Langsung ke konten utama

KEKHALIFAHAN BANI ABBASIYAH



BAB I
     PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sepeninggal Rasulullah saw., kepemimpinan Islam dipegang oleh Khulafā’ al-Rāsyidīn. Pada masa ini Islam mengalami kemajuan yang sangat pesat, bahkan telah meluas  ke seluruh Wilayah Arab. Meskipun Islam telah berkembang pada masa ini,  namun juga banyak mendapat tantangan dari luar dan dalam Islam sendiri. Seperti pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib banyak terjadi pemberontakan di daerah hingga terjadi perang saudara. Salah satu perang dimasa Ali bin Abi Thalib ialah peperangan antara Muawiyah dengan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang menghasilkan abitrase, sehingga Muawiyah menggantikan posisi Ali bin Abi Thalib. Dampak yang ditimbulkan dari abitrase ini adalah pengikut  Ali bin Abi Thalib bersepakat untuk membunuh Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah karena dianggap telah kafir dan halal dibunuh. Dalam rencana pembunuhan ini, hanya Ali bin Abi Thalib yang berhasil dibunuh.
Berakhirlah masa Khulafā’ al-Rāsyidīn dan digantikan oleh pemerintahan Dinasti Umayyah dibawah pimpinan Muawiyah bin Abi Sofyan. Pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah, Islam semakin berkembang dalam segala aspek hingga perluasan daerah kekuasaan.
Setelah pemerintahan Dinasti Umayyah berakhir, maka pemerintahan Islam digantikan oleh pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti kedua dalam sejarah pemerintahan Umat Islam. Abbasiyah dinisbatkan kepada al-Abbas paman Nabi Muhammad saw. Dinasti ini berdiri sebagai bentuk dukungan terhadap pandangan yang diserukan oleh Bani Hasyim setelah wafat  Rasulullah saw., yaitu menyandarkan khilāfah kepada keluarga Rasulullah dan kerabatnya.
B.     Rumusan Masalah
1.    Bagaimana sejarah Lahirnya Bani Abbasiyah ?
2.    Bagaimana Sistem Transisi Kepemimpinan Bani Abbasiyah?
3.    Bagaimana Kondisi Sosial, Politik dan Budaya di masa Bani Abbasiyah?
4.    Bagaimana Perkembangan Dakwah Islam di masa Bani Abbasiyah?
5.    Bagaimana Perkembangan  IPTEK di masa Bani Abbasiyah?
6.    Apa Saja Sebab-sebab Kemunduran Bani Abbasiyah?

C.    Tujuan
1.    Mengetahui Sejarah Lahirnya Bani Abbasiyah
2.    Mengetahui Sistem Transisi Kepemimpinan Bani Abbasiyah
3.    Mengetahui Kondisi Sosail, Politik dan Budaya di masa Bani Abbasiyah
4.    Mengetahui Perkembangan Dakwah Islam di masa Bani Abbasiyah
5.    Mengetahui Perkembangan  IPTEK di masa Bani Abbasiyah
6.    Mengetahui Sebab-sebab Kemunduran Bani Abbasiyah
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Lahirnya Dinasti Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H. (750 M.) s. d. 656 H. (1258 M.). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.[1][1]
Pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah,  Bani Abbas telah melakukan usaha perebutan kekuasaan, Bani Abbas telah mulai melakukan upaya perebutan kekuasaan sejak masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) berkuasa.  Khalifah itu dikenal liberal dan memberikan toleransi kepada kegiatan keluarga Syi’ah. Gerakan itu didahului oleh saudara-saudara dari Bani Abbas, seperti Ali bin Abdullah bin Abbas, Muhammad serta Ibrahim al-Imam, yang semuanya mengalami kegagalan, meskipun belum melakukan gerakan yang bersifat politik. Sementara itu, Ibrahim meninggal dalam penjara karena tertangkap, setelah menjalani hukuman kurungan karena melakukan gerakan makar. Barulah usaha perlawanan itu berhasil ditangan Abu Abbas, setelah melakukan pembantaian terhadap seluruh Bani Umayyah, termasuk khalifah Marwan II yang sedang berkuasa.[2][2]
Bani Abbasiyah merasa lebih berhak daripada Bani Umayyah atas kekhalifahan Islam,  sebab mereka adalah dari cabang Bani Hasyim yang secara nasab lebih dekat dengan Nabi saw. Menurut mereka,  orang Bani Umayyah secara paksa menguasai khalifah melalui tragedi perang siffin. Oleh karena itu, untuk mendirikan Dinasti Abbasiyah mereka mengadakan gerakan yang luar biasa, melakukan pemberontakan terhadap Bani Umayyah.[3][3]
Pergantian kekuasaan Dinasti Umayyah oleh Dinasti Abbasiyah diwarnai dengan pertumpahan darah. Meskipun kedua dinasti ini berlatar belakang beragama Islam, akan tetapi dalam pergantian posisi pemerintahan melalui perlawanan yang panjang dalam sejarah Islam.
Disebut dalam sejarah bahwa berdirinya Bani Abbasiyah, menjelang berakhirnya Bani Umayyah I, terjadi bermacam-macam kekacauan yang antara lain disebabkan:
1.      Penindasan yang terus menerus terhadap pengikut Ali dan Bani Hasyim pada umumnya.
2.      Merendahkan kaum Muslimin yang bukan Bangsa Arab sehingga mereka tidak diberi kesempatan dalam pemerintahan.
3.      Pelanggaran terhadap Ajaran Islam dan hak-hak asasi manusia dengan cara terang-terangan.[4][4] 

Oleh karena itu, logis kalau Bani Hasyim mencari jalan keluar dengan mendirikan gerakan rahasia untuk menumbangkan Bani Umayyah. Gerakan ini menghimpun;
a.       Keturunan Ali (Alawiyin) pemimpinnya Abu Salamah;
b.      Keturunan Abbas  (Abbasiyah) pemimpinnya Ibrahim al-Iman;
c.       Keurunan bangsa Persia pemimpinnya Abu Muslim al-Khurasany. [5][5]
Mereka memusatkan kegiatannya di Khurasan. Dengan usaha ini, pada tahun 132 H./750 M. tumbanglah Bani Umayyah dengan terbunuhnya Marwan ibn Muhammad,  khalifah terakhir Bani Umaiyah. Atas pembunuhan Marwan, mulailah berdiri Daulah Abbasiyah dengan diangkatnya khalifah yang pertama, yaitu Abdullah ibn Muhammad, dengan gelar Abu al-Abbas al-Saffah, pada tahun 132-136 H./750-754 M.[6][6]
Pada awal kekhalifahan Bani Abbasiyah menggunakan Kuffah sebagai  pusat pemerintahan, dengan Abu al-Saffah (750-754 M) sebagai Khalifah pertama. Khalifah penggantinya, Abu Ja’far al-Mansur (754-775 M.) memindahkan pusat pemerintahan ke Bagdad. Daulah Abbasiyah mengalami pergeseran dalam mengembangkan pemerintahan, sehingga dapatlah dikelompokkan masa Bani Abbasiyah menjadi lima periode sehubungan dengan corak pemerintahan. Sedangkan menurut asal-usul penguasa selama masa 508 tahun Bani Abbasiyah mengalami tiga kali pergantian penguasa, yakni  Bani Abbas, Bani Buwaihi, dan Bani Seljuk.

B.     Sistem Transisi Kepemimpinan Bani Abbasiyah
Sejarah peralihan kekuasaan dari Daulah Bani Umayyah kepada Daulah Bani Abbas bermula ketika Bani Hasyim menuntut kepemimpinan Islam berada di tangan mereka, karena mereka adalah keluarga nabi yang terdekat. Tuntutan itu sebenarnya telah ada ketika wafatnya Rasulullah. Tetapi tuntutan itu baru mengkristal (mengeras) ketika Bani Umayyah naik tahta dengan mengalahkan Ali bin Abi Thalib. Bani Hasyim yang menuntut kepemimpinan Islam itu paling tidak dapat digolongkan menjadi dua golongan besar. Pertama golongan ‘Alawi, keturunan Ali bin abi Thalib. Mereka ini dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu: pertama keturunan dari Fatimah, dan yang kedua keturunan dari Muhammad bin Al-Hanafiyah. Kedua adalah golongan Abbasiyah (Bani Abbasiyah), keturunan Al-Abbas paman Nabi tersebut. Perbedaan dari kedua golongan tersebut, paling tidak golongan Abbasiyah lebih mementingkan kemampuan politik yang lebih besar daripada golongan ‘Alawi.
Pada abad ketujuh terjadi pemberontakan diseluruh negeri yakni perang antara pasukan Abbul Abbas melawan pasukan Marwan ibn Muhammad (Dinasti Bani Umayyah). Yang akhirnya dimenangkan oleh pasukan Abbul Abbas. Dengan jatuhnya negeri Syiria, berakhirlah riwayat Dinasti Bani Umayyah dan bersama dengan itu bangkitlah kekuasaan Abbasiyah. Dari sini dapat diketahui bahwa bangkitnya Daulah Abbasiyah bukan saja pergantian Dinasti akan tetapi lebih dari itu adalah penggantian struktur sosial dan ideologi. Sehingga dapat dikatakan kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah merupakan suatu revolusi.
Menurut Crane Brinton dalam Mudzhar (1998:84), ada 4 ciri yang menjadi identitas revolusi yaitu :
  1. Bahwa pada masa sebelum revolusi ideologi yang berkuasa mendapat kritik keras dari masyarakat disebabkan kekecewaan penderitaan masyarakat yang di sebabkan ketimpangan-ketimpangan dari ideologi yang berkuasa itu.
  2. Mekanisme pemerintahannya tidak efesien karena kelalaiannya menyesuaikan lembaga-lembaga sosial yang ada dengan perkembangan keadaan dan tuntutan zaman.
  3. Terjadinya penyeberangan kaum intelektual dari mendukung ideologi yang berkuasa pada wawasan baru yang ditawarkan oleh para kritikus.
  4. Revolusi itu pada umumnya bukan hanya di pelopori dan digerakkan oleh orang-orang lemah dan kaum bawahan, melainkan dilakukan oleh para penguasa oleh karena hal- hal tertentu yang merasa tidak puas dengan sistem yang ada .[7]

C.    Kondisi Sosial, Politik dan Budaya Bani Abbasiyah

·         KONDISI SOSIAL
Di saat terjadi perpindahan kekuasaan dari Umayyah ke Abbasiyah, wilayah geografis kekuasaanya sangat luas. Kondisi ini mengantarkan terjadinya interaksi intensif penduduk setiap daerah dengan daerah lainnya. Interaksi ini memungkinkan proses asimilasi budaya dan peradaban setiap daerah.
Para penguasa Abbasiyah membentuk masyarakat berdasarkan rasa persamaan. Pendekatan terhadap kaum Malawi dilakukan antara lain dengan mengadopsi system Administrasi dari tradisi setempat (Persia)
Pembagian kelas dalam masyarakat Daulat Abbasiyah berdasarkan jabatan seseorang seperti menurut jarzid Zaidan, masyarakat Abbasiyah terbagi dalam 2 kelompok besar, kelas khusus dan kelas umum. Kelas khusus terdiri dari khalifah, keluarga khalifah (Bani Hasyim) para pembesar negara (Menteri, gubernur dan panglima). Kaum bangsawan non Bani Hasyim (Quraisy) pada umumnya. Dan para petugas khusus, tentara dan pembantu Istana. Sedangkan kelas umum terdiri dari para seniman, ulama, pujangga fukoha, saudagar dan penguasa buruh dan petani.
Sistem Sosial Pada masa ini, sistem social adalah sambungan dari masa sebelumnya (Masa Dinasti Umayah). Akan tetapi, pada masa ini terjadi beberapa perubahan yang sangat mencolok, yaitu :
1.      Tampilnya kelompok mawali dalam pemerintahan serta mendapatkan tempat yang sama dalam kedudukan sosial.
2.      Kerajaan Islam Daulah Abbasiyah terdiri dari beberapa bangsa ang berbeda-beda (bangsa Mesir, Syam, Jazirah Arab dll.).
3.      Perkawinan campur yang melahirkan darah campuran.
4.      Terjadinya pertukaran pendapat, sehingga muncul kebudayaan baru .[8]

·         KONDISI POLITIK BANI ABBASIYAH
Ketika Daulah Abasiyah memegang tampuk kekuasaan tertinggi islam, terjadi banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat, pada porsi tertentu antara politik dan sastra saling mempengaruhi. Pergeseran paling fundamental terjadi ketika pusat kekuasaaan dipindahkan dari Damaskus dengan tradisi arab kental ke Baghdad dengan tradisi Parsinya. Pada masa ini seluruh sistem pemerintahan dan kekuasaan politik dipengaruhi peradaban Sasaniyah Parsi dimana khalifah berkuasa mutlak dan memimpin seluruh struktur pemerintahan mulai dari menteri, pengadilan, sampai panglima prajurit.
Puncak kekuasaanpun tidak lagi terbatas pada keturunan arab. Kondisi politik seperti ini sangat mungkin memepengaruhi perkembangan aktivitas sastra ketika itu, karena para syua’ra adalah orang terdekat khalifah di lingkungan istana setelah menteri dan struktur pemerintah lainnya.
Selama Dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya.
Berdasarkan perubahan tersebut, para sejarawan membagi masa pemerintahan Bani
Abbasiyah menjadi 3 periode, yaitu
:
1.         Periode Pertama (750-847 M)
Pada periode ini, seluruh kerajaan Islam berada di dibawah kekuasaan para Khalifah
kecuali di Andalusia. Adapun para Khalifah yang memimpin pada ini sebagai berikut :
1.         Abul Abbas as-saffah (750-754 M)
2.         Abu Ja’far al mansyur (754 – 775 M)
3.         Abu Abdullah M. Al-Mahdi bin Al Mansyur (775-785 M)
4.         Abu Musa Al-Hadi (785—786 M)
5.         Abu Ja’far Harun Ar-Rasyid (786-809 M)
6.         Abu Musa Muh. Al Amin (809-813 M)
7.         Abu Ja’far Abdullah Al Ma’mun (813-833 M)
8.         Abu Ishak M. Al Muta’shim (833-842 M)
9.         Abu Ja’far Harun Al Watsiq (842-847 M)
10.     Abul Fadhl Ja’far Al Mutawakkil (847-861)

2.        Periode kedua (232 H/847 M – 590 H/1194 M)
Pada periode ini, kekuasaan bergeser dari sistem sentralistik pada sistem
desentralisasi, yaitu ke dalam tiga negara otonom :
a)      Kaum Turki (232-590 H)
b)      Golongan Kaum Bani Buwaih (334-447 H)
c)      Golongan Bani Saljuq (447-590 H)
Dinasti-Dinasti di atas pada akhirnya melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada
masa Khalifah Abbassiyah.
3.        Periode ketiga (590 H/1194 M – 656 H/1258 M)
Pada periode ini, kekuasaan berada kembali ditangan Khalifah, tetapi hanya di
baghdad dan kawasan-kawasan sekitarnya.
Sedangkan para ahli kebudayaan Islam membagi masa kebudayaan Islam di zaman
daulah Abbasiyah kepada 4 masa, yaitu :
1.      Masa Abbasy I, yaitu semenjak lahirnya Daulah Bani Abbasiyah tahun 750 M,
sampai meninggalnya Khalifah al-Wasiq (847 M).
2.      Masa Abbasy II, yaitu mulai Khalifah al-Mutawakkal (847 M), sampai berdirinya
daulah Buwaihiyah di Baghdad (946 M).
3.      Masa Abbasy III, yaitu dari berdirinya daulah Buwaihiyah tahun (946 M) sampai
masuk kaum Seljuk ke Baghdad (1055 M).
4.      Masa Abbasy IV, yaitu masuknya orang-orang Seljuk ke Baghdad (1055 M), sampai
jatuhnya Baghdad ke tangan Tartar di bawah pimpinan Hulako (1268 M).

·         KEBUDAYAAN BANI ABBASIYAH
Sebagaimana diketahui sebelumnya bahwa kebebasan berpikir diakui sepenuhnya
sebagai hak asasi setiap manusia oleh Daulah Abbasiyah.
Oleh karena itu, pada waktu itu akal dan pikiran benar-benar dibebaskan dari belenggu taqlid, sehingga orang leluasa
mengeluarkan pendapat. Berawal dari itu, zaman pemerintahan Abbasiyah awal
melahirkan 4 Imam Madzhab yang ulung, mereka adalah Syafi’i , Hanafi, Hambali , dan
Maliki
.
Disamping itu, zaman pemerintahan Abbasiyah awal itu juga melahirkan Ilmu Tafsir al-Quran dan pemisahnya dari Ilmu Hadits. Berikut merupakan beberapa kebudayaan yang berkembang pada masa kekhalifahan Bani Abbasiyah.
Kebudayaan Persia
·         Pesatnya perkembangan kebudayaan Persia di zaman ini karena dua faktor, yaitu :
·         Pembentukan lembaga wizarah (kementrian)
·         Pemindahan ibukota
Kebudayaan Hindi
  Peranan orang India dalam membentuk kebudayaan Islam terjadi
dengan dua cara:
·         Secara langsung, Kaum muslimin berhubungan langsung dengan orang-orang India seperti lewat perdagangan dan penaklukan.
·         Secara tak langsung, penyaluran kebudayaan India ke dalam kebudayaan Islam lewat kebudayaan Persia.
Kebudayaan Yunani.
   Harran, Kota yang dibangun di utara Iraq yang menjadi pusat pertemuan segala macam kebudayaan. Warga kota Harran merupakan pengembangan kebudayaan Yunani terpenting di zaman Islam, terutama dimasa Daulah Abbassiyah.
Kebudayaan Arab
Masuknya kebudayaan Arab ke dalam kebudayaan Islam terjadi dengan dua jalan utama, yaitu :
·         Jalan Agama, Mengharuskan mempelajari Qur’an, Hadist, Fiqh yang semuanya dalam bahasa Arab.
·         Jalan Bahasa, Jazirah Arabia adalah sumber bahasa Arab, bahasa terkaya diantara rumpun bahasa samy dan tempat lahirnya Islam.[9]


D.    Perkembangan Dakwah pada Masa Dinasti Abbasiyah

Gerakan dakwah pada masa Abbasiyah ini tidak lepas dari peran Ulama dan Umara yang masih tetap konsisten untuk memperjuangkan serta membela agamanya. Karena seiring dengan kebencian dan kedengkian serta munculnya gerakan-gerakan orang-orang  Eropa Kristen, kondisi dunia Islam dan kaum Muslimin telah menciptakan mentalitas layak terbelakang dan kalah di mana saat itu sebagaimana yang ditulis oleh Majid ‘Irsan al-kilani dalam bukunya bahwa di dalam tubuh umat islam telah terjadi perpecahan pemikiran Islam.
                        Tuntutan perubahan atas kondisi masyarakat saat itu terasa semakin mendesak, demikian juga dengan bahaya kekuatan luar yang terus mengancam. Saat itu, masyarakat Muslim dihadapkan pada dua pilihan, yaitu melakukan perubahan radikal dari dalam atau menyerah kepada ancaman yang membawa kebinasaan. Akan tetapi, seluruh elemen dan potensi gerakan dakwah dikerahkan oleh para Ulama dan Umara untuk memilih perubahan radikal dari dalam diri (internal).
                        Sampai mereka pun lebih memfokuskan metodenya kepada gerakan dakwah yang bersifat kultur, yakni lebih memfokuskan perhatiannya kepada upaya berbenah diri untuk mengevaluasi dan memperbarui semua pemikiran dan konsepnya selama ini, agar kemudian bisa kembali ke tengah masyarakat dan memulai proses pembaruan (ishlah) atau menjalankan prinsip amar maruf nahyi munkar.

E.     Perkembangan Ilmu Pengetahuan Masa Bani Abbasiyah
1.      Filsafat
Istilah filsafat diartikan sebagai pengetahuan dan penyidikan dengan akal budi mengenai segala hakikat yang ada, sebab, asal dan hukumnya. Filsafat itu bermacam macam seperti filsafat ketuhanan, filsafat alam, dan filsafat islam.
Filsafat islam adalah pengetahuan dan penyidikan dengan akal budi mengenai segala hakikat yang ada, sebab, asal dan hukumnya dan ketentuan ketentuannya berdasarkan Alqur'an dan Al Hadits. 
Adapun tokoh tokoh filsafat Islam antara lain sebagai berikut:
a.       Abu Ishak Al Kindi (809-873 M)
b.      Abu Nashr Al Farabi (870-950 M)
c.       Ibnu Sina (980-1036 M)
d.      Al-Gazali (1058-1111 M)
e.       Ibnu Rusyd (1126-1198 M)

2.      Kedokteran
Dokter dokter muslim terkenal pada Dinasti Abbasiyah antara lain sebagai berikut.
a.       Hunain Ibnu Ishak (804-874 M) terkenal sebagai dokter ahli mata
b.      Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakaria Ar Razi (809-73 M), dokter ahli penyakit cacar dan campak.
c.       Ibnu Sina (980-1036 M) seorang dokter di Istana Amir Nuh Ibnu ansur di Bukhara. Karya tulisnya yang terkenal berjudul "Al Qanun Fi At Tib" merupakan ensiklopedi kedokteran..

3.      Farmasi dan Kimia
Merupakan  pengetahuan tentang pembuatan obat obatan, sedangkan ilmu kimia berarti ilmu yang membahas tentang penguraian zat zat. 
Para cendekiawan muslim yang ahli di bidang farmasi dan kimia, antara lain:
a.       Ibnu Bachtiar (abad ke 7 M)
b.      Rasyiduddin bin Suwari (wafat tahun 639 H)
c.       Jubair bin Haiyah (hidup pada masa Khalifah al Mahdi 158-169 H)

4.      Astronomi 
Merupakan ilmu yang mempelajari perjalanan matahari, bulan, bumi dan bintang bintang. Para cendekiawan muslim yang ahli di bidang Astronomi antara lain
a.       Abu Mansur al Falaki (wafat tahun 272 H),
b.      Jabir al Batani (wafat tahun 319 H), pencipta teropong bintang pertama,
c.       Rayhan al Bairuni (wafat tahun 440 H)

5.      Matematika
Para cendekiawan muslim yang menekuni bidang matematika dan menemukan prinsip prinsip dasar matematika dan mengembangkannya antara lain sebagai berikut.
a.       Al Khawarizmi (194-226 H)
Jasa Al Khawarizmi adalah di bidang matematika ialah menyusun tentang aljabar dan menemukan tentang angka 0. Angka 1-9 berasal dari Hindu yang dikembangkan oleh umat Islam (Arab), sehingga angka 1-9 dan 0 disebut sebagai angka (bilangan) Arab. Kemudian setelah disempurnakan oleh bangsa Latin, disebut pula angka latin.
b.      Umar Khayam (1048-1131 M)
Jasa Umar Khayam antara lain telah mengarang buku tentang aljabar yang berjudul "Treatise On Algebra". Buku ini telah diterjemahkan oleh F. Woepoke ke dala Bahasa Prancis (Paris 1857 M).

6.      Sejarah
Para cendekiawan muslim yang ahli dalam bidang sejarah dan hidup pada masa Dinasti Abbasiyah, antara lain
a.       Al Waqidi (wafat 207 H),
b.      Ibnu Jarir At Tabari (wafat 210 H),
c.       Maskawihi (wafat 421 H),
d.      Ibnu Haiyan (wafat 469 H).
e.       Muhammad Ibnu Ishaq Yasar (85-151 H), pengarang Buku buku "As Siyar wal Magazi"

7.      Geografi
Ahli geografi yang hidup pada masa Dinasti Abbasiyah cukup banyak, antara lain
a.       Ibnu Haik (wafat 334 H),
b.      Al Muqaddasi (wafat sesudah tahun 375 H), Syarif Indrisyi (wafat 548 H),
c.       Yaqut Al Hamawi (wafat 626 H). 

                        Selain ilmu pengetahuan umum dinasti abbasiyah juga memperhatikan pengembangan ilmu pengetahuan keagamaan antara lain:

1.      Ilmu Hadis
Diantara tokoh yang terkenal di bidang ini adalah imam bukhari, hasil karyanya yaitu kitab al-Jami’ al-Shahih al-Bukhari. Imam muslim hasil karyanya yaitu kitab al-Jami’ al-shahih al-muslim, ibnu majjah, abu daud, at-tirmidzi dan al-nasa’i.

2.       Ilmu Tafsir
Terdapat dua cara yang ditempuh oleh para mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Pertama, metode tafsir bil ma’tsur yaitu metode penafsiran oleh sekelompok mufassir dengan cara penafsiran al-Qur’an dengan hadits dan penjelasan para sahabat. Kedua, metode tafsir bi al-ra’yi yaitu penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan akal lebih banyak dari pada hadits. Diantara tokoh-tokoh mufassir adalah imam al-Thabary, al-sud’a muqatil bin Sulaiman.

3.         Ilmu Fiqih
Dalam bidang fiqih para fuqaha’ yang ada pada masa bani abbasiyah mampu menyusun kitab-kitab fiqih terkenal hingga saat ini misalnya, imam Abu Hanifah menyusun kitab musnad al-Imam al-a’dzam atau fiqih al-akbar, imam malik menyusun kitab al-muwatha’, imam syafi’I menyusun kitab al-Umm dan fiqih al-akbar fi al tauhid, imam ibnu hambal menyusun kitab al musnad ahmad bin hambal.

4.         Ilmu Tasawuf
Kecenderungan pemikiran yang bersifat filosofi menimbulkan gejolak pemikiran diantara umat islam, sehingga banyak diantara para pemikir muslim mencoba mencari bentuk gerakan lain seperti tasawuf. Tokoh sufi yang terkenal yaitu Imam al-Ghazali diantara karyanya dalam ilmu tasawuf adalah ihya ulum al-din.

F.     Faktor Penyebab Runtuhnya Bani Abbasiyah
Adapun faktor yang menyebabkan Bani Abbasiyah menjadi runtuh, antara lain sebagai berikut:
Faktor Internal
·         Persaingan antar Bangsa
Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah
dirasakan sejak awal Khalifah Abbasiyah berdiri. Akan tetapi, karena para Khalifah adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga. Setelah al-Mutawakkil, seorang Khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara Turki tidak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Daulah Abbasiyyah sebenarnya sudah berakhir
.
·         Kemerosotan Ekonomi
Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik Dinasti Abbasiyah. Kedua faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.
·         Konflik Keagamaan
Konflik yang melatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara Muslim dan Zindik atau Ahlussunnah dengan Syi’ah.
·         Perkembangan Peradaban dan Kebudayaan
Kemajuan besar yang dicapai Dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah
mendorong para penguasa untuk hidup mewah, yang kemudian ditiru oleh para haratawan dan anak-anak pejabat sehingga menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin (Yatim, 2003:61-62).
Faktor Eksternal
·         Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban.













BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah adalah melanjutkan kekuasaan Dinasti Bani Umayyah. Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa Dinasti ini adalah keturunan Abbas, paman nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbass. Dia dilahirkan di Humaimah pada tahun 104 H. Dia dilantik menjadi Khalifah pada tanggal 3 Rabiul awwal 132 H. Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah berlangsung dari tahun 750-1258 M.
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
Terdapat pula beberapa faktor yang menyebabkan perkembangan sastra pada masa dinasti abbasiyah yaitu, politik, sosial masyarakat, intelektual dan pengetahuan.












DAFTAR PUSTAKA
Hassan, Hassan Ibrahim.1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta.
Syalabi, A. 1983. Sejarah dan Kebudayaan Islam Jilid 2. Jakarta: Pustaka Alhusna
http://abdullatif16.blogspot.co.id/2012/12/kondisi-sosial-politik-dan-budaya-pada_8661.html
http://mouzena20.blogspot.co.id/2013/01/kehidupan-sosial-dan-politik-pada-masa.html
http://kokohnaxnetig.blogspot.co.id/2015/02/perkembangan-ilmu-pengetahuan-umum-pada.html
http://tile.mwb.im/sejarah-perkembangan-ilmu-pengetahuan-is.xhtml



[7] Ahmad Syafi’i Ma’arif, M. Amin Abdullah, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hlm. 144.
[9]  http:// Powered by WordPress.com



[1][1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam  (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993) h..49
[2][2] Abu Su’ud, Islamologi   (cet. I, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), h. 72. 
[3][3] M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam  (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), h. 143.
[4][4] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik  (Cet. I; Bogor: Prenada Media, 2003), h. 47.
[5][5] Ibid, h. 48.
[6][6] Ibid.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian, Syarat, dan Metode Tahammul wal Ada'

Pengertian Tahammul wa al-Ada’           Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan hadits dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadits.[1] Muhammad ‘Ajaj al-Khatib memberikan defenisi dengan kegiatan menerima dan mendengar hadits.[2] Jadi tahammul adalah proses menerima periwayatan sebuah hadits dari seorang guru dengan metode-metode tertentu. Al-‘Ada adalah kegiatan meriwayatkan dan menyampaikan hadits.[3] Menurut Nuruddin ‘Itr adalah menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada orang lain.[4] Jadi al-‘ada adalah proses menyampaikan dan meriwayatkan hadits. At-Tahammulal-Hadist        Menurut bahasa tahammul merupakan masdar dari fi’il madli tahmmala ( ﺗَﺤَﻤَّﻞَ - ﻳَﺘَﺤَﻤَّﻞُ - ﺗَﺤَﻤُﻼ ) yang berarti menanggung , membawa, atau biasa diterjemahkan dengan menerima. Berarti tahammul al-hadits menurut bahasa adalah menerima hadits atau menanggung hadits. Sedangkan tahammul al-hadits menurut istilah ulama ahli hadits, sebagaima

MAKALAH Hadits menurut segi kuantitas rawi (Mutawatir dan Ahad); segi kualitas Rawi (Shahih, Hasan dan Dhaif) LENGKAP

BAB I PENDAHULUAN 1.1      Latar Belakang Seperti yang telah diketahui, hadits diyakini sebagai sumber ajaran Islam setelah kitab suci Al-Quran. Hadits merupakan segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW. baik berupa ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum dan ketentuan Allah yang disyari’atkan kepada manusia. Selain itu, hadits juga dibutuhkan manusia untuk mengetahui inti-inti ajaran dalam Al-Quran. Jika ayat-ayat dalam Al-Quran mutlak kebenarannya, berbeda dengan hadits yang bisa saja belum jelas periwayatannya, hadits tersebut benar berasal dari Nabi Muhammad SAW. atau bukan. Ditinjau dari segi kuantitasnya, hadits dibagi menjadi mutawatir dan ahad. Sedangkan ditinjau dari segi kualitasnya, hadits terbagi menjadi dua yaitu, hadits Maqbul (hadits yang dapat diterima sebagai dalil) dan hadits Mardud (hadits yang tertolak sebagai dalil). Hadits Maqbul terbagi menjadi dua yaitu hadits Shahih dan Hasan, sedangkan yang termasuk dalam ha

Language Varieties (Dialect, Styles, Slang word, Registers)

Language Varieties Group 6 Rizal Fachtur Hidayat (16320017) Balqist Hamada (16320021) Sheni Diah Safitri (16320052) Dhimas Muhammad I. J. (16320053) Yoshi Nur Rahmawati (16320096) Nikma Hidayatul Khasanah (16320101) Audy Oktaviani A. I. (16320140) Roby Inwanuddin Affandi (16320220) Wahida Camelia (16320228) Language Varieties Language varies from one social group to another social group, from one situation to another situation, and from one place to another place. Variation shows that every speaker does not speak the same way all the time. Language varieties indicate that the speakers are distinct from members of other groups (Finegan, 2008) . Language variety that signifies particular situations of use is called registers, it is appropriate for use in particular speech situations. There are some examples of language variations that are of interest to linguist according to   (Akmajian, 1998) , lingua francas, pidgins, creoles, jargon, sl