MAKALAH Hadits menurut segi kuantitas rawi (Mutawatir dan Ahad); segi kualitas Rawi (Shahih, Hasan dan Dhaif) LENGKAP
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Seperti yang telah diketahui, hadits
diyakini sebagai sumber ajaran Islam setelah kitab suci Al-Quran. Hadits
merupakan segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW. baik berupa
ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum dan ketentuan
Allah yang disyari’atkan kepada manusia. Selain itu, hadits juga dibutuhkan
manusia untuk mengetahui inti-inti ajaran dalam Al-Quran. Jika ayat-ayat dalam
Al-Quran mutlak kebenarannya, berbeda dengan hadits yang bisa saja belum jelas
periwayatannya, hadits tersebut benar berasal dari Nabi Muhammad SAW. atau
bukan.
Ditinjau dari segi kuantitasnya,
hadits dibagi menjadi mutawatir dan ahad. Sedangkan ditinjau dari segi
kualitasnya, hadits terbagi menjadi dua yaitu, hadits Maqbul (hadits yang dapat
diterima sebagai dalil) dan hadits Mardud (hadits yang tertolak sebagai dalil).
Hadits Maqbul terbagi menjadi dua yaitu hadits Shahih dan Hasan, sedangkan yang
termasuk dalam hadits Mardud salah satunya adalah hadits Dha’if. Semuanya
memiliki ciri dan kriteria yang berbeda.
Oleh karena itu, tujuan penulisan
makalah ini diperlukan untuk mengetahui lebih lanjut tentang masing-masing
hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dho’if.
1.2
Rumusan Masalah
Ditinjau dari
Segi Kuantitas Rawi :
1.
Apa yang dimaksud dengan Hadits Mutawatir?
2.
Apa saja syarat-syarat Hadits Mutawatir?
3.
Apa saja macam-macam Hadits Mutawatir?
4.
Bagaimana faedah Hadits Mutawatir?
5.
Apa pengertian Hadits Ahad?
6.
Apa saja macam-macam Hadits Ahad?
7.
Bagaimana ketentuan hukum Hadits Ahad?
Ditinjau dari Segi Kualitas Rawi :
8.
Apa yang dimaksud dengan Hadits Shahih?
9.
Apa saja kriteria dari Hadits Shahih?
10.
Apa saja macam dari Hadits Shahih?
11.
Bagaimana tingkatan sanah dari Hadits Shahih?
12.
Bagaimana tingkatan akreditasi dari Hadits Shahih?
13.
Bagaimana hukum kehujjahan dari Hadits Shahih?
14.
Apa yang dimaksud dengna Hadits Hasan?
15.
Apa saja macam dari Hadits Hasan?
16.
Bagaimana hukum kehujjahan dari Hadits Hasan?
1.3
Tujuan
Ditinjau dari Segi Kuantitas Rawi :
1.
Untuk mengetahui pengertian dari Hadits Mutawatir
2.
Untuk mengetahui syarat-syarat Hadits Mutawatir
3.
Untuk mengetahui macam-macam Hadits Mutawatir
4.
Untuk mengetahui faedah Hadits Mutawatir
5.
Untuk mengetahui pengertian dari Hadits Ahad
6.
Untuk mengetahui macam-macam Hadits Ahad
7.
Untuk mengetahui ketentuan hukum Hadits Ahad
Ditinjau dari Segi Kualitas Rawi :
8.
Untuk mengetahui pengertian dari Hadits Shahih
9.
Untuk mengetahui kriteria dari Hadits Shahih
10.
Untuk mengetahui macam-macam dari Hadits Shahih
11.
Untuk mengetahui tingkatan sanah dari Hadits Shahih
12.
Untuk mengetahui tingkatan akreditasi dari Hadits Shahih
13.
Untuk mengetahui hukum kehujjahan dari Hadits Shahih
14.
Untuk mengetahui pengertian dari Hadits Hasan
15.
Untuk mengetahui macam-macam dari Hadits Hasan
16.
Untuk mengetahui hukum kehujjahan dari Hadits Hasan
BAB II
ISI
Ulama berbeda pendapat tentang
pembagian Hadits ditinjau dari segi kuantitasnya ini. Maksud tinjauan dari segi
kuantitas disini adalah dengan menelusuri jumlah para perawi yang menjadi
sumber adanya suatu Hadits. Para Hadits ada yang mengelompokkan menjadi tiga
bagian, yakni Hadits mutawatir, masyur,
dan ahad dan ada juga yang membaginya
hanya menjadi dua, yakni Hadits mutawatir
dan ahad.
Pendapat pertama, yang menjadikan
Hadits masyur berdiri sendiri, tidak termasuk bagian dari Hadits ahad, dianut
oleh sebagian ulama ushul, diantaranya adalah Abu Bakar Al-Jasaah (305-370H).
Sedang ulama golongan kedua diikuti oleh kebanyakan ulama ushul dan ulama
kalam. Menurut mereka, Hadits masyur bukan merupakan Hadits yang berdiri
sendiri, akan tetapi hanya bagian dari Hadits ahad. Mereka membagi Hadits
menjadi dua bagian, mutawatir dan ahad.
2.1
Hadits Mutawatir
2.4.1.
Hadits Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa
berarti mutatabi yakni yang datang
berikutnya atau beriring-iringan yang antara satu dengan yang lain tidak ada
jaraknya.[1]
Sedangkan pengertian Hadits mutawatir menurut istilah, terdapat
beberapa definisi, antara lain sebagai berikut:
“Hadits yang diriwayatkan oleh
sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih
dahulu untuk berdusta”.[2]
Ada juga yang mengatakan:
“Hadits yang diriwayatkan oleh
sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih
dahulu untuk berdusta. Sejak awal sanad sampai akhir sanad, pada setiap tingkat
(Thabaqat).[3]
Sementara Nur ad-Din Atar mendefinisikan:
“Hadits yang diriwayatkan oleh
sejumlah besar orang yang terhindar dari kesepakatan mereka untuk berdusta
(sejak awal sanad) sampai akhir sanad dengan didasarkan pada panca indra”.[4]
2.4.2.
Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Mengenai syarat-syarat Hadits
mutawatir ini, yang terlebih dahulu merincinya adalah ulama ushul. Sementara
para ahli Hadits tidak begitu banyak merinci pembahasan tentang Hadits
mutawatir dan syarat-syarat tersebut. Karena menurut ulama ahli Hadits, khabar Mutawatir yang sedemikian sifatnya,
tidak termasuk kedalam pembahasan Ilmu
Al-Isnad, yaitu sebuah disiplin ilmu yang membicarakan tentang sahih atau
tidaknya suatu Hadits, diamalkan atau tidaknya, dan juga membicarakan
sifat-sifat rijalnya yakni para pihak
yang banyak berkecimpung dalam periwayatan Hadits, dan tata cara penyampaian.
Padahal dalam kajian Hadits mutawatir tidak
dibicarakan masalah-masalah tersebut. Karena bila telah diketahui statusnya
sebagai Hadits mutawatir, maka wajib diyakini kebenarannya, diamalkan
kandungannya, dan tidak boleh ada keraguan, sekalipun di antara adalah orang
kafir.[5]
Sedangkan menurut ulama mutaakhirin, ahli ushul, suatu
Hadits dapat ditetapkan sebagai Hadits Mutawatir, bila memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a.
Diriwayatkan oleh Sejumlah Besar
Perawi
Hadits mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang
membawa kepada keyakinan bahwa mereka itu tidak mungkin bersepakat untuk
berdusta. Mengenai masalah ini para ulama berbeda pendapat. Ada yang menetapkan
jumlah tertentu dan ada yang tidak menetapkan jumlah tertentu. Menurut ulama
yang tidak mensyaratkan jumlah tertentu, yang penting dengan jumlah itu,
menurut adat, dapat memberikan keyakinan terhadap apa yang diberitakan dan
mustahil mer eka sepakat untuk berdusta.[6] Sedangkan menurut ulama yang menetapkan jumlah tertentu, mereka
masih berselisih mengenai jumlah tertentu itu.
Al-Qadhi Al-Baqillani menetapkan
bahwa jumlah perawi Hadits agar bisa disebut Hadits mutawatir tidak boleh berjumlah empat. Lebih dari itu lebih baik.
Ia menetapkan sekurang-kurangnya berjumlah 5 orang, dengan mengqiyaskan dengan
jumlah nabi yang mendapat gelar Ulul
Azmi. [7]
Al-Isthakhary menetapkan yang paling
baik minimal 10 orang, sebab jumlah 10 itu merupakan awal bilangan banyak.[8]
Ulama lain menentukan 12 orang,
mendasarkan pada firman Allah:
وَبَعَثْنَا مِنْهُمُ اثْنَيْ عَشَرَ نَقِيبًا
“...Dan telah Kami angkat di antara
mereka 12 orang pemimpin. (QS.Al-Maidah (5):12)”[9]
Sebagian ulama menetapkan
sekurang-kurangnya 20 orang. Sesuai dengan firman Allah:
اِنۡ يَّكُنۡ مِّنۡكُمۡ عِشۡرُوۡنَ صَابِرُوۡنَ يَغۡلِبُوۡا
مِائَتَيۡنِ ۚ
“Jika ada dua puluh orang yang sabar
diantara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh... (QS.
Al-Anfal (8): 65)”[10]
Ayat ini memberikan sugesti kepada
orang-orang mukmin yang tahan uji, yang hanya dengan jumlah 20 orang saja mampu
mengalahkan 200 orang kafir. Ada juga yang mengatakan bahwa jumlah perawi yang
diperlukan dalam Hadits mutawatir minimal 40 orang, berdasarkan firman Allah
SWT.:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَسْبُكَ اللَّهُ وَمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ
“Wahai Nabi, cukuplah Allah dan
orang-orang mukmin yang mengikutimu.” (QS. Al-Anfal (8): 64)[11]
Saat ayat ini diturunkan jumlah umat
Islam baru mencapai 40 orang. Hal ini sesuai dengan Hadits riwayat Al-Thabrany
dan Ibn Abbas, ia berkata: “Telah masuk Islam bersama Rasulullah sebanyak 33
laki-laki dan 6 orang perempuan. Kemudian Umar masuk Islam, maka jadilah 40
orang Islam.[12]
Selain pendapat tersebut, ada juga
yang menetapkan jumlah perawi dalam Hadits mutawatir sebanyak 70 orang, sesuai
dengan firman Allah SWT.:
وَاخْتَارَ مُوسَىٰ قَوْمَهُ سَبْعِينَ رَجُلًا لِمِيقَاتِنَا ۖ
“Dan Nabi Musa memilih tujuh puluh
orang dari kaumnya untuk (memohon taubat dari Kami) pada waktu yang telah kami
tentukan... (QS. Al-Araf (7):155)[13]
Penentuan jumlah-jumlah tertentu
sebagaimana disebutkan diatas, sebetulnya bukan merupakan hal yang prinsip,
sebab persoalan pokok yang dijadikan ukuran untuk menetapkan sedikit atau
banyaknya jumlah Hadits Mutawatir
tersebut bukan terbatas pada jumlah, tetapi diukur pada tercapainya Ilmu
Dharuri. Sekalipun jumlah perawinya tidak banyak (tapi melebihi batas minimal
yakni 5 orang), asalkan telah memberikan keyakinan bahwa berita yang mereka
sampaikan itu bukan kebohongan, sudah dapat dimasukkan sebagai hadits
mutawatir. [14]
b.
Adanya keseimbangan antar perawi
pada Thabaqat pertama dengan Thabaqat berikutnya
Jumlah perawi Hadits mutawatir,
antara Thabaqat (lapisan/tingkatan) dengan thabaqat lainnya harus seimbang.
Dengan demikian, bila suatu Hadits diriwayatkan oleh 20 orang sahabat, kemudian
diterima oleh 10 tabi’in, dan selanjutnya hanya diterima oleh 5 tabi’in, tidak
dapat digolongkan sebagai Hadits mutawatir, sebab jumlah perawinya tidak
seimbang antara thabaqat pertama dengan thabaqat-thabaqat seterusnya.[15]
Akan
tetapi ada juga yang berpendapat, bahwa keseimbangan jumlah perawi pada tiap thabaqat tidaklah terlalu penting. Sebab
yang diinginkan dengan banyaknya perawi adalah terhindarnya kemungkinan
berbohong.[16]
c.
Berdasarkan Tanggapan Pancaindra
Berita yang disampaikan oleh
perawinya tersebut harus berdasarkan tanggapan pancaindra. Artinya bahwa berita
mereka sampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran atau penglihatannya
sendiri. Oleh karena itu, bila berita itu merupakan hasil renungan, pemikiran
atau rangkuman dari suatu peristiwa lain ataupun hasil istinbat dari dalil yang
lain, maka tidak dapat dikatakan Hadits mutawatir, misalnya berita tentang
baharunya alam semesta yang berpijak pada pemikiran bahwa setiap benda yang
rusak itu baharu, maka berita seperti ini tidak dapat dikatakan Hadits
Mutawatir. Demikian juga berita tentang ke-Esa-an Tuhan menurut hasil pemikiran
pada filosof, tidak dapat digolongkan sebagai Hadits mutawatir.
2.1.3.
Macam-Macam Hadits Mutawatir
a.
Mutawatir Lafzhi
“Hadits mutawatir lafzhi ialah
hadits yang kemutawatiran perawinya masih dalam satu lafal.”
Contoh:
من كذب علي متعمدا فليتبو أمقعده من النار
Artinya: Barang siapa berdusta atas
(nama)-ku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari
neraka.
Keterangan:
Menurut Al Bazzar, hadits ini
diriwayatkan oleh 40 orang Sahabat. Al- Nawawi menyatakan bahwa hadits ini
diriwayatkan oleh 200 orang Sahabat.[17]
Lafadz yang orang ceritakan hampir
semua bersamaan dengan contoh tersebut tersebut, diantaranya ada yang berbunyi
begini :
من تقول علي مالم اقل فليتبوأ مقعده من النا (ابن ماجه)
Artinya: “Barang siapa
mengada-adakan omongan atas (nama)-ku sesuatu yang aku tidak pernah katakan,
maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka.” (Ibnu Majah)
Kemudian ada yang berbunyi seperti
ini :
ومن قال علي مالم اقل فاليتبوأ مقعده من النار (الحاكم)
Artinya :” Dan barang siapa berkata
atas (nama)-ku sesuatu yang aku tidak pernah katakan, maka hendaklah ia
mengambil tempat duduknya dari neraka.” (Hakim)
Adanya perbedaan pada permulaan
hadits mungkin terjadi karena Nabi SAW mengucapkannya beberapa kali, namun pada
dasarnya maknanya sama saja.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh
berpuluh-puluh imam ahli hadits, diantaranya: Bukhari, Muslim, Darimy, Abu
Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi, Ath-Tajalisy, Abu Hanifah, Thabarani dan Hakim.
b.
Mutawatir Ma’nawiy
Hadits Mutawattir Ma’nawiy merupakan
hadits yang dimana susunan redaksinya berbeda namun pada prinsipnya memiliki
makna yang sama.
Contoh:
Adanya hadits yang menjelaskan bahwa
Rasulullah mengangkat kedua tangannya ketika berdo’a.
قال أبو موسى ﻤﺎ ﺭﻔﻊ رسول الله ﺼﻟﻰ ﷲ ﻋﻟﻴﻪ
ﻭ ﺴﻠﻡ ﻴﺩﻴﻪ ﺤﺘﻰ ﺭؤﻱ ﺒﻴﺎﺽ ﺍﺒﻁﻴﻪ ﻔﻰ ﺸﻴﺊ ﻤﻥ ﺩﻋﺎﺌﻪ
ﺍﻻ ﻔﻰ ﺍﻹﺴﺘﺴﻘﺎﺀ
(رواه البخارى و مسلم)
“Abu Musa Al-Ayari
berkata bahwa Rasulullah saw tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam berdo’a
hingga tampak putih-putih kedua ketiaknya dan beliau saw mengangkat tangannya
selain dalam do’a shalat istisqa’. (HR Bukhori dan Muslim)”[18]
ﻜﺎﻥ ﻴﺭﻔﻊ ﻴﺩﻴﻪ ﺤﺫﻭ ﻤﻨﻜﺒﻴﻪ
c.
Mutawatir Amali,
Hadits
mutawatir amali, yakni amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh Nabi SAW,
kemudian diikuti oleh para Sahabat, lalu Tabi’in , dan seterusnya sampai
sekarang. Contoh, hadits-hadits tentang sholat, jumlah rakaatnya, dan lain
sebagainya. Segala yang menjadi ijma’ di kalangan ulama dikategorikan sebagai
hadits mutawatir amali.[19]
2.1.4.
Faedah Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir itu memberi faedah
ilmu dharuriy atau yakin, artinya yakni suatu keharusan untuk meyakini
kebenaran suatu berita dari Nabi SAW yang diriwayatkan secara mutawatir tanpa
ada keraguan sedikitpun.
Para perawi Hadits mutawatir tidak
perlu lagi diselidiki tentang keadilan dan kedhabitannya (kuatnya
hafalan/ingatan), karena kuantitas para perawi Hadits sudah menjamin tidak
mungkin terjadi kesepakatan bohong.
Hadits mutawatir mengandung hukum qath’I al
tsubut, memberikan informasi yang pasti akan sumber informasi tersebut. Oleh
sebab itu tidak dibenarkan seseorang mengingkari hadits mutawatir, bahkan para
ulama menghukumi kufur bagi orang yang mengingkari hadits mutawatir.
Mengingkari hadits mutawatir sama dengan mendustakan informasi yang jelas dan
pasti bersumber dari Rasulullah.
2.2
Hadits Ahad
2.2.1
Pengertian Hadits Ahad
Secara bahasa kata “ahad” merupakan
bentuk plural dari kata “ahad” yang bermakna satu. Hadits ahad, secara bahasa
adalah Hadits yang diriwayatkan oleh satu orang.[20] Adapun
pengertian Hadits ahad secara istilah adalah Hadits yang tidak memenuhi syarat
syarat Hadits mutawatir. Menurut Al Qathan Hadits ahad adalah Hadits yang tidak
memenuhi syarat mutawatir.[21] Dengan
demikian berarti bahwa Hadits ahad adalah Hadits yang sanadnya shahih dan bersambung
hingga sampai kepada sumbernya (Nabi) tetapi kandungannya memberikan pengertian
zhanni dan tidak sampai kepada qath’i atau yakin.[22]
2.2.2
Macam-macam Hadits Ahad
a.
Hadits Masyhur
Secara bahasa, kata masyhur adalah
isim maf’ul dari kata syahara yang berarti mengumumkan dan menjelaskan suatu
hal. Dalam penegrtian ini masyhur juga berarti sesuatu yang terkenal, yang
dikenal atau yang populer dikalangan manusia.[23]
Sedangkan secara istilah, Hadits masyhur adalah Hadits yang diriwayatkan oleh
tiga orang atau lebih dari setiap generasi, akan tetapi tidak mencapai jumlah
mutawatir. Jika diteliti lebih lanjut, sebenarnya Hadits masyhur ini tidak
semuanya berkualitas shahih, karena jumlah perawi yang demikian belum tentu
menjamin keshahihannya kecuali disertai sifat sifat yang menjadikan sanad
ataupun matannya shahih. Dengan demikian, Hadits masyhur sendiri dapat
dikelompokan kepada yang berkualitas shahih, hasan dan dhaif.[24]
Lebih lanjut, berdasarkan pada segi
lingkungan, popularitas dan penyebarannya maupun segi frekuensi penggunaannya,
Hadits masyhur ini juga sangat beragam, yaitu
-
Hadits mayhur di kalangan muhadditsun
قَنَتَ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوعِ يَدْعُو عَلَى
رِعْلٍ، وَذَكْوَانَ
“Rosululloh
mengerjakan qunut selama sebulan yang dilakukan setelah rukuk untuk mendo’akan
suku ri’l dan dzakwan” (Shohih Bukhori, no.1003 Shohih Muslim, no.677
)
-
Hadits Masyhur di kalangan muhadditsu, ulama lain dan juga orang
awam
المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ
وَيَدِهِ
“Orang muslim adalah orang yang menyelamatkan orang-orang islam lainnya dari lisan dan datangnya” (Shohih Bukhori, no.10, 11, 6484 dan Shohih Muslim, no.40, 41, 42)
-
Hadits Mashur dikalangan fuqaha
أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللهِ الطَّلَاقُ
“Perkara halal yang paling dibenci oleh Alloh adalah perceraian” (Sunan Abu Dawud, no.2178, Sunan Ibnu Majah, no. 2018 dan Sunan Baihaqi, no.14894)
-
Hadits Masyhur di kalangan ahli ushul fiqih
رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ، وَالنِّسْيَانَ،
وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
“Diangkat dari umatkudari umatku sesuatu yang dilakukan karena salah, lupa dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya." (Sunan Ibnu Majah, no.2043, Shohih Mustadrok Hakim, no.2601Ibnu Hibban, no.7219, Sunan Daruqutni, no.4351)
-
Hadits Masyhur di kalangan ahli bahasa arab
نعم العَبْد صُهَيْب لَو لم يخف الله لم يَعْصِهِ
“Sebaik-baik hamba adalah Shuhaib, jika saja ia tidak takut pada Alloh, ia tak akan melakukan maksiat kepaNya” (La Adhla Lah = hadits ini tidak diketahui asalnya).
-
Hadits Masyhur di kalangan umum
العَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ
“Sifat tergesa-gesa itu darri
setan” (Sunan Turmudzi, no.2012)[25]
b.
Hadits Aziz
Secara bahasa, kata aziz merupakan
sifat musyabbahah dari kata “azza
ya’izzu”,yang berarti sedikit atau jarang dan kata azza ya’azzu yang
berarti kuat dan sangat. Sedangkan menurut istilah Hadits aziz adalah Hadits
yang diriwayatkan oleh tidak kurang dari dua perawi pada seluruh
tingkatan/generasi.[26]
Dengan demikian, suatu Hadits yang pada salah satu thabaqah sanadnya
diriwayatkan oleh dua periwayat, meskipun pada thabaqah lainnya diriwayatkan
oleh banyak periwayat, maka Hadits itu dinamakan Hadits azis.[27]
Contoh Hadits azis adalah :
Hadits yang disebutkan oleh al
Hafidz Ibnu Hajar di dalam “Nuzhatun Nadzar” [hal. 70] yaitu hadits yang
diriwayatkan oleh Syaikhan dari Anas radhiyallohu ‘anhu, Rasulullah shallallohu
‘alaihi wa sallam bersabda :[28]
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ
وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Salah seorang di antara kalian tidak dianggap
beriman (dengan sempurna) sehingga saya lebih dicintainya melebihi cintanya
terhadap orang tuanya, anaknya dan manusia seluruhnya”
Hadits aziz ini bisa dinilai shahih, hasan
maupun dhaif, sesuai dengan keadaan sanad dan matannya, setelah dilakukan
penelitian terhadapnya. Diantara
contohnya adalah Hadits yang diriwayatkan dari Anas ibn Malik dari Rasulullah
SAW, tentang etika sosial sebagai parameter kualitas keimanan seseorang,
sebagai berikut :
c.
Hadits Gharib
Secara bahasa kata “gharib”
merupakan sifat musyabbahah yang bermakna menyendiri. Sedangkan secara istilah,
Hadits gharib adalah Hadits yang diriwayatkan seorang perawi di manapun hal itu
terjadi. Artinya bahwa tiap Hadits gharib ini tidak disyaratkan harus satu
perawi pada setiap tingkatan atau generasi, akan tetapi cukup satu tingkatan
sanad dengan satu orang perawi. Di antara contohnya adalah Hadits yang
diriwayatkan dari Umar ibn Khattab dari Rasullullah SAW tentang pentingnya niat
sebagai berikut :
Berdasarkan letak terjadinya
ke-gharib-an, Hadits model ini dapat dipilih menjadi tiga kelompok, yaitu :
- Gharib matnan wa isnadan (gharib dari segi matan dan sanadnya) artinya bahwa Hadits tersebut tidak diriwayatkan melainkan melalui satu sanad.
- Gharib isnadan la matan (gharib dari segi sanadnya dan tidak matannya). Artinya Hadits tersebut merupakan Hadits masyhur kedatangannya melalui beberapajalur dari seorang perawi atau seorang sahabat atau dari sejumlah perawi, lalu ada seorang perawi meriwayatkannya dengan jalur lain yang tidak masyhur. Hadits gharib dalam bentuk ini dinamakan Hadits gharib mutlak disebabkan diriwayatkan oleh seorang perawi saja, melalui jalur yang tidak masyhur.
- Gharib matnan la isnadan, yaitu Hadits yan pada mula sanadnya tunggal, akan tetapi pada tahap selanjutnya masyhur. Sebenarnya Hadits gharib dalam bentuk ini, jika dicermati, dapat dikelompokan pertama[29]
Jika ditinjau dari segi ke-ghariban sanadnya, ada sejumlah ulama
yang membaginya menjadi dua kelompok, yaitu :
-
Kelompok pertama (Hadits Gharib Mutlak), yaitu Hadits yang
ke-gharib-an sanadnya terjadi pada asal sanadnya, dengan kata lain yang
diriwayatkan oleh rawi secara sendirian pada awal sanadnya.
Contoh
hadits Gharib mutlak :
اَلوَلَاءُ لَحْمَةٌ كَلَحْمَةِ النّّسّبِ لَا يُبَاعُ
وَلاَ يُوْهَبُ
Artinya : “kekerabatan dengan
jalan memerdekakan, sama dengan kekerabatan dengan jalan keturunan, tidak boleh
dijual dan tidak boleh dihibahkan”.
Hadits ini diterima dari Nabi oleh
Ibnu Umar dan dari Ibnu Umar hanya Abdukllah bin Dinar saja yang meriwayatkan.
Abdullah bin Dinar adalah seorang Tabi’i , seorang hafidh yang kokoh ingatanya.
-
Hadits Ghairu Nisbi, yaitu Hadits yang keghariban sanadnya terjadi
pada tengah sanad, bukan pada asal sanad sebagaimana Hadits gharib mutlak.
Maksutnya, semula diriwayatkan oleh lebih dari seorang rawi dalam asal
sanadnya kemudian secara sendirian diriwayatkan oleh satu orang rawi dari
mereka para perawi tersebut.
Contoh lain hadits gharib nisbi berkenaan dengan kota atau tempat
tinggal tertentu :
أُمِرَ نَا أَنْ نَقْرَ أَبِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
وَمَا تَيَسَّرَ(رواه ابو داود)
Artinya : “kami diperintahkan oleh
Rasul SAW agar membaca surat Al-Fatihah dan surat yang mudah ( dari
al-Qur’an )”. ( HR Abu Dawud )
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu
Dawud dengan sanad Abu Al Walid Al-Tayalisi, Hammam, Qatadah, Abu Nadrah, Dan
said. Semua rawi ini berasal dari Basrah dan tidak ada yang meriwayatkanya dari
kota lain.[30]
Jenis-jenis Gharib nisbi :
Terdapat berbagai jenis gharib yang
memungkinkanya termasuk hadits gharib nisbi, bukan gharib mutlak karena
dinisbikan kepada sesuatu tertentu :
1. Kegharibanya
dinisbikan kepada rawi yang tsiqah (terpercaya)sepertipernyataan
mereka, “tidak diriwayatkan oleh seorang pun rawi tsiqah kecuali si
fulan”.
2. Ke-Gharibanya
karena diriwayatkan oleh rawi tertentu dari rawi tertentu seperti pernyataan
mereka . “Diriwayatkan secara menyendiri oleh fulan dar fulan”, meskipun
diriwayatkan dari arah lain selain dia”.
3. Ke-gharib-anya
pada penduduk negeri tertentu atau penghuni tertentu. Seperti pernyataan
mereka, “diriwayatkanh secara menyendiri oleh penduduk
makkah” atau “oleh penduduk syam”.
4. Ke-gharianya
karena diriwayatkanya oleh penduduk negeri tertentu dari penduduk negeri
tertentu pula. Seperti pernyataan mereka.“diriwayatkan secara menyendiri oleh
penduduk syam dari penduduk khijaz”.[31]
Ditinjau dari segi letak kegharibanya,
hadits gharib dibagi :
a. Hadits
gharib matan dan sanad, hadits yang matanya diriwayatkan oleh seorang rawi
saja.
b. Hadits
gharib matan, bukan sanad. Seperti hadits yang matanya diriwayatkan oleh
sekelompok sahabat, namun diriwayatkan secara menyendiri dari sahabat lainya.
Dalam perkara ini, Imam Tirmidzi berkata, “Hadits ini gharib diliat dari
aspek ini”.[32]
2.2.3
Ketentuan Hukumnya
Hadits Masyhur baik yang masyhur
istilah maupun masyhur non-istilah ada yang shahih, hasan, dhaif bahkan ada
yang mawdhu’. Hanya saja, Hadits masyhur istilah yang shahih kualitasnya lebih
tinggi dari Hadits aziz atau gharib yang juga shahih. [33]
Sebagaimana halnya Hadits masyhur,
Hadits aziz ada yang shahih, hasan, dhaif bahkan mawdhu’ tergantung pada
keberadaan sanad dan matan Hadits yang bersangkutan. Karena hal itu, tidak
semua Hadits aziz itu shahih dan tidak pula setiap Hadits shahih adalah azis.[34]
Hadits gharibpun juga sama ada yang
shahih, hasan, dha’if adapula yang mawdhu’ tergantung kualitas sanad dan
matannya. Jika suatu Hadits gharib memenuhi semua syarat Hadits shahih, yaitu
sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang tsiqah dan terlepas dari
syadz dan illat. Maka Hadits tersebut shahih. Akan tetapi jika syarat syaratnya
terpenuhi namun salah seorang periwayatannya ada yang kurang dhabit maka Hadits
itu dikatakan hasan. Demikian pula, jika suatu Hadits gharib bertentangan
dengan Hadits dengan kualitas sama dan tidak mungkin dilakukan kompromi satu
dengan yang lain, maka Hadits gharib itu dinamakan Hadits mudhtharib. Jika
Hadits gharib diriwayatkan oleh periwayat yang tsiqah tetapi bertentangan
dengan riwayat dari periwayat yang lebih stiqah, maka Hadits itu dinamakan
sebagih Hadits syadz (janggal). Apabila periwayat pada Hadits gharib itu dha’if
dan bertentangan dengan Hadits dari periwayat yang tsiqah, maka Hadits itu
dinamakan hadits munkar.[35]
2.3
Hadits Shahih
2.3.1
Pengertian Hadits Shahih
Shahih menurut bahasa
artinya sah, benar, sempurna, tiada celanya. Secara istilah, beberapa ahli
memberikan definisi antara lain sebagai berikut:
● Menurut Ibn al-Shalah, hadits shahih
adalah hadits yang sanadnya bersambung (muttashil) melalui periwayatan orang yang
adil dan dhabith dari orang yang adil
dan dhabith, sampai akhir sanad tidak
ada kejanggalan dan tidak ber’illat.
● Menurut Imam al-Nawani, hadits
shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang
adil lagi dhabith, tidak syaz, dan tidak ber’illat
2.3.2
Kriteria Hadits Shahih
a.
Sanad-nya Bersambung
Yang dimaksud dengan sanad-nya
bersambung adalah bahwa tiap-tiap perawi dalam sanad hadits menerima riwayat
hadits dari periwayat terdekat sebelumnya, keadaan itu bersambung demikian
sampai akhir sanad dari hadits itu. Dengan demikian jelas bahwa hadits mursal, munqati, mu’dhal, dan mu’allaq, tidak tergolong hadits shahih.[36]
b.
Perawi yang Adil
Menurut bahasa, kata adil berarti
lurus, tidak berat sebelah, tidak zalim, tidak menyimpang, tulus dan jujur, dan
baik tingkah lakunya. Yang dimaksud dengan perawi yang adil dalam periwayatan
hadits adalah semua perawinya, di samping harus islam dan baligh, juga memenuhi
syarat sebagai berikut:
● Senantiasa melaksanakan semua
perintah agama dan meninggalkan semua larangannya
● Senantiasa menjauhi perbuatan dosa
kecil
● Senantiasa memelihara ucapan dan
perbuatan yang dapat menodai muru’ah
Sifat adil sebagaimana tersebut di atas dapat diketahui melalui:
● Popularitas keutamaan pribadi perawi
di kalangan ulama ahli hadits
● Penilaian dari para kritikus perawi
hadits tentang kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri perawi.
● Penerapan kaidah al-jahr wa al-ta’dil, apabila tidak ada
kesepakatan di antara para kritikus perawi hadits mengenai kualitas para perawi
tertentu.
Menurut jumhur
ulama ahli sunnah, perawi pada tingkat sahabat seluruhnya adil. Menurut
mu’tazilah, para sahabat yang terlibat dalam pembunuhan Ali dianggap fasik dan
periwayatannya ditolak.[37]
c.
Perawinya dhabith
Menurut bahasa dhabith artinya yang kokoh, yang kuat, yang sempurna hafalannya.
Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, perawi yang dhabith
adalah yang kuat hafalannya.terhadap apa yang pernah didengarnya, kemudian
mampu menyampaikan hafalan tersebut kapan dan di mana saja diperlukan.
Ada dua kategori pengertian dhabith
dalam periwayatan hadits yaitu dhabith fi al-sadhrl ialah terpeliharaanya.
Periwayatan dalam ingatan sejak menerima hadits sampai meriwayatkannya kepada
orang lain. Sedangkan dhabith fi al-kitab
ialah terpeliharanya kebenaran suatu periwayatan melalui tulisan. Menurut para
ulama, sifat-sifat kedhabitan perawi
dapat diketahui melalui:
● Kesaksian para ulama
● Kesesuaian riwayatnya dengan riwayat
dari orang lain yang telah dikenal kedhabitannya.[38]
d.
Tidak syadz (janggal)
Yang dimaksud dengan syaz ialah suatu hadits yang
bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi lain yang lebih kuat
atau lebih tsiqah. Dengan demikian
dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan hadits yang tidak syaz adalah hadits yang matannya tidak
bertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat atau lebih tsiqah.[39]
e.
Tidak ber’illat (ghair mua’allal)
Kata ‘illat menurut bahasa berarti cacat, penyakit, keburukan, dan
kesalahan dalam membaca. Maka yang disebut hadits berillat adalah hadits yang
ada cacat atau penyakitnya. Menurut istilah, ilat berarti suatu sebab
tersembunyi atau samar-samar, yang karenanya dapat kesahihan hadits tersebut.
Dikatakan samar-samar karena jika dilihat dari segi lahiriyahnya, hadits
tersebut terlihat shahih. Adanya kesamaran pada hadits tersebut mengakibatkan
nilai kualitasnya menjadi tidak shahih. Jadi hadits yang tidak berillat ialah
hadits yang di dalamnya tidak terdapat kesamaran atau keragu-raguan.[40]
2.3.3
Macam-macam Hadits Shahih
Hadits Shahih
dibagi menjadi dua, yaitu:
a.
Hadits shahih lidzatih
Yaitu hadits shahih dengan
sendirinya. Artinya, hadits tersebut dengan sendirinya telah memiliki 5
kriteria syarat hadits.
b.
Hadits shahih lighirih
Yaitu hadits yang keshahihannya
dibantu oleh adanya keterangan lain.
Pada mulanya kategori hadits inimemiliki kelemahan pada aspek ke-dhabit-an perawinya sehingga nilainya
hanya sampai pada tingkatan hasan
lidzatih. Tetapi, hadits tersebut dikuatkan oleh keterangan lain, baik
berupa syahid maupun muttabi’ (matan atau sanad lain) yang
menguatkan kandungan matan-nya sehingga hadits tersebut naik derajatnya
setingkat lebih tinggi menjadi shahih
lighairih.[41]
2.3.4
Tingkatan Sanah Hadits Shahih
Perlu diketahui bahwa martabat
hadits shahih itu tergantung tinggi dan rendahnya kepada ke-dhabit-an dan
keadilan para perawinya. Berdasarkan martabat sepertin ini, para muhaditsin
membagi tingkatan sanad menjadi tiga yaitu:
Pertama, Adhah al-asanid yaitu
rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya, seperti periwayatan sanad Imam
Malik bin Anas dari Nafi’ mawla (mawla=budak yang telah dimerdekakan) dari Ibnu
Umar.
Kedua, Ahsan al-asanid, yaitu
rangkaian sanad hatis yang tingkatannya dibwah tingkat pertama di atas. Seperti
periwayatan sanad dari Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas.
Ketiga, Ad’af al-asanid, yaitu
rangkaian sanad hadits yang tingkatannya lebih rendah dari tingkatan kedua,
seperti periwayatan Suhail bin Abu Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Dari segi persyaratan shaih yang
terpenuhi dapat dibagi menjadi tujuh tingkatan yang secara berurutan sebagai berikut:[42]
1.
Hadits yang disepakati oleh bukhari dan muslim (muttafaq ‘alaih),
2.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori saja,
3.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim saja,
4.
Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari
dan Muslim,
5.
Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratkan
Al-Bukhari saja,
6.
Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim
saja,
7.
Hadits yang dinilai shahih menurut ulama hadits selain Al-Bukhari
dan Muslim dan tidak mengikuti persyaratan keduanya, seperti Ibnu Khuzaimah,
Ibnu Hibban, dan lain-lain.
2.3.5
Hukum Kehujjahan Hadits Shahih
Ibnu
Hazm al- Dhahiri menetapkan bahwa Hadits sahih memfaedahkan ilmu qath’i dan
wajib diyakini dengan demikian Hadits sahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan
suatu akidah, yang perlu di fahamai bahwa martabat Hadits sahih ini tergantung
kedhabitannya dan keadilan perawinya, dan semakin dhabit dan adil siperawinya
makin tinggi pula tingkatan kualitas Hadits yang diriwayatkannya. Maka dapat di
simpulkan bahwa hadits sahih sebagai sumber ajaran Islam lebih tinggi
kedudukannya dari hadits hasan dan dho’if, tetapi berada dibawah kedudukan
hadits mutawatir.
Semua
ulama sepakat menerima hadits sahih sebagai sumber ajaran Islam atau hujjah,
dalam bidang hukum dan moral. Tetapi, sebagian ulama menolak kehujjahan hadits
sahih dalam bidang aqidah, sebagian lagi dapat menerima, tetapi tidak
mengkafirkan mereka yang menolak.
2.4
Hadits
Hasan
2.4.1.
Pengertian
Hadits Hasan
Menurut bahasa, hasan artinya sesuatu yang
disenangi dan dicondongi oleh nafsu. Menurut istilah, para ulama berbeda
pendapat dalam mendefinisikannya. Perbedaan pendapat ini disebabkan di antara
mereka ada yang menggolongkan hadits hasan sebagai hadits yang menduduki posisi
di antara hadits shahih dan hadits dha’if. Tetapi ada juga yang memasukkannya
sebagai bagian dari hadits dha’if yang dapat dijadikan hujjah. Menurut sejarah
yang mula-mula memunculkan istilah hasan bagi suatu jenis hadits yang berdiri
sendiri adalah Abu ‘Isa al-Turmudzi. Sebelum al-Turmudzi istilah hadits hasan
belum pernah dikenal. Al-Turmudzi sangat sering menyebutkan istilah hasan dalam
kitab sunan-nya, sehingga ulama hadits mengamggap kitab al-Sunan sebagai sumber
utama dalam mengetahui hadits hasan.[43]
Adapun definisi hadits hasan dapat dilihat
antara lain sebagai berikut :
Menurut
Ibn Hajar, hadits hasan adalah :
“ Khabar Ahad
adalah yang diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi sempurna ke-dhabith-annya,
sanad-nya bersambung, tidak ada syaz dan ‘illat, itulah yang disebut shahih li
dzati-hi. Bila kedhabitannya kurang, maka itulah yang disebut hasan li
dzatihi”.[44]
Dengan definisi ini dapat diketahui bahwa
hadits hasan, menurut Ibn Hajar, adalah hadits yang telah memenuhi lima
persyaratan hadits shahih sebagaimana disebutkan terdahulu, hanya saja bedanya,
pada hadits shahih daya ingatan perawinya sempurna, sedangkan pada hadits hasan
daya ingatan perawinya kurang sempurna. Dengan kata lain, bahwa hadits hasan
menurut Ibn Hajar, adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil
(tetapi) tidak begitu kuat daya ingatannya, bersambung-sambung sanadnya, serta
tidak terdapat ‘illat dan kejanggalan pada matannya. Dengan demikian Hadits
hasan menempati posisi di antara Hadits shahih dan Hadits dha’if. Definisi ini
sama dengan definisi al-Murtadha, Muhammad al-Zarqani, dan Muhammad bin ‘Alwi
al-Maliki al-Hasani.[45]
Menurut al-Turmudzi hadits hasan adalah
“tiap-tiap hadits yang pada sanadnya tidak ada perawi yang dituduh berdusta,
pada matan-nya tidak ada kejanggalan, dan hadits itu tidak hanya diriwayatkan
dengan satu jalan (mempunyai banyak jalan) yang
sepadan dengannya”. Dibanding dengan definisi pertama di atas, definisi
hadits hasan menurut al-Tutmudzi ini, terlihat kurang jelas, sebab bisa jadi
hadits yang perawinya tiada tertuduh dusta dan matan-nya tidak terdapat
kejanggalan disebut hadit shahih. Demikian juga dengan hadits gharib, sekalipun
pada hakikatnya berstatus hasan, tidak dapat dimasukkan dalam definisi ini.
Sebab dalam definisi tersebut disyaratkan tidak hanya melalui satu jalan
periwayatan (mempunyai banyak periwayatan).[46]
Menurut Ajaj al-Khatib, hadits hasan adalah :
“Hadits
yang bersambung sanadnya, yang
diriwayatkan oleh perawi yang adil yang lebih rendah kedhabitannya tanpa adanya
syaz dan ‘illat”.[47]
Dari
definisi tersebut jelas ada perbedaan antara hadits shahih dengan hadits hasan,
yaitu dalam hadits shahih disyaratkan ke-dhabith-an yang sempurna, sedangkan
dalam hadits hasan di syaratkan ke-dhabith-an dasar.[48]
2.4.2.
Macam-macam
Hadits Hasan
Ada dua jenis hadits hasan, yaitu hasan li dzati-hi dan hasan li ghairi-hi. Dikatakan li dzati-hi sebab kualitas hasannya
muncul karena memenuhi syarat tertentu, bahkan karena faktor lain di luarnya.
Adapun Hadits hasan li ghairi-hi
adalah hadits yang didalamnya terdapat perawi mashur yang belum tegas
kualitasnya, tetapi bukan perawi pelupa
atau sering melakukan kesalahan dalam riwayat-riwayatnya, bukan pula muttaham
bi al-kadzib dalam Hadits, juga bukan karena sifat lain yang menyebabkannya
tergolong fasik, dengan syarat mendapatkan pengukuhan dari perawi lain yang
mu’tabar, tidak berstatus mutabi’ ataupun syahid.[49]
Dengan demikian, hadits hasan li ghairi-hi pada mulanya merupakan
hadits dha’if, yang naik menjadi hasan karena adanya penguat. Jadi dimungkinkan
berkualitas hasan karena adanya penguat itu. Seandainya tidak ada penguat,
tentu masih berstatus dha’if. Hadits hasan dapat dijadikan hujjah dan diamalkan
sebagaimana halnya dengan hadits shahih. Meskipun kekuatannya tetap berada di
bawah hadits shahih. Oleh karena itu, jika terjadi kontradiksi, harus
dimenangkan oleh hadits shahih.[50]
Jika terdapat riwayat dari jalur lain yang
menguatkan hadits hasan, maka statusnya naik dari derajat hasan menjadi shahih.
Misalnya, hadits Muhammad bin ‘Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah,
Rasululllah saw bersabda :
“ Seandainya saya tidak (dianggap) mempersulit
umatku, niscaya aku akan memrintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali
(hendak) shalat”.[51]
Muhammad bin ‘Amr termasuk perawi yang terkenal
jujur, tetapi tidak termsuk ahl-itqan (tidak memiliki hapalan yang kuat).
Sehingga ada yang menilainya dha’if dari sisi hapalannya, namun yang lain
menilainya tsiqah dari sisi kejujurannya. Jadi hadits ini termasuk hasan
li-dzati-hi dan shahih li ghairi-hi karena ia diriwayatkan dari guru-gurunya
melalui jalir lain. Ada yang meriwayatkan dari Abu-Hurairah, yaitu al-A’raj,
Sa’id al Maqbari, ayahnya dan lain-lain.[52]
2.4.3.
Hukum
Kehujjahan Hadits Hasan
Jumhur
mengatakan bahwa kehujjahan hasan seperti hadits shahih, walaupun derajatnya
tidak sama. Bahkan ada segolongan ulama yang memasukkan Hadits hasan ini, baik hasan li dzatih maupun hasan li
ghairih ke dalam kelompok shahih, seperti Hakim,
Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah meskipun tanpa memerikan penjelasan terlebih
dahulu. Bahkan para fuqaha dan ulama banyak yang beramal dengan Hadits
hasan ini. Agaknya Al-Khattabi lebih
teliiti tentang penerimaan mereka terhadap Hadits ini. Makanya Al-Khattabi
kemudian menjelaskan bahwa yang mereka maksud dengan hasan di sini (yang bisa
diterima sebagai hujjah) adalah Hadits
hasan li dzatihi.[53]
Sedangkan
Hadits hasan li gharihi jika
kekurangan-kekurangannya dapat diminimalisir atau tertutupi oleh banyaknya riwayat (riwayat lain), maka sah-lah berhujjah dengannya. Bila tidak
demikian, tidak sah berhujjah dengannya. Tapi pada hakikatnya hasan li gharihi
pun bisa dipergunakan sebagai hujjah.[54]
Kitab-kitab
Hadits yang banyak memuat Hadits hasan ini adalah Sunan Al-Tirmidzi, Sunan Abi
Daud, dan Sunan Al-Daruquthny.[55]
Sementara para
ulama yang membedakan kehujjahan Hadits berdasarkan perbedaan kualitas, Hadits
hasan li dzatihi dengan li gharihi dan sahih li dzatihi dengan li ghairihi,
maupun antara shahih dan hasan, mereka lebih jauh membedakan rutbah
Hadits-Hadits tersebut berdasakan kualitas para perawinya. Pada urutan pertama
mereka menempatkan hadits-hadits riwayat Muttafaq ‘alaih, dan seterusnya.[56]
Penempatan
hadits-hadits tersebut berdasarkan urutan-urutan/tingkatan-tingkatan di atas,
akan terlihat kegunaannya ketika terjadi atau terlihat adanya pertentangan
(ta’arudh) antara dua hadits. Hadits-Hadits yang menempati urutan pertama
dinilai lebih kuat daripada hadits-hadits yang menempati urutan kedua atau ketiga
dinilai lebih kuat daripada Hadits-Hadits pada urutan keempat atau kelima.[57]
2.5
Hadits Dha’if
2.5.1.
Pengertian Hadits Dha’if
Hadits
dha’if menempati urutan ketiga dalam pembagian hadits. Hadits dha’if adalah
hadits yang tidak memenuhi klasifikasi hadits shahih maupun Hadits hasan.
Hadits
dha’if adalah bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa, dha’if berarti
lemah, lawan dari al qawi yaitu kuat. Kelemahan Hadits dha’if ini karena sanad
dan matannya tidak memenuhi kriteria hadits yang kuat yang diterima sebagai
hujjah.
Sedangkan
menurut istilah adalah dha’if yaitu hadits yang tidak menghimpun sifat hadits
hasan sebab satu dari beberapa syarat yang tidak terpenuhi.
2.5.2.
Contoh
Hadits Dha’if
اِعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأَنَّكَ تَعِيْشُ أَبَدًا, وَاعْمَلْ لِآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًا
“Beramallah untuk duniamu seakan-akan engkau
hidup akan selamanya dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan
mati besok”.
Ini bukanlah
sabda Nabi SAW, walaupun masyhur di lisan kebanyakan mubaligh di zaman ini.
Mereka menyangka bahwa ini adalah sabda beliau. Sangkaan seperti ini tidaklah
muncul dari mereka, kecuali karena kebodohan mereka tentang hadits. Di samping
itu, mereka hanya “mencuri dengar” dari kebanyakan manusia, tanpa melihat sisi
keabsahannya.
Hadits ini diriwayatkan
dua sahabat. Namun, kedua hadits tersebut lemah karena di dalamnya terdapat
inqitho’ (keterputusan) antara rawi dari sahabat dengan sahabat Abdullah bin
Amer. Satunya lagi, cuma disebutkan oleh Al-Qurthubiy, tanpa sanad. Oleh karena
itu, Syaikh Al-Albaniy men-dhoif-kan (melemahkan) hadits ini dalam Silsilah
Al-Ahadits Adh-Dho’ifah
BAB 3
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Pembagian
hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu
hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits mutawatir juga dibagi lagi
menjadi 3 bagian yaitu: mutawatir ma’nawi dan mutawatir ‘amali. Sedangkan
hadits ahad dibagi menjadi dua macam, yaitu masyhur dan ghairu masyhur,
sedangkan ghairu masyhur dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu, aziz dan ghairu
aziz.
Sedangkan
hadits bila ditinjau dari segi kualitas hadits dapat dibagi menjadi dua macam
yaitu hadits maqbul dan hadits mardud. Hadits maqbul terbagi menjadi dua macam
yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad yang shahih dan hasan, sedangkan hadits
mardud adalah hadits yang dha’if.
DAFTAR PUSTAKA
Suparta, Munzier. 2002. Ilmu
Hadits. Jakarta: PT Raja Grasindo Persada
Azami, M.M., 2003. Memahami
Ilmu Hadits. Jakarta: Lentera
Zuhri, Muh.
2003. Hadits Nabi; Telaah Historis dan
Metodologis. Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya.
Alawi
Al-Maliki, Muhammad. 2006. Ilmu Ushul
Hadits. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sulaiman PL, M. Noor. 2008. Antologi
Ilmu Hadits. Jakarta. Gaung Persada Press.
Sumbulah, Umi. 2010. Ilmu
Hadits. Malang, UIN Maliki Press.
Dr. Idri. 2010. Studi Hadits.
Jakarta: Prenada Media Group.
http://nurulhusnayusuf-makalahku.blogspot.co.id/2011/04/Haditst-mutawatir-dan-ahad.html
diakses pada 19 Nov 2017
[1]
Suparta,
munzier, 2002. Ilmu Hadis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlm. 95
[2]
Ibid. hlm. 96
[3]
Ibid.
[4]
Ibid.
[5]
Suparta, munzier, 2002. Ilmu Hadis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlm. 97
[6]
Ibid.
[7]
Ibid. hlm. 98
[8]
Ibid.
[9]
Ibid.
[10]
Ibid.
[11]
Ibid.
[12]
Ibid. hlm. 99
[13]
Ibid.
[14]
ibid, hlm. 100
[15]
Ibid.
[16]
Ibid.
[19]
Ibid.
[20]
Dr. Idri, 2010.Studi Hadis, Jakarta: Prenada Media Group, hlm. 141
[21]
Umi Sumbulah. 2010. Ilmu Hadis. Malang:Uin Maliki Press. hlm. 91
[22]
Ibid
[23]
Dr. Idri, Op.Cit, hlm. 142
[24]
Umi Sumbulah, Op.cit. hlm. 91
[25]Umi
Sumbulah, Ilmu Hadits, hlm.92
[27] Dr. Idri, Studi Hadits, hlm.
148
[28]
Ibid.
[29]
Umi Sumbulah, Ilmu Hadits. hlm. 95
[30]
Umi Sumbulah, Ilmu Hadits, hlm 95
[31]
Dr. Idri, Studi Hadis, hlm. 152
[32] Dr. Idri, Studi Hadits, hlm.
151
[33]
Ibid, hlm 145
[34]
Ibid, hlm 148
[35] Ibid, hlm.153
[36]
Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta: Tim Gaung Persada Press,
2008), hlm. 9.
[37] Ibid., hal.
97.
[38] Ibid., hal.
98.
[39] Ibid.,
[40]
Ibid., hal. 98
[41] Dr. Muhammad Alawi Al-Maliki, 2006. Ilmu
Ushul Hadis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 61
[42]
Ibid, hal 56
[45] Ibid., hlm. 103
[46] Ibid.,
[47] Ibid.,
[48] Ibid., 104
[49] Ibid.,
[50] Ibid.,
[51] Ibid.,
[52] Ibid., hlm. 105
[54] Ibid.,
[55] Ibid.,
[57] Ibid.,
Komentar
Posting Komentar