MAKALAH
Pemikiran Hasan Hanafi
Disusun untuk Memenuhi
Tugas Mata
Kuliah Teosofi
Dosen Pengampu
: Rovita Agustin Zulaimiah, M.A
Disusun Oleh :
Balqist Hamada (16320021)
Kelas : B
JURUSAN SASTRA
INGGRIS
FAKULTAS
HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA
MALIK IBRAHIM MALANG
2017/2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam perkembangannya Islam banyak sekali
mengalami perubahan-perubahan dan pembaharuan-pembaharuan yang terjadi. Karena
adanya ketidak relevannya antara masa klasik dan masa berikutnya. Sehingga
terjadi suatu pembaharuan pemikiran yang terjadi, salah satunya tokoh
pembaharuan dalam Islam ialah Hasan Hanafi.
Berkaitan
dengan hal tersebut yang perlu dikaji bila membicarakan mengenai pembaharuan
pemikiran seorang tokoh maka yang perlu di perhatikan adalah kondisi lingkungan
dimana dia dibesarkan. Karena kondisi lingkungan itulah yang pada umumnya
melatarbelakangi munculnya gagasan-gagasannya itu.
Fokus
penelitian pada pemikiran Hassan Hanafi ini adalah kiri Islam, Oksidentalisme,
Revolusi tauhid, Revitalisasi Khasanah Intelektual Klasik, dan
Antroposentrisme. Pemikiran Hassan Hanafi tersebut menurut pandangan
pemikir-pemikir Islam lainnya ada beberapa yang mendukung dan adapula yang
mengkritik pemikirannya. Dari beberapa pemikir Islam lainnya seperti
Fazlurrahman, Mohammad Arkoen, Nurcholish Madjid dan pemikir Islam yang
mengkritik adalah Kuntowijoyo.
Dari
perbedaan tersebut, bukan berarti pemikiran Hassan Hanafi tidak relevan, ada
beberapa pemikirannya yang cukup relevan untuk dimiliki oleh umat Islam untuk
dijadikan motivasi dan pemikirannya untuk merekonstruksi umat Islam. Dan juga
relevan tidaknya dapat dilihat bagaimana menurut sudut pandang dari al-Quran.
B.`
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana biografi Hasan Hanafi?
2.
Apa saja karya-karyanya?
3.
Bagaimana pemikiran yang ia berikan pada umat Islam?
4.
Bagaimana analisis penulis terhdap pemikiran
tokoh?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui bagaimana biografi Hasan
Hanafi.
2.
Untuk mengetahui apa saja karya-karyanya.
3.
Untuk mengetahui bagaimana pemikiran yang ia
berikan pada umat Islam.
4.
Untuk mengetahui bagaimana analisis penulis
terhdap pemikiran tokoh.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
BIOGRAFI
Ia lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, di
dekat Benteng Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Ia dilahirkan pdari
keluarga musisi[1] (Rozak &
Anwar, 2014).
Masa kecil Hanafi berhadapan dengan kenyataan-kenyataan hidup di bawah
penjajahan dan dominasi pengaruh bangsa asing. Kenyataan itu membangkitkan
sikap patriotik dan nasionalismenya, sehingga tidak heran meskipun masih
berusia 13 tahun ia telah mendaftarkan diri untuk menjadi sukarelawan perang
melawan Israel. Namun ia ditolak oleh Pemuda Muslimin karena dianggap usianya
masih terlalu muda. Namun hal tersebut tidak menyurutkan semangatnya, sehingga
pada umur 16 tahun ia ikut perang gerilya melawan Inggris di terusan Suez[2] (Soepono,
2009).
Di samping itu ia juga dianggap bukan berasal dari kelompok Pemuda Muslimin. Ia
kecewa dan segera menyadari bahwa di Mesir saat itu telah terjadi problem
persatuan dan perpecahan.
Pendidikannya diawali pada tahun 1948 dengan
menamatkan Pendidikan tingkat dasar, dan melanjutkan studi di Madrasah
Tsanawiyah “Khalil Agha”, Kairo. Sejak sekolah disinilah, Hanafi
mulai tertarik dengan kegiatan-kegiatan intelektual dengan mempelajari
pemikiran sayyid Qutb tentang keadilan dan Islam, dan dengan teman-temannya ia mengikuti
diskusi Ikhwan al-Muslimin. Dengan kegiatan tersebut ia terdorong untuk
mendalami pemikiran agama, revolusi dan perubahan sosial, filsafat teori-teori
social. Sejak tahun 1952 sampai dengan 1956 Hanafi belajar di Universitas Kairo
untuk mendalami bidang filsafat.[3]
Di dalam periode ini ia merasakan situasi yang paling buruk di Mesir. Pada
tahun 1954 misalnya, terjadi pertentangan keras antara kelompok diskusinya
Ikhwanul Muslimin dengan gerakan revolusi.
Kemudian
ia melanjutkan ke Universitas Sorbonne Perancis dengan konsentrasi kajian
pemikiran Barat modern dan pra-modern pada tahun 1956 sampai 1966. Selama di
Perancis, Hanafi mendalami berbagai disiplin ilmu. Ia juga mendalami beberapa
metode berfikir, mulai dari pemikiran fenomenologi Husserl (1859-1938) yang
mengakui kebenaran empiris, kebenaran teoritis (akal) dan kebenaran nilai.
Kemudian ia juga mendalami pemikiran pembaruan dan sejarah filsafat Jean
Guitton (1901-1999), sampai analisis kesadaran Paul Ricouer (1913-2005),
pemikiran Louis Massignon (1883-1962) dalam bidang pembaruan. Perjalanan Ilmiah
Hanafi selama di Perancis berlangsung selama kurang lebih 10 tahun yang
membuatnya memiliki kesan abadi pada perkembangan intelektualnya yang
membuatnya berucap “ituah barat yang aku pelajari, aku cintai, aku kritik dan
akhirnya aku benci.[4]
Namun, walaupun dikemudian hari ia mengkritik dan bahkan menolak barat, tetapi
tidak bisa dipungkiri bahwa ide-ide liberalisme barat, demokratisasi,
rasionalisme, dan pencerahannya telah merasuk dan mempengaruhi
pemikiran-pemikiran hanafi.
Meskipun
Hanafi menolak dan mengkritik Barat, namun ide-ide Barat telah mempengaruhi
pemikirannya. Oleh karena itu Kazuo Shimogaki dalam bukunya ”Kiri Islam”
mengatakan bahwa Hanafi adalah seorang modernis-liberal, seperti Luthfi
Asy-Sayyid, Taha Husain, dan Al-Aqqad. Salah satu keprihatinan Hanafi adalah
bagaimana melanjutkan proyek yang didesain untuk membuat dunia Islam bergerak
menuju pencerahan yang menyeluruh. Hanafi melihat umat Islam pada masa itu
berada dalam ketidakbebasan, keprihatinan dan berada dalam bayang-bayang negara
Barat.[5] (Fuad Hasan,
2018)
Karier Hanafi di dunia intelektual dimulai pada
tahun 1967 ketika diangkat menjadi Lektor, kemudian Lektor Kepala (1973),
Profesor filsafat (1980) pada jurusan Filsafat Universitas Kairo serta diserahi
jabatan sebagai ketua Jurusan Filsafat pada universitas yang sama. Selain itu,
ia juga aktif dibeberapa negara dan perguruan tinggi internasional sebagai
dosen tamu, seperti di Perancis (1969), Belgia (1970), Temple University
Philadelpia AS (1971-1975) Universitas Kuwait (1979), dan Universitas Fez
Maroko (1982-1984). Selanjutnya diangkat sebagai guru besar pada Universitas
Tokyo (1984-1985), di Persatuan Emirat Arab (1985) dan menjadi penasihat
program di Universitas PBB di Jepang (1985-1987). [6]
Di samping menggeluti dunia akademik, Hanafi
juga aktif dalam organisasi kemasyarakatan, seperti Persatuan Masyarakat
Filsafat Mesir sebagai sekretaris umum, anggota Ikatan Penulis Asia-Afrika, dan
wakil presiden Persatuan Masyarakat Filsafat Arab. Pemikirannya tersebar di
dunia Arab dan Eropa. Tahun 1981, ia memprakarsai sekaligus menjadi pimpinan
redaksi Jurnal Ilmiah al-Yasar al-Islami (Kiri Islam). Pemikirannya dalam
jurnal tersebut memancing reaksi keras dari penguasa Mesir saat itu, Anwar
Sadat (1918-1981), sehingga menyeret Hanafi mendekam dalam penjara. Sejak saat
itu, jurnal al-Yasar al-Islami tidak pernah terbit lagi. Namun pemikiran
al-Yasar al-Islami tidak pernah hilang dikalangan umat Islam, bahkan menjadi
kajian yang menarik dan layak untuk diteliti dan dikembangkan.
Meskipun
di negaranya sendiri (Mesir) ia kurang diterima bahkan dikecam oleh kelompok
Islam konservatif-skripturalis, tapi ia selalu menyempatkan diri menulis
beberapa karya ilmiah yang menekankan pada pentingnya tradisi dan pembaruan (al-Turats
wa Tajdid) dalam upaya membebaskan dunia Timur (Islam) dari pengaruh Barat,
sehingga tercipta kesetaraan antara al-ana yakni dunia Timur dan al-akhar yakni
dunia Eropa atau Barat.[7]
Bagi
kelompok konservatif, Hasan Hanafi bahkan para revolusioner Islam lainnya
dianggap justru telah meremehkan Islam dan melemahkan posisi Islam didalam
kehidupan umat manusia, dan ajaran-ajaran mereka telah terpengaruh oleh
kepentingan-kepentingan dunia Barat. Dengan dalil-dalilnya, aliran konservatif
telah mengkafirkan ajaran-ajaran modernis Islam.[8]
Disamping dunia akademik, Hanafi
juga aktif dalam organisasi ilmiah dam kemsyarakatan. Aktif sebagai sekretaris
umum Persatuan Masyarakat Filsafat Mesir, anggota Ikatan Penulis
Asia-Afrika, anggota Gerakan Solidaritas Asia-Afrika dan menjadi wakil presiden
Persatuan Masyarakat Filsafat Arab. Pemikirannya tersebar di dunia Arab dan
Eropa. Tahun 1981 memprakarsai dan sekaligus sebagai pimpinan redaksi
penerbitan jurnal ilmiah Al-Yasar al-Islami. Pemikirtannya yang terkenal
dalam jurnal ini sempat mendapat reaksi keras dari penguasa Mesir saat itu,
Anwar Sadat, sehingga menyeretnya dalam penjara.
B. KARYA KARYA
Karya
karya hanafi dapat diklasifikasiakan menjadi tiga periode, yaitu: Periode
pertama berlangsung pada tahun 60-an; periode kedua pada tahun 70-an, dan
periode ketiga dari tahun 80-an sampai dengan 90-an. Pada awal dasawarsa
1960-an pemikiran Hanafi dipengaruhi oleh faham-faham dominan yang berkembang
di Mesir, yaitu nasionalistik-sosialistik populistik yang juga dirumuskan
sebagai ideologi Pan Arabisme, dan oleh situasi nasional yang kurang
menguntungkan setelah kekalahan Mesir dalam perang melawan Israel pada tahun
1967.
Usahanya
untuk melakukan rekonstruksi pemikiran Islam adalah ketika ia berada di
Perancis ia mengadakan penelitian tentang, metode interpretasi sebagai upaya
pembaharuan bidang ushul, dan tentang fenomenologi sebagai metode untuk
memahami agama dalam konteks realitas kontemporer. Penelitian itu sekaligus
merupakan upayanya untuk meraih gelar doktor di Universitas Sorbonne, dan ia
berhasil menulis disertasi tentang Metode Penafsiran yang mendapat penghargaan
sebagai karya ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 1961.
Awal
periode 1970-an, Hanafi juga memberikan perhatian utamanya untuk mencari
penyebab kekalahan umat Islam dalam perang melawan Israel tahun 1967. Oleh
karena itu, tulisan-tulisannya lebih bersifat populis. Di awal periode 1970-an,
ia banyak menulis artikel di berbagai media massa, seperti Al Katib,
Al-Adab, Al-Fikr al-Mu’ashir, dan Mimbar Al-Islam. Kemudian pada
tahun 1976, tulisan-tulisan itu diterbitkan sebagai sebuah buku dengan judul Qadhaya
Mu’ashirat fi Fikrina al-Mu’ashir. Kemudian, pada tahun 1977, ia
menerbitkan Qadhaya Mu `ashirat fi al Fikr al-Gharib. Buku kedua ini
mendiskusikan pemikiran para sarjana barat untuk melihat bagaimana mereka memahami
persoalan masyarakatnya dan kemudian mengadakan pembaruan.[9]
Sementara
itu ada juga bukunya yang berjudul Dirasat Islamiyyah, yang ditulis
sejak tahun 1978 dan terbit tahun 1981. Buku tersebut memuat deskripsi dan
analisis pembaruan terhadap ilmu-ilinu keislaman klasik, seperti ushul fikih,
ilmu-ilmu ushuluddin, dan filsafat. Dimulai dengan pendekatan historis untuk
melihat perkembangannya, Hanafi berbicara tentang upaya rekonstruksi atas
ilmu-ilmu tersebut untuk disesuaikan dengari realitas kontemporer.
Periode
selanjutnya, yaitu dasawarsa 1980-an sampai dengan awal 1990-an, dilator belakangi
oleh kondisi politik yang relatif lebih stabil ketimbang masa-masa sebelumnya.
Dalam periode ini, Hanafi mulai menulis Al-Turats wa al-Tajdid yang
terbit pertama kali tahun 1980. Buku ini merupakan landasan teoretis yang
memuat dasar-dasar ide pembaharuan dan langkah-langkahnya. Kemudian, ia menulis
Al- Yasar Al-lslamiy (Kiri Islam), sebuah tulisan yang lebih merupakan
sebuah "manifesto politik" yang berbau ideologis.[10]
Kemudian
ada juga buku Min Al-Aqidah ila Al-Tsaurah (5 jilid), ia tulis selama
hampir sepuluh tahun dan baru terbit pada tahun 1988. Buku ini memuat uraian
terperinci tentang pokok-pokok pembaruan yang ia canangkan dan termuat dalam
kedua karyanya yang terdahulu. Oleh karena itu, bukan tanpa alasan jika buku
ini dikatakan sebagai karya Hanafi yang paling monumental.
Selanjutnya,
pada tahun-tahun 1985-1987, Hanafi menulis banyak artikel yang ia presentasikan
dalam berbagai seminar di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Perancis,
Belanda, Timor Tengah, Jepang, termasuk Indonesia. Kumpulan tulisan itu
kemudian disusun menjadi sebuah buku yang berjudul Religion, Ideology, and
Development yang terbit pada tahun 1993. Beberapa artikel lainnya juga tersusun
menjadi buku dan diberi judul Islam in the Modern World (2 jilid).[11]
C.
Pemikiran Hasan Hanafi
- Kiri Islam
Makna
kata “kiri” disini adalah nama ilmiah, sebuah istilah ilmu politik yang berarti
resistensi dan kritisisme dan menjelaskan jarak anatara realitas dan idealitas.
Ia juga istilah ilmu-ilmu kemanusiaan secara umum. Kata Kiri Islam sendiri
muncul secara spontan. Penamaan itu pun setelah meliahat realitas yang
berkembang dalam masyarakat khususnya umat islam yang kehidupannya
terkotak-kotak seperti antara penguasa dan rakyat, kaya dengan yang miskin,
atasan dengan bawahan, dll. Kiri Islam berada pada posisi yang dikuasai, si
miskin, terpinggirkan.[12]
Kiri Islam
berada pada pihak yang terkotak-kotak di bawah, mengambil hak-hak kaum miskin
yang terenggut oleh orang-orang kaya, memperkuat orang-orang yang lemah menjadi
umat yang super, menjadikan manusia tidak hidup terkotak-kotak menjadikan
manusia sama tingginya. Dalam bahasa ilmu politik, kiri berarti perjuangan dan
kritisisme.
·
Isi Pemikiran Kiri Islam
Kiri
islam bertopang pada tiga pilar dalam rangka mewujudkan kebangkitan islam,
revolusi islam (revolusi tauhid), dan kesatuan umat.[13] (Fuad Hasan, 2018)
- Revitalisasi khazanah islam klasik. Hasan hanafi menekankan bahwa perlunya rasionalisme untuk revitalisasi khazanah islam. Rasionalisme adalah keniscayaan untuk kemajuan dan kesejahteraan muslim serta untuk memecahkan situasi kekinian di dalam dunia islam.
- Perlunya menantang peradaban Barat. Ia mengingatkan tentang bahayanya imperalisme kultural barat yang cenderung membasmi kebudayaan bangsa-bangsa yang secara kesejahteraan kaya.
- Analisis terhadap realitas dunia Islam. Ia mengkritik metode tradisional yang bertumpu pada teks (nash), dan mengusulkan suatu metode tertentu agar realitas dunia Islam dapat berbicara pada dirinya sendiri.
2.
Rekonstruksi Teologi
Dalam karya besarnya Al-turath
wa Al-tajdid, ia ingin membangun “sikap kita terhadap tradisi lama”, ia
merekonstruksi bangunan teologis dalam tradisi klasik sebagai alat untuk
transformasi sosial. Hassan Hanafi menegaskan, rekonstruksi teologi tidak harus
membawa implikasi terhadap hilangnya tradisi-tradisi lama. Rekonstruksi teologi
untuk mengkonfrontasikan ancaman-ancaman baru yang datang ke dunia dengan
menggunakan konsep yang terpelihara murni dalam sejarah.[14] (Syarifuddin, 2012)
Proyek
tersebut mempunyai tiga concern utama yang mempresentasikan hubungan dialektis
antara subyek diri (al-Ana) atau umat Islam dengan “yang lain” (al-Akhar) atau
Barat dalam satu proses sejarah tertentu.
Ketiga concern
tersebut adalah: (1) sikap diri terhadap tradisi klasik, yaitu kesadaran diri
dalam melihat budaya sendiri yang merupakan bagian sejarah masa lalu; (2) sikap
diri terhadap tradisi Barat, yaitu kesadaran diri dalam melihat orang lain,
yaitu Barat Modern; (3) sikap diri terhadap realitas, yaitu kesadaran diri
terhadap realitas kehidupan yang dihadapi, baik yang bersangkutan dengan diri
(al-Ana) maupun Barat (al-Akhar).[15] (Munir, p.
254)
Menurut Hasan Hanafi, untuk melakukan
rekonstruksi teologi sekurang kurangnya dilatarbelakangi oleh tiga hal, sebagai
berikut:
1. kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang
jelas di tengah-tengah pertarungan global antara berbagai Ideologi.
2. Pentingnya
teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya, melainkan terletak kepada
kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan ideologi sebagai gerakan
dalam sejarah, salah satu kepentingan praksis ideologi Islam (dalam teologi)
adalah memecahkan kemiskinan dan keterbelakangan di negara-negara Muslim.
3. Kepentingan
teologi yang bersifat praksis, yaitu secara nyata diwujudkan dalam realitas
melalui realisasi tauhid dalam dunia Islam.[16] (Syarifuddin,
2012)
Menurut Hassan Hanafi, Rekonstruksi teologi
merupakan salah satu cara yang harus di tempuh jika mengharapkan teologi dapat
memberikan sumbangan konkrit bagi kehidupan dan peradaban manusia. Oleh karena
itu perlu menjadikan teologi sebagai wacana tentang kemanusiaan, baik secara eksistensia,
kognitif, maupun kesejahteraan.[17]
Dikarenakan
menganggap teologi Islam tidak “ilmiah” dan tidak “membumi”, maka Hassan Hanafi
mengajukan konsep baru yang tujuannya adalah dalam rangka menjadikan teologi
tidak sekedar sebagai dogma keagamaan yang kosong, melainkan harus menjelma
sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan keimanan berfungsi secara
aktual sebagai landasan etik dan motivasi tindakan manusia. Karena itu,
gagasan-gagasan Hassan Hanafi yang bekaitan dengan teologi, berusaha untuk
mentrasformulasikan teologi tradisional yang bersifat teosentris menuju
antroposentris, dari Tuhan kepada manusia (bumi), dari tekstual kepada
kontekstual, dan dari teori kepada tindakan, serta dari takdir menuju kehendak
bebas.
Menurut
Hassan Hanafi, sebagaimana dikutip oleh Arfiansyah,19 bahwa teologi bukanlah
ilmu ketuhanan, teologi tidak lebih merupakan hasil pemikiran manusia yang
terkondisikan oleh waktu dan keadaan sosial, sehingga posisinya sama dengan
ilmu-ilmu lainnya, tidak ada yang lebih utama di dalam ilmu-ilmu pengetahuan,
karena sebagai pengetahuan dapat saja berubah-ubah pada perumusannya, sehingga
memungkinkan untuk munculnya bentuk-bentuk teologi baru. Selanjutnya Hassan
Hanafi mengkritik kesepakatan orang-orang terdahulu bahwa ilmu tauhid hanya
sebuah disiplin tentang aqidah agama yang pembahasannya mengenai kesahihan
aqidah yang bersifat teoritis murni, sebab itu aqidah menjadi terpisah dari
dataran praktis. (Syarifuddin, 2012)
Keadaan sosial sesungguhnya merupakan ekspresi sistem kepercayaan
yang diyakini, karenanya sistem teologi yang diajukan oleh Hassan Hanafi
memiliki kepentingan revolusi yang tujuan finalnya adalah revolusi sosial. Maka
Hassan Hanafi menghendaki agar pemahaman terhadap Islam dapat melahirkan suatu
gerakan, hal ini juga dikehendaki oleh intelektual Islam lainnya seperti Sayyid
Quthb dan Ali Syari‟ati. Mereka bertiga menginginkan Islam sebagai ideologi,
yakni berupa himpunan nilai, ide, norma, kepercayaan, dan keyakinan (weltanschauung)
yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang yang menjadi dasar dalam
menentukan sikap terhadap kejadian dan problem politik yang dihadapinya, dan
yang menentukan tingkah laku politiknya. (Syarifuddin, 2012)
Dalam masalah teologi, sebagaimana
dijalankan dalam proyek al-turath wa al-tajdid-nya, Hassan Hanafi
memandang kaum Mu‟tazilah sebagai refleksi gerakan rasionalisme, humanisme dan
pendukung kebebasan manusia. Dapat dikatakan pembaharuan teologi Hassan Hanafi
merupakan perluasan dan penajaman teori-teori Mu‟tazilah.22 Bagi Hassan Hanafi, teologi merupakan suatu ilmu yang paling
fundamental dalam tradisi Islam harus dibangun kembali sesuai dengan perspektif
dan standar modernitas. Untuk itu, ia mengajukan ide neo-kalam (ilmu kalam
baru). Apa yang dimaksudnya dengan ilmu tersebut bukan hanya ideologi
doktrinal, melainkan ilmu itu lebih merupakan ideologi revolusi atau revolusi
ideologis yang dapat memotivasi kaum Muslim modern buat beraksi melawan
despotisme dan penguasa otoriter. Dalam bentuk yang beragam, Hassan Hanafi
selalu mengaitkan teologi ini dengan teologi tanah, teologi kaum tertindas, dan
teologi pembebasan ala Amerika Latin.23 93-183
2. Pemikiran Tentang
Oksidentalisme
Menurut Nurcholis Madjid oksidentalisme adalah
“pengetahuan akademik tentang budaya, bahasa, dan bangsa-bangsa Barat” (N.
Madjid “orientalisme dan oksidentalisme, 2000). Secara umumnya oksidentalis
adalah pengkajian orang-orang timur tentang orang-orang barat dari bahasa,
kebudayaan dll yang berhubungan dengan Barat.[18]
Hasan Hanafi adalah orang yang digadang-gadang
sebagai pencetus adanya oksidentalisme. Ia merasa tidak setuju dengan
lingkungan disekitar yang sangat dihegemoni oleh bangsa barat, yang seolah-olah
barat adalah pusat dari segalanya. Dengan keadaan yang seperti itu membuat
Hanafi mengeluarkan pemikirannya tentang barat dan ia mempolerkanlah term
oksidentalisme.
Beberapa
pemikiran hasan hanafi tentang Oksidentalisme. Hasan hanafi menginginkan
seorang oksidentalisme mempunyai tugas untuk merumuskan tugas-tugas sebagi
pengkaji tradisi barat, seperti berikut:[19]
- Melenyapkan superrioritas Barat dngan menjadikannya sebagai obyek kajian dan menumbangkan kaum minoritas dengan menjadikannya sebagai subyek pengkaji. Hal ini bisa di tandai dengan hialngnya dikotomi antara tuan dengan hamba.
- Menghapus mitos kebudayaan Barat atau Kosmopolit sebagai kebudayaan yang harus di adopsi oleh seluruh bangsa. Selama ini kebanyakan orang menganggap bahwa kebudayaan terbaik adalah kebudayaan barat. Untuk menghapus mitos ini hanafi menawarkan solusi yaitu dengan ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan akan mengembalikan Barat pada batas-batas alamiyahnya.
- Mengakhiri kontrol eropa terhadap bangsa non Eropa dan memulai babak baru bagi sejarah manusia. Hal ini dimulai dengan masa pembebasan yang bertepatan dengan krisis abad 20 di Eropa. Penariakn mundur Eropa ke batas geografisnya. Melemahnya kebudayaan Barat dan pengaruhnya terhadap bangsa lain.
- Meluruskan istilah-istilah yang mengisyaratkan sentrisme sejarah Eropa untuk kemdian dilakukan penulisan ulang sejarah Dunia dengan kacamata yang lebih obyektif dan netral serta lebih bersifat adil terhadap andil seluruh peradaban manusia dalam sejarah dunia.
3. Hermeneutika Hasan Hanafi
Hal ingin diwujudkan Hanafi dalam pemikirannya
adalah merekonstruksi peradaban dengan menunjukan pada sumber-sumbrnya, atau
reinterprtasi wahyu itu sendiri yang mendasarkan kepada realitas kehidupan
kontemporer masyarakat. Hanafi menambahkan pendapatnya secara jelas bahwa ia
menyatakan keluar dari tradisionalisme (taklidisme) dan tidak mengikuti jejak
para salaf ash-shalih.[14] Hasan Hanafi
secara tegas mengajak kepada kita untuk mengalih fokus kajian dari Alloh swt
dan Rosul, yang menjadi pusat kajian ilmu kalam dalam pengetahuan tradisional,
menuju manusia yang sekarang sbagai objek kajian. Ia berpendapat bahwa tafsiran
lama memiliki banyak kelemahan, sehingga ia menggunakan penafsirannya agar
dapat sejalan dengan perkembangan zaman.
·
Kelemahan Tafsir Klasik[15]
a.
Tafsir itu slalu lebih merupakan teori tentang eksistensi Alloh swt daripada
tentang eksistensi manusia.
b.
Tafsir klasik selalu terkait dengan kondisi lokal islam tempat dahulu islam
lahir, Khususnya dari segi sosial dan ekonmi.
c.
Penulisan tafsir tidak dimulai dengn mengeritik, menyerukn perbaikan dan
perubahan radikal atas kondisi yg bertentangan dengan agama.
·
Metodologi Penulisan Hermeneutika Hasan Hanafi[16]
- Wahyu di letakkan dalam tanda kurung ”epoche” tidak afirmasi.
- Al-Qur’an diterima sebagaimana layaknya teks-teks lain, seperti karya sastra, teks filosofis, dokumen sejarah dan sebagainya.
- Tidak ada penafsiran palsu atau benar, pemahaman benar atau salah. Yang ada hanyalah perbedaan pendekatan terhadap teks yang ditentukan oleh perbedaan kepentingan dan motivasi.
- Tidak ada penafsiran tunggal terhadap teks, tapi pluralitas penafsiran yang disebabkan oleh perbedaan pemahaman penafsir
- Konflik penafsiran merefleksikan konflik sosio-politik dan bukan konflik teoritis
·
Krakteristik Penafsiran Hasan Hanafi[17]
- Tafsir itu harus menghasilkan tafsir yang sifatnya spesifik (at-tafsir al-juz’i).
- Tafsir ini disebut juga tafsir tematik (at-tafsir al-maudhu’i)
- Bersifat temporal (at-tafsir az-zamani.
- Realistik (at-tafsir al-waqi’i). Dimulai dari problematika yang dialami oleh orang muslim.
- Beroeientasi pada makna tertentu dan bukan merupakan perbincangan teoritik tentang huruf dan kata.
- Bersifat experimental, karena tafsir ini merupakan tafsir yang sesuai dengan kehidupan dan pengalaman hidup mufassir.
- Perhatian terhadap problem kontemporer.
ANALISA
Pemikiran Hassan Hanafi dalam
Antroposentrisme yang memusatkan alam semesta pada manusia yang mementingkan
kepentingan manusia (humanisme) adalah salah besar karena Allah SWT yang harus
dijadikan sebagai pusat semesta alam, karena ajaran Allah juga selaras dengan
kepentingan manusia juga alam (rahmatan lil „alamiin). Tidak perlu mengganti
ajaran Teosentrisme menuju Antroposentrisme, seperti yang dikatakan oleh Hassan
Hanafi.
4. Untuk metode tafsir Hermeneutika Hassan Hanafi cukup relevan dalam
menafsirkan karena disesuaikan dengan konteks dan menggabungkkan tafsir
tematik. Namun dalam kaidah-kaidah yang diusulkan yang menganggap Al-Qur‟an
merupakan teks biasa dan sama dengan teks yang lainnya adalah salah, karena
Al-Qur‟an adalah firman Allah yang sakral, karenanya butuh berhati-hati dalam
menafsirkan dan tidak sembarangan dalam menafsirkan, jika salah bisa melenceng
dari ajaran Allah (Islam) dan harus ada nilai kebenaran dalam menafsirkan bukan
subjektifitas seperti yang dikatakan Hassan Hanafi. Dampak yang ditimbulkan
bisa berakibat fatal seperti adanya aliran sesat dan teroris hanya karena salah
memahami al-Qur‟an.
DAFTAR PUSTAKA
M. Ridlwan hanbali, “Hassan Hanafi: dari Islam Kiri, Revitalisasi Turats hingga Oksidentalisme” dalam M. Aunul Abied (ed). Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 218.
Munir, A. (n.d.). Kiri Islam dan Proyek Al Turats wa
Al Tajdid. Hasan Hanafi.
[1]Soepono, Kritik Hasan Hanafi Tentang
Sufisme, dalam At-Tahrir, Vol. 9, No. 2 Juli 2009, h.204-205
[1] Mubasyaroh, Model Penafsiran Hasan
Hanafi. Dalam ADDIN, Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2011, h. 275
Fuad Hasan, D. H. (2018, Maret Selasa). https://studipemikiranquranhadist.wordpress.com/2013/10/23/butir-butir-pemikiran-hasan-hanafi/. Retrieved from www.wordpress.com: https://studipemikiranquranhadist.wordpress.com/
[1] A. Khudori Sholeh, Filsafat Islam hlm. 65
Rozak, A., & Anwar, R. (2014). Ilmu Kalam. (M. Drs. Mamann Abd. Djaliel, Ed.) Bandung: CV Pustaka Setia.
[1] Keberangkatan
Hanafi ke Amerika sebagai dosen tamu dikarenakan perselisihannya dengan Anwar
Saddat yang memaksanya meninggalkan Mesir. AH. Ridwan, Reformasi Intelektual
Islam (Yogyakarta: Ittaqa Press, 1998), hlm. 16
[1] Listiyono Santoso dkk, Epistemologi Kiri,
(Ar-Ruzz Press Yogyakarta, 2003), Hlm.270
Muhammad Hamid an-Nashir.2004.
Modernisasi Islam, Membedah Pemikiran Jamaluddin al-Afghani Hingga Islam
Liberal, terj. Al-Ashraniyun Baina Maza’im at-Tajdid wa Mayadin at-Taghrib, Jakarta:
Darul Haq.
[1] Esposito, John L. (ed), Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam
Modern, Bandung: Penerbit Mizan, 2001, h. 148
Syarifuddin. (2012). Konsep Teologi Hasan Hanafi. Jurnal Substantia, vol 14.
1 Rozak, A., & Anwar, R, , Ilmu Kalam, CV Pustaka Setia, (M. Drs. Mamann Abd. Djaliel, Ed.) Bandung, 2014, h.274
[2]Soepono, Kritik Hasan Hanafi Tentang Sufisme, dalam
At-Tahrir, Vol. 9, No. 2 Juli 2009, h.204-205
[3] Mubasyaroh, Model Penafsiran Hasan Hanafi. Dalam
ADDIN, Vol. 3, No. 2, Juli-Desember 2011, h. 275
[4] M. Ridlwan hanbali, “Hassan Hanafi:
dari Islam Kiri, Revitalisasi Turats hingga Oksidentalisme” dalam M. Aunul
Abied (ed). Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah (Bandung:
Mizan, 2001), hlm. 218.
[5]Fuad Hasan, et.
al., “Butir-butir Pemikiran Hasan Hanafi”, Studi Al-Quran Hadits dan Pemikiran
Islam,
https://studipemikiranquranhadist.wordpress.com/2013/10/23/butir-butir-pemikiran-hasan-hanafi,
27 Maret 2018
[6] Keberangkatan
Hanafi ke Amerika sebagai dosen tamu dikarenakan perselisihannya dengan Anwar
Saddat yang memaksanya meninggalkan Mesir. AH. Ridwan, Reformasi Intelektual
Islam (Yogyakarta: Ittaqa Press, 1998), hlm. 16
[7] Listiyono Santoso dkk, Epistemologi Kiri,
(Ar-Ruzz Press Yogyakarta, 2003), Hlm.270
[8] Muhammad
Hamid an-Nashir, Modernisasi Islam, Membedah Pemikiran Jamaluddin al-Afghani
Hingga Islam Liberal, terj. Al-Ashraniyun Baina Maza’im at-Tajdid wa Mayadin
at-Taghrib, (Darul Haq, Jakarta 2004), Hlm. 207
[9] E.
Kusnadiningrat, “Hasan Hanafi”, Islam Lib, diakses dari http://islamlib.com/tokoh/hassan-hanafi/,pada tanggal 27
Maret 2018 pukul 21:40
[10] Esposito, John L. (ed), Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam
Modern, Bandung: Penerbit Mizan, 2001, h. 148
[11]
Op. Cit.
[12] Fuad Hasan, et.
al., Op. Cit
[13] Fuad Hasan, et al., loc. Cit.
[14]
Syarifuddin. (2012). Konsep Teologi Hasan Hanafi. Jurnal Substantia, vol 14.
[15] Munir, A. (n.d.), Hasan Hanafi,
Kiri Islam dan Proyek Al Turats wa Al Tajdid.
[16]
Syarifuddin, Konsep Teologi Hasan Hanafi. Jurnal Substantia, 2012.
[17]
http://nanang-asmara.blogspot.com/2010/09/studi-pemikiran-hassan-hanafi-teori.html
[18] Fuad Hasan, et.
al., Loc.Cit.
[19]
Ibid.,
Komentar
Posting Komentar