Langsung ke konten utama

FILSAFAT DAN BAHASA

Pengetian Filsafat


Filsafat sebagai suatu aktivitas manusia yang berpanggal pada akal pikiran manusia untuk menemukan kearifan dalam hidupnya, terutama dalam mencari dan menemukan hakikat realitas bahasa terutama bidang semantik. Hal ini dapat dipahami bahwa berfilsafat sama halnya kita berfikir, namun tidak semua kegiatan berfikir adalah filsafat.
Pengertian bahasa
bahasa adalah merupakan sistem simbol yang memiliki makna, sebagai alat komunikasi manusia yang digunakan dalam mengunggapkan ide gagasan serta merupakan sarana perwujudan pikiran manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam memahami dan mencari hakikat kebenaran dalam hidupnya.

HUBUNGAN FILSAFAT DENGAN BAHASA
Hubungan bahasa dengan masalah-masalah filsafat telah lama menjadi perhatian para filsuf bahkan hal ini telah berlngsung lama. Suatu perubahan yang sangat penting terjadi ketika para filsuf mengetahui bahwa berbagai macam problema filsafat dapat dijelaskan melalui suatu analisi bahasa. Sebagai suatu contoh problema filsafat yang menyangkut pertanyaan, keadilan, kebaikan, kebenaran, kewajiban, hakikat ada dan pertanyan-pertanyaan fundamental lainnya dapat dijelaskan dengan mengunakan metode analisi bahasa
Tugas utama dari filsafat adalah menganalisis konsep-konsep dan oleh karena konsep-konsep itu dapat diungkapkan melalui bahasa maka analisis tersebut tentunya memiliki kaitan yang sangat erat. Oleh karena itu para ahli bersependapat bahwa hubungan bahasa dengan filsafat sangatlah erat bahkan tidak bisa terpisahkan.
Dalam penggunaan bahasa pada kegiatan berfilsafat memiliki  sejumlah kelemahan dalam hubungannya dengan ungkapan-ungkapan dalam aktivitas berfilsafat. Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain:
1.      Vagueness (kesamaran) merupakan sifat bahasa yang dimiliki karena makna yang terkandung dalam suatu ungkapan bahasa pada dasarnya hanya mewakili realitas yang diacunya. Salah satu contohnya adalah aneka bunga mawar tidak akan setepat dan sejelas pengamatan secara langsung tentang aneka bunga mawar tersebut.
2.      Ambiguity (ketaksaan) merupakan sifat bahasa yang dimiliki karena berkaitan dengan ciri ketaksaan makna dari suatu bentuk kebahasaan. Misalnya kata bunga maka dapat berkaitan dengan bunga mawar, bunga anggrek dan lain sebagainya.
3.      Inexplicitness (Tidak Eksplisit) yaitu bahasa seringkali tidak mampu mengungkapkan secara eksak, tepat dan menyeluruh untuk mewujudkan gagasan yang direpresentasikannya akibat adanya kekaburan dan ketaksaan makna.
4.      Context-dependent (Tergantung pda konteks) yaitu bahasa seringkali berpindah-pindah maknanya sesuai dengan konteks gramatik, sosial, serta konteks situasional dalam pemakaiannnya.
5.      Misleadingness (Menyesatkan) yaitu adanya kesesatan dalam menafsirkan kata dalam berkomunikasi sehingga kelemahan bahasa ini mencakup semua kelemahan bahasa yang ada.
Berbagai kelemahan dan kekurangan bahasa dalam proses mengungkapkan konsep-konsep filosofis perlu diberikan suatu penjelasan khusus agar ungkapan yang digunakan dalam menjelaskan realitas tidak terjadi kesesatan atau misleadingness.
Berdasarkan kenyataan fungsi bahasa tersebut di atas maja hubungan bahasa dengan filsafat sangatlah erat bahkan tidak dapat terpisahkan terutama dalam cabang filsafat metafisika, logika dan epistimologi.

2.2.1   Hubungan bahasa dengan metafisika.
Metafisika adalah salah satu cabang filsafat yang membahas tentang hakikat realitas, kualitas, kesempurnaan yang ada secara keseluruhan bersangkutan dengan sebab-sebab terdalam, prinsip konstitutif dan tertinggi dari segala sesuatu.metafisika berupaya untuk memformulasikan segala sesuatu yang bersifat fundamental dan mendasar dari segala sesuatu dan hal ini dilakukan oleh para filsuf dengan membuat eksplisit hakikat segala sesuatu tersebut. Karena metafisika pada dasarnya adalah cabang filsafat yang membahas secara sistematis dan reflektif dalam mencari hakikat segala sesuatu yang ada di balik hal-hal yang bersifat fisik dan bersifat partikular, juga dapat diartikan mencari pripsip dasar yang mencakup semua hal yang ada merupakan prinsip dasar yang dapar ditemukan pada semua hal. Oleh karena itu, hal ini hanya dapat menggunakan analisis bahasa sebab sifat metafisika tidak mengacu pada realitas yang bersifat empiris.

2.2.2   Hubungan bahasa dengan Epistimologi.
Epistimologi adalah salah satu cabang filsafat yang membahas tentang pengetahuan manusia yang meliputi sumber-sumber, watak dan kebenaran pengatahuan manusia. Hubungannya dengan bahasa adalah bahasa digunakan dalam mengungkapkan pengetahuan manusia dengam formulasi bahasa yang dipakai yaitu pengetahuan apriori dan aposteriori, serta problema kebenaran pengetahuan manusia.

2.2.3   Hubungan bahasa dengan logika.
Dalam hubungan kehidupan manuasia bahasa bukan hanya berfungsi sebagai alat komunikasih saja, melainkan juga menyertai proses berfikir manusia dalam usaha memahami dunia luar, baik secara imajinatif. Oleh sebab itu bahasa selain memiliki fungsi komunikatif, juga memiliki kognitif dan emotif.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian, Syarat, dan Metode Tahammul wal Ada'

Pengertian Tahammul wa al-Ada’           Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan hadits dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadits.[1] Muhammad ‘Ajaj al-Khatib memberikan defenisi dengan kegiatan menerima dan mendengar hadits.[2] Jadi tahammul adalah proses menerima periwayatan sebuah hadits dari seorang guru dengan metode-metode tertentu. Al-‘Ada adalah kegiatan meriwayatkan dan menyampaikan hadits.[3] Menurut Nuruddin ‘Itr adalah menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada orang lain.[4] Jadi al-‘ada adalah proses menyampaikan dan meriwayatkan hadits. At-Tahammulal-Hadist        Menurut bahasa tahammul merupakan masdar dari fi’il madli tahmmala ( ﺗَﺤَﻤَّﻞَ - ﻳَﺘَﺤَﻤَّﻞُ - ﺗَﺤَﻤُﻼ ) yang berarti menanggung , membawa, atau biasa diterjemahkan dengan menerima. Berarti tahammul al-hadits menurut bahasa adalah menerima hadits atau menanggung hadits. Sedangkan tahammul al-hadits menurut istilah ulama ahli hadits, sebagaima

MAKALAH Hadits menurut segi kuantitas rawi (Mutawatir dan Ahad); segi kualitas Rawi (Shahih, Hasan dan Dhaif) LENGKAP

BAB I PENDAHULUAN 1.1      Latar Belakang Seperti yang telah diketahui, hadits diyakini sebagai sumber ajaran Islam setelah kitab suci Al-Quran. Hadits merupakan segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW. baik berupa ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum dan ketentuan Allah yang disyari’atkan kepada manusia. Selain itu, hadits juga dibutuhkan manusia untuk mengetahui inti-inti ajaran dalam Al-Quran. Jika ayat-ayat dalam Al-Quran mutlak kebenarannya, berbeda dengan hadits yang bisa saja belum jelas periwayatannya, hadits tersebut benar berasal dari Nabi Muhammad SAW. atau bukan. Ditinjau dari segi kuantitasnya, hadits dibagi menjadi mutawatir dan ahad. Sedangkan ditinjau dari segi kualitasnya, hadits terbagi menjadi dua yaitu, hadits Maqbul (hadits yang dapat diterima sebagai dalil) dan hadits Mardud (hadits yang tertolak sebagai dalil). Hadits Maqbul terbagi menjadi dua yaitu hadits Shahih dan Hasan, sedangkan yang termasuk dalam ha

Language Varieties (Dialect, Styles, Slang word, Registers)

Language Varieties Group 6 Rizal Fachtur Hidayat (16320017) Balqist Hamada (16320021) Sheni Diah Safitri (16320052) Dhimas Muhammad I. J. (16320053) Yoshi Nur Rahmawati (16320096) Nikma Hidayatul Khasanah (16320101) Audy Oktaviani A. I. (16320140) Roby Inwanuddin Affandi (16320220) Wahida Camelia (16320228) Language Varieties Language varies from one social group to another social group, from one situation to another situation, and from one place to another place. Variation shows that every speaker does not speak the same way all the time. Language varieties indicate that the speakers are distinct from members of other groups (Finegan, 2008) . Language variety that signifies particular situations of use is called registers, it is appropriate for use in particular speech situations. There are some examples of language variations that are of interest to linguist according to   (Akmajian, 1998) , lingua francas, pidgins, creoles, jargon, sl