Langsung ke konten utama

Contoh MAKALAH Pemikiran tokoh Hasan Hanafi LENGKAP


MAKALAH
Pemikiran Hasan Hanafi
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teosofi
Dosen Pengampu : Rovita Agustin Zulaimiah, M.A



 







Disusun Oleh :
Balqist Hamada   (16320021)

 Kelas : B




JURUSAN SASTRA INGGRIS
FAKULTAS HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017/2018




BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Dalam perkembangannya Islam banyak sekali mengalami perubahan-perubahan dan pembaharuan-pembaharuan yang terjadi. Karena adanya ketidak relevannya antara masa klasik dan masa berikutnya. Sehingga terjadi suatu pembaharuan pemikiran yang terjadi, salah satunya tokoh pembaharuan dalam Islam ialah Hasan Hanafi.
Berkaitan dengan hal tersebut yang perlu dikaji bila membicarakan mengenai pembaharuan pemikiran seorang tokoh maka yang perlu di perhatikan adalah kondisi lingkungan dimana dia dibesarkan. Karena kondisi lingkungan itulah yang pada umumnya melatarbelakangi munculnya gagasan-gagasannya itu.
Fokus penelitian pada pemikiran Hassan Hanafi ini adalah kiri Islam, Oksidentalisme, Revolusi tauhid, Revitalisasi Khasanah Intelektual Klasik, dan Antroposentrisme. Pemikiran Hassan Hanafi tersebut menurut pandangan pemikir-pemikir Islam lainnya ada beberapa yang mendukung dan adapula yang mengkritik pemikirannya. Dari beberapa pemikir Islam lainnya seperti Fazlurrahman, Mohammad Arkoen, Nurcholish Madjid dan pemikir Islam yang mengkritik adalah Kuntowijoyo.
Dari perbedaan tersebut, bukan berarti pemikiran Hassan Hanafi tidak relevan, ada beberapa pemikirannya yang cukup relevan untuk dimiliki oleh umat Islam untuk dijadikan motivasi dan pemikirannya untuk merekonstruksi umat Islam. Dan juga relevan tidaknya dapat dilihat bagaimana menurut sudut pandang dari al-Quran.

B.` Rumusan Masalah
1.      Bagaimana biografi Hasan Hanafi?
2.      Apa saja karya-karyanya?
3.      Bagaimana pemikiran yang  ia berikan pada umat Islam?
4.      Bagaimana analisis penulis terhdap pemikiran tokoh?
C. Tujuan
1.      Untuk mengetahui bagaimana biografi Hasan Hanafi.
2.      Untuk mengetahui apa saja karya-karyanya.
3.      Untuk mengetahui bagaimana pemikiran yang ia berikan pada umat Islam.
4.      Untuk mengetahui bagaimana analisis penulis terhdap pemikiran tokoh.
  
BAB II
PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI
Ia lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, di dekat Benteng Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Ia dilahirkan pdari keluarga musisi[1] (Rozak & Anwar, 2014). Masa kecil Hanafi berhadapan dengan kenyataan-kenyataan hidup di bawah penjajahan dan dominasi pengaruh bangsa asing. Kenyataan itu membangkitkan sikap patriotik dan nasionalismenya, sehingga tidak heran meskipun masih berusia 13 tahun ia telah mendaftarkan diri untuk menjadi sukarelawan perang melawan Israel. Namun ia ditolak oleh Pemuda Muslimin karena dianggap usianya masih terlalu muda. Namun hal tersebut tidak menyurutkan semangatnya, sehingga pada umur 16 tahun ia ikut perang gerilya melawan Inggris di terusan Suez[2] (Soepono, 2009). Di samping itu ia juga dianggap bukan berasal dari kelompok Pemuda Muslimin. Ia kecewa dan segera menyadari bahwa di Mesir saat itu telah terjadi problem persatuan dan perpecahan.
Pendidikannya diawali pada tahun 1948 dengan menamatkan Pendidikan tingkat dasar, dan melanjutkan studi di Madrasah Tsanawiyah “Khalil Agha”, Kairo. Sejak sekolah disinilah, Hanafi mulai tertarik dengan kegiatan-kegiatan intelektual dengan mempelajari pemikiran sayyid Qutb tentang keadilan dan Islam, dan dengan teman-temannya ia mengikuti diskusi Ikhwan al-Muslimin. Dengan kegiatan tersebut ia terdorong untuk mendalami pemikiran agama, revolusi dan perubahan sosial, filsafat teori-teori social. Sejak tahun 1952 sampai dengan 1956 Hanafi belajar di Universitas Kairo untuk mendalami bidang filsafat.[3] Di dalam periode ini ia merasakan situasi yang paling buruk di Mesir. Pada tahun 1954 misalnya, terjadi pertentangan keras antara kelompok diskusinya Ikhwanul Muslimin dengan gerakan revolusi.
Kemudian ia melanjutkan ke Universitas Sorbonne Perancis dengan konsentrasi kajian pemikiran Barat modern dan pra-modern pada tahun 1956 sampai 1966. Selama di Perancis, Hanafi mendalami berbagai disiplin ilmu. Ia juga mendalami beberapa metode berfikir, mulai dari pemikiran fenomenologi Husserl (1859-1938) yang mengakui kebenaran empiris, kebenaran teoritis (akal) dan kebenaran nilai. Kemudian ia juga mendalami pemikiran pembaruan dan sejarah filsafat Jean Guitton (1901-1999), sampai analisis kesadaran Paul Ricouer (1913-2005), pemikiran Louis Massignon (1883-1962) dalam bidang pembaruan. Perjalanan Ilmiah Hanafi selama di Perancis berlangsung selama kurang lebih 10 tahun yang membuatnya memiliki kesan abadi pada perkembangan intelektualnya yang membuatnya berucap “ituah barat yang aku pelajari, aku cintai, aku kritik dan akhirnya aku benci.[4] Namun, walaupun dikemudian hari ia mengkritik dan bahkan menolak barat, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa ide-ide liberalisme barat, demokratisasi, rasionalisme, dan pencerahannya telah merasuk dan mempengaruhi pemikiran-pemikiran hanafi.
Meskipun Hanafi menolak dan mengkritik Barat, namun ide-ide Barat telah mempengaruhi pemikirannya. Oleh karena itu Kazuo Shimogaki dalam bukunya ”Kiri Islam” mengatakan bahwa Hanafi adalah seorang modernis-liberal, seperti Luthfi Asy-Sayyid, Taha Husain, dan Al-Aqqad. Salah satu keprihatinan Hanafi adalah bagaimana melanjutkan proyek yang didesain untuk membuat dunia Islam bergerak menuju pencerahan yang menyeluruh. Hanafi melihat umat Islam pada masa itu berada dalam ketidakbebasan, keprihatinan dan berada dalam bayang-bayang negara Barat.[5] (Fuad Hasan, 2018)
Karier Hanafi di dunia intelektual dimulai pada tahun 1967 ketika diangkat menjadi Lektor, kemudian Lektor Kepala (1973), Profesor filsafat (1980) pada jurusan Filsafat Universitas Kairo serta diserahi jabatan sebagai ketua Jurusan Filsafat pada universitas yang sama. Selain itu, ia juga aktif dibeberapa negara dan perguruan tinggi internasional sebagai dosen tamu, seperti di Perancis (1969), Belgia (1970), Temple University Philadelpia AS (1971-1975) Universitas Kuwait (1979), dan Universitas Fez Maroko (1982-1984). Selanjutnya diangkat sebagai guru besar pada Universitas Tokyo (1984-1985), di Persatuan Emirat Arab (1985) dan menjadi penasihat program di Universitas PBB di Jepang (1985-1987). [6]
Di samping menggeluti dunia akademik, Hanafi juga aktif dalam organisasi kemasyarakatan, seperti Persatuan Masyarakat Filsafat Mesir sebagai sekretaris umum, anggota Ikatan Penulis Asia-Afrika, dan wakil presiden Persatuan Masyarakat Filsafat Arab. Pemikirannya tersebar di dunia Arab dan Eropa. Tahun 1981, ia memprakarsai sekaligus menjadi pimpinan redaksi Jurnal Ilmiah al-Yasar al-Islami (Kiri Islam). Pemikirannya dalam jurnal tersebut memancing reaksi keras dari penguasa Mesir saat itu, Anwar Sadat (1918-1981), sehingga menyeret Hanafi mendekam dalam penjara. Sejak saat itu, jurnal al-Yasar al-Islami tidak pernah terbit lagi. Namun pemikiran al-Yasar al-Islami tidak pernah hilang dikalangan umat Islam, bahkan menjadi kajian yang menarik dan layak untuk diteliti dan dikembangkan.
Meskipun di negaranya sendiri (Mesir) ia kurang diterima bahkan dikecam oleh kelompok Islam konservatif-skripturalis, tapi ia selalu menyempatkan diri menulis beberapa karya ilmiah yang menekankan pada pentingnya tradisi dan pembaruan (al-Turats wa Tajdid) dalam upaya membebaskan dunia Timur (Islam) dari pengaruh Barat, sehingga tercipta kesetaraan antara al-ana yakni dunia Timur dan al-akhar yakni dunia Eropa atau Barat.[7]
Bagi kelompok konservatif, Hasan Hanafi bahkan para revolusioner Islam lainnya dianggap justru telah meremehkan Islam dan melemahkan posisi Islam didalam kehidupan umat manusia, dan ajaran-ajaran mereka telah terpengaruh oleh kepentingan-kepentingan dunia Barat. Dengan dalil-dalilnya, aliran konservatif telah mengkafirkan ajaran-ajaran modernis Islam.[8]
Disamping dunia akademik, Hanafi juga aktif dalam organisasi ilmiah dam kemsyarakatan. Aktif sebagai sekretaris umum Persatuan Masyarakat Filsafat Mesir, anggota Ikatan Penulis Asia-Afrika, anggota Gerakan Solidaritas Asia-Afrika dan menjadi wakil presiden Persatuan Masyarakat Filsafat Arab. Pemikirannya tersebar di dunia Arab dan Eropa. Tahun 1981 memprakarsai dan sekaligus sebagai pimpinan redaksi penerbitan jurnal ilmiah Al-Yasar al-Islami. Pemikirtannya yang terkenal dalam jurnal ini sempat mendapat reaksi keras dari penguasa Mesir saat itu, Anwar Sadat, sehingga menyeretnya dalam penjara.
B. KARYA KARYA
Karya karya hanafi dapat diklasifikasiakan menjadi tiga periode, yaitu: Periode pertama berlangsung pada tahun 60-an; periode kedua pada tahun 70-an, dan periode ketiga dari tahun 80-an sampai dengan 90-an. Pada awal dasawarsa 1960-an pemikiran Hanafi dipengaruhi oleh faham-faham dominan yang berkembang di Mesir, yaitu nasionalistik-sosialistik populistik yang juga dirumuskan sebagai ideologi Pan Arabisme, dan oleh situasi nasional yang kurang menguntungkan setelah kekalahan Mesir dalam perang melawan Israel pada tahun 1967.
Usahanya untuk melakukan rekonstruksi pemikiran Islam adalah ketika ia berada di Perancis ia mengadakan penelitian tentang, metode interpretasi sebagai upaya pembaharuan bidang ushul, dan tentang fenomenologi sebagai metode untuk memahami agama dalam konteks realitas kontemporer. Penelitian itu sekaligus merupakan upayanya untuk meraih gelar doktor di Universitas Sorbonne, dan ia berhasil menulis disertasi tentang Metode Penafsiran yang mendapat penghargaan sebagai karya ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 1961.
Awal periode 1970-an, Hanafi juga memberikan perhatian utamanya untuk mencari penyebab kekalahan umat Islam dalam perang melawan Israel tahun 1967. Oleh karena itu, tulisan-tulisannya lebih bersifat populis. Di awal periode 1970-an, ia banyak menulis artikel di berbagai media massa, seperti Al Katib, Al-Adab, Al-Fikr al-Mu’ashir, dan Mimbar Al-Islam. Kemudian pada tahun 1976, tulisan-tulisan itu diterbitkan sebagai sebuah buku dengan judul Qadhaya Mu’ashirat fi Fikrina al-Mu’ashir. Kemudian, pada tahun 1977, ia menerbitkan Qadhaya Mu `ashirat fi al Fikr al-Gharib. Buku kedua ini mendiskusikan pemikiran para sarjana barat untuk melihat bagaimana mereka memahami persoalan masyarakatnya dan kemudian mengadakan pembaruan.[9]
Sementara itu ada juga bukunya yang berjudul Dirasat Islamiyyah, yang ditulis sejak tahun 1978 dan terbit tahun 1981. Buku tersebut memuat deskripsi dan analisis pembaruan terhadap ilmu-ilinu keislaman klasik, seperti ushul fikih, ilmu-ilmu ushuluddin, dan filsafat. Dimulai dengan pendekatan historis untuk melihat perkembangannya, Hanafi berbicara tentang upaya rekonstruksi atas ilmu-ilmu tersebut untuk disesuaikan dengari realitas kontemporer.
Periode selanjutnya, yaitu dasawarsa 1980-an sampai dengan awal 1990-an, dilator belakangi oleh kondisi politik yang relatif lebih stabil ketimbang masa-masa sebelumnya. Dalam periode ini, Hanafi mulai menulis Al-Turats wa al-Tajdid yang terbit pertama kali tahun 1980. Buku ini merupakan landasan teoretis yang memuat dasar-dasar ide pembaharuan dan langkah-langkahnya. Kemudian, ia menulis Al- Yasar Al-lslamiy (Kiri Islam), sebuah tulisan yang lebih merupakan sebuah "manifesto politik" yang berbau ideologis.[10]
Kemudian ada juga buku Min Al-Aqidah ila Al-Tsaurah (5 jilid), ia tulis selama hampir sepuluh tahun dan baru terbit pada tahun 1988. Buku ini memuat uraian terperinci tentang pokok-pokok pembaruan yang ia canangkan dan termuat dalam kedua karyanya yang terdahulu. Oleh karena itu, bukan tanpa alasan jika buku ini dikatakan sebagai karya Hanafi yang paling monumental.
Selanjutnya, pada tahun-tahun 1985-1987, Hanafi menulis banyak artikel yang ia presentasikan dalam berbagai seminar di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Perancis, Belanda, Timor Tengah, Jepang, termasuk Indonesia. Kumpulan tulisan itu kemudian disusun menjadi sebuah buku yang berjudul Religion, Ideology, and Development yang terbit pada tahun 1993. Beberapa artikel lainnya juga tersusun menjadi buku dan diberi judul Islam in the Modern World (2 jilid).[11]


C. Pemikiran Hasan Hanafi
  1. Kiri Islam
Makna kata “kiri” disini adalah nama ilmiah, sebuah istilah ilmu politik yang berarti resistensi dan kritisisme dan menjelaskan jarak anatara realitas dan idealitas. Ia juga istilah ilmu-ilmu kemanusiaan secara umum. Kata Kiri Islam sendiri muncul secara spontan. Penamaan itu pun setelah meliahat realitas yang berkembang dalam masyarakat khususnya umat islam yang kehidupannya terkotak-kotak seperti antara penguasa dan rakyat, kaya dengan yang miskin, atasan dengan bawahan, dll. Kiri Islam berada pada posisi yang dikuasai, si miskin, terpinggirkan.[12] Kiri Islam berada pada pihak yang terkotak-kotak di bawah, mengambil hak-hak kaum miskin yang terenggut oleh orang-orang kaya, memperkuat orang-orang yang lemah menjadi umat yang super, menjadikan manusia tidak hidup terkotak-kotak menjadikan manusia sama tingginya. Dalam bahasa ilmu politik, kiri berarti perjuangan dan kritisisme.

·         Isi Pemikiran Kiri Islam
Kiri islam bertopang pada tiga pilar dalam rangka mewujudkan kebangkitan islam, revolusi islam (revolusi tauhid), dan kesatuan umat.[13] (Fuad Hasan, 2018)
  1. Revitalisasi khazanah islam klasik. Hasan hanafi menekankan bahwa perlunya rasionalisme untuk revitalisasi khazanah islam. Rasionalisme adalah keniscayaan untuk kemajuan dan kesejahteraan muslim serta untuk memecahkan situasi kekinian di dalam dunia islam.
  2. Perlunya menantang peradaban Barat. Ia mengingatkan tentang bahayanya imperalisme kultural barat yang cenderung membasmi kebudayaan bangsa-bangsa yang secara kesejahteraan kaya.
  3. Analisis terhadap realitas dunia Islam. Ia mengkritik metode tradisional yang bertumpu pada teks (nash), dan mengusulkan suatu metode tertentu agar realitas dunia Islam dapat berbicara pada dirinya sendiri.
2.   Rekonstruksi Teologi
Dalam karya besarnya Al-turath wa Al-tajdid, ia ingin membangun “sikap kita terhadap tradisi lama”, ia merekonstruksi bangunan teologis dalam tradisi klasik sebagai alat untuk transformasi sosial. Hassan Hanafi menegaskan, rekonstruksi teologi tidak harus membawa implikasi terhadap hilangnya tradisi-tradisi lama. Rekonstruksi teologi untuk mengkonfrontasikan ancaman-ancaman baru yang datang ke dunia dengan menggunakan konsep yang terpelihara murni dalam sejarah.[14] (Syarifuddin, 2012)
Proyek tersebut mempunyai tiga concern utama yang mempresentasikan hubungan dialektis antara subyek diri (al-Ana) atau umat Islam dengan “yang lain” (al-Akhar) atau Barat dalam satu proses sejarah tertentu.
Ketiga concern tersebut adalah: (1) sikap diri terhadap tradisi klasik, yaitu kesadaran diri dalam melihat budaya sendiri yang merupakan bagian sejarah masa lalu; (2) sikap diri terhadap tradisi Barat, yaitu kesadaran diri dalam melihat orang lain, yaitu Barat Modern; (3) sikap diri terhadap realitas, yaitu kesadaran diri terhadap realitas kehidupan yang dihadapi, baik yang bersangkutan dengan diri (al-Ana) maupun Barat (al-Akhar).[15] (Munir, p. 254)
Menurut Hasan Hanafi, untuk melakukan rekonstruksi teologi sekurang kurangnya dilatarbelakangi oleh tiga hal, sebagai berikut:
1.   kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas di tengah-tengah pertarungan global antara berbagai Ideologi.
2. Pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya, melainkan terletak kepada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan ideologi sebagai gerakan dalam sejarah, salah satu kepentingan praksis ideologi Islam (dalam teologi) adalah memecahkan kemiskinan dan keterbelakangan di negara-negara Muslim.
3. Kepentingan teologi yang bersifat praksis, yaitu secara nyata diwujudkan dalam realitas melalui realisasi tauhid dalam dunia Islam.[16] (Syarifuddin, 2012)

Menurut Hassan Hanafi, Rekonstruksi teologi merupakan salah satu cara yang harus di tempuh jika mengharapkan teologi dapat memberikan sumbangan konkrit bagi kehidupan dan peradaban manusia. Oleh karena itu perlu menjadikan teologi sebagai wacana tentang kemanusiaan, baik secara eksistensia, kognitif, maupun kesejahteraan.[17]
Dikarenakan menganggap teologi Islam tidak “ilmiah” dan tidak “membumi”, maka Hassan Hanafi mengajukan konsep baru yang tujuannya adalah dalam rangka menjadikan teologi tidak sekedar sebagai dogma keagamaan yang kosong, melainkan harus menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan keimanan berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi tindakan manusia. Karena itu, gagasan-gagasan Hassan Hanafi yang bekaitan dengan teologi, berusaha untuk mentrasformulasikan teologi tradisional yang bersifat teosentris menuju antroposentris, dari Tuhan kepada manusia (bumi), dari tekstual kepada kontekstual, dan dari teori kepada tindakan, serta dari takdir menuju kehendak bebas.
Menurut Hassan Hanafi, sebagaimana dikutip oleh Arfiansyah,19 bahwa teologi bukanlah ilmu ketuhanan, teologi tidak lebih merupakan hasil pemikiran manusia yang terkondisikan oleh waktu dan keadaan sosial, sehingga posisinya sama dengan ilmu-ilmu lainnya, tidak ada yang lebih utama di dalam ilmu-ilmu pengetahuan, karena sebagai pengetahuan dapat saja berubah-ubah pada perumusannya, sehingga memungkinkan untuk munculnya bentuk-bentuk teologi baru. Selanjutnya Hassan Hanafi mengkritik kesepakatan orang-orang terdahulu bahwa ilmu tauhid hanya sebuah disiplin tentang aqidah agama yang pembahasannya mengenai kesahihan aqidah yang bersifat teoritis murni, sebab itu aqidah menjadi terpisah dari dataran praktis. (Syarifuddin, 2012)
Keadaan sosial sesungguhnya merupakan ekspresi sistem kepercayaan yang diyakini, karenanya sistem teologi yang diajukan oleh Hassan Hanafi memiliki kepentingan revolusi yang tujuan finalnya adalah revolusi sosial. Maka Hassan Hanafi menghendaki agar pemahaman terhadap Islam dapat melahirkan suatu gerakan, hal ini juga dikehendaki oleh intelektual Islam lainnya seperti Sayyid Quthb dan Ali Syari‟ati. Mereka bertiga menginginkan Islam sebagai ideologi, yakni berupa himpunan nilai, ide, norma, kepercayaan, dan keyakinan (weltanschauung) yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang yang menjadi dasar dalam menentukan sikap terhadap kejadian dan problem politik yang dihadapinya, dan yang menentukan tingkah laku politiknya. (Syarifuddin, 2012)
Dalam masalah teologi, sebagaimana dijalankan dalam proyek al-turath wa al-tajdid-nya, Hassan Hanafi memandang kaum Mu‟tazilah sebagai refleksi gerakan rasionalisme, humanisme dan pendukung kebebasan manusia. Dapat dikatakan pembaharuan teologi Hassan Hanafi merupakan perluasan dan penajaman teori-teori Mu‟tazilah.22 Bagi Hassan Hanafi, teologi merupakan suatu ilmu yang paling fundamental dalam tradisi Islam harus dibangun kembali sesuai dengan perspektif dan standar modernitas. Untuk itu, ia mengajukan ide neo-kalam (ilmu kalam baru). Apa yang dimaksudnya dengan ilmu tersebut bukan hanya ideologi doktrinal, melainkan ilmu itu lebih merupakan ideologi revolusi atau revolusi ideologis yang dapat memotivasi kaum Muslim modern buat beraksi melawan despotisme dan penguasa otoriter. Dalam bentuk yang beragam, Hassan Hanafi selalu mengaitkan teologi ini dengan teologi tanah, teologi kaum tertindas, dan teologi pembebasan ala Amerika Latin.23 93-183
2.    Pemikiran Tentang Oksidentalisme
Menurut Nurcholis Madjid oksidentalisme adalah “pengetahuan akademik tentang budaya, bahasa, dan bangsa-bangsa Barat” (N. Madjid “orientalisme dan oksidentalisme, 2000). Secara umumnya oksidentalis adalah pengkajian orang-orang timur tentang orang-orang barat dari bahasa, kebudayaan dll yang berhubungan dengan Barat.[18]
Hasan Hanafi adalah orang yang digadang-gadang sebagai pencetus adanya oksidentalisme. Ia merasa tidak setuju dengan lingkungan disekitar yang sangat dihegemoni oleh bangsa barat, yang seolah-olah barat adalah pusat dari segalanya. Dengan keadaan yang seperti itu membuat Hanafi mengeluarkan pemikirannya tentang barat dan ia mempolerkanlah term oksidentalisme.
Beberapa pemikiran hasan hanafi tentang Oksidentalisme. Hasan hanafi menginginkan seorang oksidentalisme mempunyai tugas untuk merumuskan tugas-tugas sebagi pengkaji tradisi barat, seperti berikut:[19]
  1. Melenyapkan superrioritas Barat dngan menjadikannya sebagai obyek kajian dan menumbangkan kaum minoritas dengan menjadikannya sebagai subyek pengkaji. Hal ini bisa di tandai dengan hialngnya dikotomi antara tuan dengan hamba.
  2. Menghapus mitos kebudayaan Barat atau Kosmopolit sebagai kebudayaan yang harus di adopsi oleh seluruh bangsa. Selama ini kebanyakan orang menganggap bahwa kebudayaan terbaik adalah kebudayaan barat. Untuk menghapus mitos ini hanafi menawarkan solusi yaitu dengan ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan akan mengembalikan Barat pada batas-batas alamiyahnya.
  3. Mengakhiri kontrol eropa terhadap bangsa non Eropa dan memulai babak baru bagi sejarah manusia. Hal ini dimulai dengan masa pembebasan yang bertepatan dengan krisis abad 20 di Eropa. Penariakn mundur Eropa ke batas geografisnya. Melemahnya kebudayaan Barat dan pengaruhnya terhadap bangsa lain.
  4. Meluruskan istilah-istilah yang mengisyaratkan sentrisme sejarah Eropa untuk kemdian dilakukan penulisan ulang sejarah Dunia dengan kacamata yang lebih obyektif dan netral serta lebih bersifat adil terhadap andil seluruh peradaban manusia dalam sejarah dunia.
3. Hermeneutika Hasan Hanafi
Hal ingin diwujudkan Hanafi dalam pemikirannya adalah merekonstruksi peradaban dengan menunjukan pada sumber-sumbrnya, atau reinterprtasi wahyu itu sendiri yang mendasarkan kepada realitas kehidupan kontemporer masyarakat. Hanafi menambahkan pendapatnya secara jelas bahwa ia menyatakan keluar dari tradisionalisme (taklidisme) dan tidak mengikuti jejak para salaf ash-shalih.[14] Hasan Hanafi secara tegas mengajak kepada kita untuk mengalih fokus kajian dari Alloh swt dan Rosul, yang menjadi pusat kajian ilmu kalam dalam pengetahuan tradisional, menuju manusia yang sekarang sbagai objek kajian. Ia berpendapat bahwa tafsiran lama memiliki banyak kelemahan, sehingga ia menggunakan penafsirannya agar dapat sejalan dengan perkembangan zaman.
·         Kelemahan Tafsir Klasik[15]
a. Tafsir itu slalu lebih merupakan teori tentang eksistensi Alloh swt daripada tentang eksistensi manusia.
b. Tafsir klasik selalu terkait dengan kondisi lokal islam tempat dahulu islam lahir, Khususnya dari segi sosial dan ekonmi.
c. Penulisan tafsir tidak dimulai dengn mengeritik, menyerukn perbaikan dan perubahan radikal atas kondisi yg bertentangan dengan agama.
·         Metodologi Penulisan Hermeneutika Hasan Hanafi[16]
  1. Wahyu di letakkan dalam tanda kurung ”epoche” tidak afirmasi.
  2. Al-Qur’an diterima sebagaimana layaknya teks-teks lain, seperti karya sastra, teks filosofis, dokumen sejarah dan sebagainya.
  3. Tidak ada penafsiran palsu atau benar, pemahaman benar atau salah. Yang ada hanyalah perbedaan pendekatan terhadap teks yang ditentukan oleh perbedaan kepentingan dan motivasi.
  4. Tidak ada penafsiran tunggal terhadap teks, tapi pluralitas penafsiran yang disebabkan oleh perbedaan pemahaman penafsir
  5. Konflik penafsiran merefleksikan konflik sosio-politik dan bukan konflik teoritis
·         Krakteristik Penafsiran Hasan Hanafi[17]
  1. Tafsir itu harus menghasilkan tafsir yang sifatnya spesifik (at-tafsir al-juz’i).
  2. Tafsir ini disebut juga tafsir tematik (at-tafsir al-maudhu’i)
  3. Bersifat temporal (at-tafsir az-zamani.
  4. Realistik (at-tafsir al-waqi’i). Dimulai dari problematika yang dialami oleh orang muslim.
  5. Beroeientasi pada makna tertentu dan bukan merupakan perbincangan teoritik tentang huruf dan kata.
  6. Bersifat experimental, karena tafsir ini merupakan tafsir yang sesuai dengan kehidupan dan pengalaman hidup mufassir.
  7. Perhatian terhadap problem kontemporer.
ANALISA
Pemikiran Hassan Hanafi dalam Antroposentrisme yang memusatkan alam semesta pada manusia yang mementingkan kepentingan manusia (humanisme) adalah salah besar karena Allah SWT yang harus dijadikan sebagai pusat semesta alam, karena ajaran Allah juga selaras dengan kepentingan manusia juga alam (rahmatan lil „alamiin). Tidak perlu mengganti ajaran Teosentrisme menuju Antroposentrisme, seperti yang dikatakan oleh Hassan Hanafi.
4. Untuk metode tafsir Hermeneutika Hassan Hanafi cukup relevan dalam menafsirkan karena disesuaikan dengan konteks dan menggabungkkan tafsir tematik. Namun dalam kaidah-kaidah yang diusulkan yang menganggap Al-Qur‟an merupakan teks biasa dan sama dengan teks yang lainnya adalah salah, karena Al-Qur‟an adalah firman Allah yang sakral, karenanya butuh berhati-hati dalam menafsirkan dan tidak sembarangan dalam menafsirkan, jika salah bisa melenceng dari ajaran Allah (Islam) dan harus ada nilai kebenaran dalam menafsirkan bukan subjektifitas seperti yang dikatakan Hassan Hanafi. Dampak yang ditimbulkan bisa berakibat fatal seperti adanya aliran sesat dan teroris hanya karena salah memahami al-Qur‟an.

DAFTAR PUSTAKA

M. Ridlwan hanbali, “Hassan Hanafi: dari Islam Kiri, Revitalisasi Turats hingga Oksidentalisme” dalam M. Aunul Abied (ed). Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 218.

Munir, A. (n.d.). Kiri Islam dan Proyek Al Turats wa Al Tajdid. Hasan Hanafi.
[1]Soepono, Kritik Hasan Hanafi Tentang Sufisme, dalam At-Tahrir, Vol. 9, No. 2 Juli 2009, h.204-205
[1] Mubasyaroh, Model Penafsiran Hasan Hanafi. Dalam ADDIN, Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2011, h. 275

Fuad Hasan, D. H. (2018, Maret Selasa). https://studipemikiranquranhadist.wordpress.com/2013/10/23/butir-butir-pemikiran-hasan-hanafi/. Retrieved from www.wordpress.com: https://studipemikiranquranhadist.wordpress.com/

[1] A. Khudori Sholeh, Filsafat Islam hlm. 65

Rozak, A., & Anwar, R. (2014). Ilmu Kalam. (M. Drs. Mamann Abd. Djaliel, Ed.) Bandung: CV Pustaka Setia.


[1] Keberangkatan Hanafi ke Amerika sebagai dosen tamu dikarenakan perselisihannya dengan Anwar Saddat yang memaksanya meninggalkan Mesir. AH. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam (Yogyakarta: Ittaqa Press, 1998), hlm. 16
[1] Listiyono Santoso dkk, Epistemologi Kiri, (Ar-Ruzz Press Yogyakarta, 2003), Hlm.270
Muhammad Hamid an-Nashir.2004. Modernisasi Islam, Membedah Pemikiran Jamaluddin al-Afghani Hingga Islam Liberal, terj. Al-Ashraniyun Baina Maza’im at-Tajdid wa Mayadin at-Taghrib, Jakarta: Darul Haq.
[1] Esposito, John L. (ed), Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, Bandung: Penerbit Mizan, 2001, h. 148

Syarifuddin. (2012). Konsep Teologi Hasan Hanafi. Jurnal Substantia, vol 14.





1 Rozak, A., & Anwar, R, , Ilmu Kalam, CV Pustaka Setia, (M. Drs. Mamann Abd. Djaliel, Ed.) Bandung, 2014, h.274

[2]Soepono, Kritik Hasan Hanafi Tentang Sufisme, dalam At-Tahrir, Vol. 9, No. 2 Juli 2009, h.204-205
[3] Mubasyaroh, Model Penafsiran Hasan Hanafi. Dalam ADDIN, Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2011, h. 275
[4] M. Ridlwan hanbali, “Hassan Hanafi: dari Islam Kiri, Revitalisasi Turats hingga Oksidentalisme” dalam M. Aunul Abied (ed). Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 218.
[5]Fuad Hasan, et. al., “Butir-butir Pemikiran Hasan Hanafi”, Studi Al-Quran Hadits dan Pemikiran Islam, https://studipemikiranquranhadist.wordpress.com/2013/10/23/butir-butir-pemikiran-hasan-hanafi, 27 Maret 2018
[6] Keberangkatan Hanafi ke Amerika sebagai dosen tamu dikarenakan perselisihannya dengan Anwar Saddat yang memaksanya meninggalkan Mesir. AH. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam (Yogyakarta: Ittaqa Press, 1998), hlm. 16
[7] Listiyono Santoso dkk, Epistemologi Kiri, (Ar-Ruzz Press Yogyakarta, 2003), Hlm.270
[8] Muhammad Hamid an-Nashir, Modernisasi Islam, Membedah Pemikiran Jamaluddin al-Afghani Hingga Islam Liberal, terj. Al-Ashraniyun Baina Maza’im at-Tajdid wa Mayadin at-Taghrib, (Darul Haq, Jakarta 2004), Hlm. 207
[9] E. Kusnadiningrat, “Hasan Hanafi”, Islam Lib, diakses dari http://islamlib.com/tokoh/hassan-hanafi/,pada tanggal 27 Maret 2018 pukul 21:40
[10] Esposito, John L. (ed), Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, Bandung: Penerbit Mizan, 2001, h. 148

[11] Op. Cit.
[12] Fuad Hasan, et. al., Op. Cit
[13] Fuad Hasan, et al., loc. Cit.

[14]

Syarifuddin. (2012). Konsep Teologi Hasan Hanafi. Jurnal Substantia, vol 14.

[15] Munir, A. (n.d.), Hasan Hanafi, Kiri Islam dan Proyek Al Turats wa Al Tajdid.

[16]

Syarifuddin, Konsep Teologi Hasan Hanafi. Jurnal Substantia, 2012.

[17] http://nanang-asmara.blogspot.com/2010/09/studi-pemikiran-hassan-hanafi-teori.html
[18] Fuad Hasan, et. al., Loc.Cit.
[19] Ibid.,


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian, Syarat, dan Metode Tahammul wal Ada'

Pengertian Tahammul wa al-Ada’           Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan hadits dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadits.[1] Muhammad ‘Ajaj al-Khatib memberikan defenisi dengan kegiatan menerima dan mendengar hadits.[2] Jadi tahammul adalah proses menerima periwayatan sebuah hadits dari seorang guru dengan metode-metode tertentu. Al-‘Ada adalah kegiatan meriwayatkan dan menyampaikan hadits.[3] Menurut Nuruddin ‘Itr adalah menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada orang lain.[4] Jadi al-‘ada adalah proses menyampaikan dan meriwayatkan hadits. At-Tahammulal-Hadist        Menurut bahasa tahammul merupakan masdar dari fi’il madli tahmmala ( ﺗَﺤَﻤَّﻞَ - ﻳَﺘَﺤَﻤَّﻞُ - ﺗَﺤَﻤُﻼ ) yang berarti menanggung , membawa, atau biasa diterjemahkan dengan menerima. Berarti tahammul al-hadits menurut bahasa adalah menerima hadits atau menanggung hadits. Sedangkan tahammul al-hadits menurut istilah ulama ahli hadits, sebagaima

MAKALAH Hadits menurut segi kuantitas rawi (Mutawatir dan Ahad); segi kualitas Rawi (Shahih, Hasan dan Dhaif) LENGKAP

BAB I PENDAHULUAN 1.1      Latar Belakang Seperti yang telah diketahui, hadits diyakini sebagai sumber ajaran Islam setelah kitab suci Al-Quran. Hadits merupakan segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW. baik berupa ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum dan ketentuan Allah yang disyari’atkan kepada manusia. Selain itu, hadits juga dibutuhkan manusia untuk mengetahui inti-inti ajaran dalam Al-Quran. Jika ayat-ayat dalam Al-Quran mutlak kebenarannya, berbeda dengan hadits yang bisa saja belum jelas periwayatannya, hadits tersebut benar berasal dari Nabi Muhammad SAW. atau bukan. Ditinjau dari segi kuantitasnya, hadits dibagi menjadi mutawatir dan ahad. Sedangkan ditinjau dari segi kualitasnya, hadits terbagi menjadi dua yaitu, hadits Maqbul (hadits yang dapat diterima sebagai dalil) dan hadits Mardud (hadits yang tertolak sebagai dalil). Hadits Maqbul terbagi menjadi dua yaitu hadits Shahih dan Hasan, sedangkan yang termasuk dalam ha

Language Varieties (Dialect, Styles, Slang word, Registers)

Language Varieties Group 6 Rizal Fachtur Hidayat (16320017) Balqist Hamada (16320021) Sheni Diah Safitri (16320052) Dhimas Muhammad I. J. (16320053) Yoshi Nur Rahmawati (16320096) Nikma Hidayatul Khasanah (16320101) Audy Oktaviani A. I. (16320140) Roby Inwanuddin Affandi (16320220) Wahida Camelia (16320228) Language Varieties Language varies from one social group to another social group, from one situation to another situation, and from one place to another place. Variation shows that every speaker does not speak the same way all the time. Language varieties indicate that the speakers are distinct from members of other groups (Finegan, 2008) . Language variety that signifies particular situations of use is called registers, it is appropriate for use in particular speech situations. There are some examples of language variations that are of interest to linguist according to   (Akmajian, 1998) , lingua francas, pidgins, creoles, jargon, sl