammul al-hadits menurut
bahasa adalah menerima hadits atau menanggung hadits. Sedangkan tahammul
al-hadits menurut istilah ulama ahli hadits, sebagaimana tertulis dalam kitab
taisir mushtholah hadits adalah:
ﺍﻟﺘﺤﻢﻝ : ﻣﻌﻨﺎﻩ ﺗﻠﻘﻰ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻭﺍﺧﺬﻩ ﻋﻦ ﺍﻟﺸﻴﻮﺥ
“ Tahammul artinya menerima hadits dan
mengambilnya dari para syekh atau guru”.
Ulama
sepakat bahwa yang dimaksud dengan At-tahammul adalah “mengambil atau menerima
hadits dari seorang guru dengan salah satu cara tertentu . Dalam masalah
tahammul ini sebenarnya masih terjadi perbedaan pendapat di antara para
kritikus hadits, terkait dengan anak yang masih di bawah umur (belum baligh),
apakah nanti boleh atau tidak menerima hadits, yang nantinya juga berimplikasi,
seperti diungkapkan oleh al Karmani 2 pada boleh dan tidaknya hadits tersebut
diajarkan kembali setelah ia mencapai umur baligh ataukah malah sebalikny
Syarat-syarat
Tahammul wal Ada’ al-hadis
Syarat-syarat
Tahammulul-Hadits
Karena
Tidak semua orang bisa menyampaikan hadits kepada orang lain, Dalam hal ini
mayoritas ulama hadits, ushul, dan fiqh memiliki kesamaan pandangan dalam
memberikan syarat dan kriteria bagi pewarta hadist, yang antara lain:
1)
Ketahanan ingatan informator ( Dlabitur Rawi)
2)
Integritas keagamaan ( ‘Adalah ) yang kemudian melahirkan tingkat kredibilitas
( Tsiqatur Rawi).
3)
Mengetahui maksud-maksud kata yang ada dalam hadits dan mengetahui arti hadits
apabila ia meriwayatkan dari segi artinya saja ( bil ma’na ).
4)
Sifat adil ketika dibicarkan dalam hubungannya dengan periwayatan hadits maka
yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang
selalu mendorongnya pada melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu
konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya.
Adapun
syarat-syarat bagi seseorang diperbolehkan untuk mengutip hadits dari orang
lain adalah:
1)
Penerima harus dlobid (memiliki hafalan yang kuat atau memiliki dokumen yang
valid).
2)
Berakal sempurna.
3)
Tamyis.
Metode Penerimaan Hadits
dan Penyampaiannya[12]
As-Sima’, (السماع,
mendengar),
yaitu seorang guru membaca hadits baik dari hafalan ataupun dari
kitabnya sedang hadirin mendengarnya, baik majlis itu untuk imla’ ataupun untuk
yang lain. Menurut mayoritas ulama, metode ini berada di peringkat tertinggi. Cara as-sama’ ini tinggi
nilainya, sebab lebih meyakinkan tentang terjadinya pengungkapan
riwayat.[14] Istilah atau kata yang dipakai dalam metode ini: سمعت
، سمعنا ، حدثنا ، حدثني ، أخبرنا ، أخبرني. Bobot kualitas penggunaan kata-kata ini
tidak disepakati oleh ulama, menurut al-Khatib al-Baghdadi (w 463H/1072 M),
kata yang tertinggi adalah kemudian حدثنا ، حدثني.
Alasannya adalah kata menunjukkan kepastian periwayat mendengar secara
langsung hadits yang diriwayatkannya. Sedangkan menurut Ibn Shalah (w
643-1245M) kata حدثنا ، حدثني disatu sisi dapat saja lebih tinggi
kualitasnya daripada سمعنا سمعت , karena kata bias berarti guru
hadist, tidak khusus menghadapkan riwayatnya kepada penerima riwayat yang
menyatakan sami’tu tadi. Seangkan kata أخبرني, حدثني
memberi
petunjuk bahwa guru hadits menyampaikan dan menghadapkan riwayatnya kepada
periwayat yang menyatakan أخبرني, حدثني tersebut.[15]
Kata Kana, Yakulu, Fa’la,
Haddatsa, Zakara, Qala Fulan, atau yang serupa dengannya diperselisihkan
dalam penggunaannya oleh ulama. Sebagian ulama berpendapat cara-cara tersebut
menunjukkan periwayatan secara as-sima’. Sebagian lagi berpendapat kata-kata
tersebut menunjukkan cara as-sima’ bila di dalamnya tidak terdapat
penyembunyian cacat (tadlis) oleh periwayat yang menggunakan kata-kata
dimaksud, pendapat yang terakhir ini menyamakan cara tersebut dengan penggunaan
kata ‘an.[16]
Al-Qira’ah ‘ala asy-Syaikh
(القرأة
علي الشيخ, membaca di hadapan guru).
Sebagian besar ulama hadits
menyebutnyaal-‘Aradh (penyodoran). Ada juga menyebutnya’عرض
القرأة (menyodorkan bacaan).
Karena murid menyodorkan bacaannya kepada sang guru, seperti ketika ia
menyodorkan bacaan al-Qur’an kepada gurunya. Imam Haramain menyaratkan seorang
guru harus meluruskan bila pembaca mengalami kekeliruan atau kesalahan. Bila
tidak, maka tahammulnya tidak absah.
Lafadz-lafadz yang digunakan dalam metode ini adalah عليه قرأت، حدثنا او اخبرنا قرأة عليه ، قرئ علي فلان و انا
اسمع [17]
Ijazah (الأجازة,
sertifiksi atau rekomendasi)
Yaitu seorang guru
memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadist atau kitab kepada
seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun sang murid tidak membacakan
kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya, seperti: أجزت
لك أن نروي عني (aku mengijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan dariku). [18]
Ulama mutaqaddimin tidak memperbolehkan
metode ijazah tanpa kriteria dan syarat. Tetapi mereka memberikan persyaratan
bahwa seorang ahli hadits harus mengenal betul apa yang akan diijazahkannya,
naskah yang ada pada murid harus dibandingkan dengan-naskah aslinya sampai
benar-benar sama dan yang meminta ijazah ahli ilmu dan telah memiliki posisi
dalam hal keilmuan, sehingga tidak akan terjadi peletakan ilmu tidak pada
tempat atau ahlinya.
Al-Munawalah (المناوله)
Maksudnya, seorang ahli
hadits memberikan sebuah sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang
sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan.
Lafadz yang digunakan dalam Al-MunawalahAl-Magrunah
bi Al-Ijazah adalah. أنباء نا ، أ نبأني Sedangkan yang dipakai
dalam Al-Munawalah
Al-Magrunah bila Al-Ijazah adalah نا و لني ، ناولنا
Al-Mukatabah (المكتبه)
Yaitu seorang guru menulis
dengan tangannya sendiri atau meminta orang lain menulis darinya sebagian
haditsnya untuk seorang murid yang ada dihadapannya atau murid yang berada di
tempat lain lalu guru itu mengirimkannya kepada sang murid bersama orang yang
bisa dipercaya. Mukatabah ini memiliki dua bagian Pertama, disertai dengan ijazah.
Jenis ini setara dengan
munawalah yang disertai dengan ijazah dalam keshahihan dan
kekuatan.[22] Lafadz yang digunakan adalah أجزت لك ما كتبته اليك
[23]
Kedua, tanpa disertai dengan
ijazah. Lafadz yang digunakan adalah قال حدثنا فلان ، حدثني فلان
كتابة ، أخبرني فلان كتابة ، كتب الي فلان [24]
Ada sekelompok ulama yang
melarang meriwayatkan darinya. Namun pendapat yang shahih memperbolehkannya. Pendapat
terakhir ini dipilih oleh mayoritas ulamamutaqaddimin dan muta’akhkhirin.
I’lam asy-Syeikh (اعلم
الشيخ)
Maksudnya seorang syeikh
memberitahukan kepada muridnya bahwa hadits tertentu atau kitab tertentu
merupakan bagian dari riwayat-riwayat miliknya dan telah didengamya atau
diambilnya dari seseorang. Atau perkataan lain yang senada, tanpa menyatakan
secara jelas pemberian ijazah kepada murid untuk meriwayatkan darinya. Meski
dengan pemberitahuan seperti itu saja, sebagian besar ulama memperbolehkan meriwayatkannya.
Mereka menilai bahwa pemberitahuan semacam itu sudah mengandung pengertian
pemberian ijin atau ijazah dari guru kepada murid untuk meriwayatkan darinya.
A I- Washiyyah (الوصيه)
Yaitu seorang guru
berwasiat, sebelum bepergian jauh atau sebelum meninggal, agar kitab riwayatnya
diberikan seorang untuk boleh meriwayatkan darinya.
Penyampaian riwayat yang diterima dengan cara wasiat
menurut yang memperbolehkannya adalah dengan menjelaskan hal itu sewaktu
menyampaikannya. Misalnya perawi mengatakan: Telah mewasiatkan kepadaku Fulan,
mengatakan telah memberikan khabar kepadaku Fulan dengan cara wasiat, atau saya
menemukan dalam wasiat Fulan kepadaku, bahwa Fulan meriwayatkan kepadanya
begini-begini.
Al-Wijadah (الوجده,
penemuan)
Kata al-Wijadah dengan kasrah wawu
merupakan konjugasi dari kata Wajada-Yajidu,bentuk yang tidak analogis. Ulama hadits
menggunakannya dengan pengertian ilmu yang diambil atau didapat dari shahifah tanpa ada proses
mendengar, mendapatkan ijazah ataupun proses munawalah.
Sehingga sangat populer di kalangan mereka ungkapan: “Jangan
kalian membaca al-Qur’an dari orang-orang yang mempelajarinya dari mushhaf saja
dan jangan menerima ilmu dari orang-orang yang menerimanya dari
shahifah-shahifah.” Bahkan ada di antara mereka yang, menilai dha’if
periwayatan dari kitab-kitab.[27] Lafadz yang digunakan وجدت بخط فلان atau وجدت فى كتاب. فلان بخطه
asssalamu'alaikum, boleh tau referensinya darimana, kak?
BalasHapusiya kak dapat referensi dari man nih hhe
Hapus