Langsung ke konten utama

Sejarah Kesusateraan Periode Romantisme (History of English Literature)


 
MAKALAH
Sejarah Kesusateraan Periode Romantisme
Mata Kuliah History of English Literature
Dosen Pengampu : Ahmad Ghozi, SS., MA
 





Disusun Oleh :
Balqist Hamada (16320021)
Kelas   : C



SASTRA INGGRIS
FAKULTAS HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017/2018




BAB I
PENDAHULUAN
1.1        Latar Belakang
Teeuw (dalam Sugiarti, 2004: 67) menyatakan bahwa karya sastra tidak lepas dari pengarang dalam masyarakatnya, karena karya sastra tidak hadir dalam kekosongan budaya. Pengarang tidak lepas dari pikiran atau pandangan dunia dan perkembangan zaman. Pada makalah ini, penulis ingin menjelaskan tentang karya sastra pada periode romantis, sejarah serta motivasi yang mendorong para sastrawan menggunakan aliran romantis pada era ini. Periode Romantis terjadi diantara akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19. Disebut sebagai era romantis bukan berarti seluruh karya sastra dalam era ini tentang sesuatu yang berhubungan persoalan cinta, asmara atau ketertarikan antara laki-laki dan perempuan. Namun periode ini disebut sebagai era romantis karena pada periode ini ide karya sastranya didominasi dengan unsur-unsur seperti imajinasi, kebebasan mengeluarkan pendapat (berekspresi), dan idealisme.

1.2        Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah periode Romantis?
2.      Bagaimana urutan raja Inggris yang memerintah pada periode romantis?
3.      Apa saja yang menjadi ciri dari karya sastra era romantis?
4.      Apa saja karya sastra pada periode pre-romantis?
5.      Apa saja karya sastra padaperiode romantis?

1.3        Tujuan
1.      Mengetahui sejarah periode Romantis.
2.      Mengetahui urutan raja Inggris yang memerintah pada periode romantis.
3.      Mengetahui ciri karya sastra era romantis.
4.      Mengetahui karya sastra pada periode pre-romantis.
5.      Mengetahui karya sastra pada periode romantis.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1       Sejarah periode Romantis
Periode Romantis terjadi diantara akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19. Disebut sebagai era romantis karena pada periode ini ide karya sastranya didominasi dengan unsur-unsur seperti imajinasi, kebebasan mengeluarkan pendapat (berekspresi), dan idealisme. Karya sastra pada era ini dianggap romantik karena pada waktu itu para sastrawan — penyair dan pengarang— memberikan titik tekan pada persoalan rasa dan perasaan (McMichael, 1997: 613). Menurut Thorslev Jr. (1962: 16), aliran Romantik juga diketahui sering mengangkat tema-tema seperti liberalisme, eksotisme, supernaturalisme, dan pandangan tentang alam. Beberapa tema tertentu juga berkaitan dengan suasana hati. Gerakan sastrawan Romantik tersebut kemudian dikenal secara luas di Eropa sebagai Romantis (Pranachitra, 2010). Yang menjadi titik pangkal era Romantis ialah adanya Revolusi Perancis.  Revolusi Perancis sendiri dimulai pada tahun 1789 dengan prinsip kebebasan (liberte), persamaan (egalite) dan persaudaraan (fraternite) seperti yang dicetuskan oleh J.J. Rousseau.
Revolusi Perancis terjadi karena rakyat sudah tak tahan lagi dengan tindakan semena-mena dari kalangan bangsawan. Kekuasaan raja yang absolut dan penarikan pajak yang memberatkan rakyat membuat rakyat semakin terbebani. Selain itu, adanya kemerosotan perekonomian di Perancis akibat pemborosan yang dilakukan oleh bangsawan, tidak adanya kepastian hukum, serta perbedaan yang mencolok antar golongan masyarakat juga menjadi motivasi bagi rakyat untuk melakukan penggulingan tahta kerajaan. Revolusi Perancis meletus tepat pada tanggal 14 juli 1789 ditandai dengan penyerangan penjara Bastile oleh rakyat Perancis. Mereka memilih untuk menyerang Bastile terlebih dahulu karena (1) penjara Bastile merupakan gudang persenjataan dan makanan; (2) membebaskan tawanan politik yang mendukung gerakan revolusi; (3) membebaskan orang-orang yang tak bersalah yang telah ditangkap dan dipenjarakan di penjara Bastile. (Susilawati, 2010)
Faktor lain yang mendorong adanya aliran romantik pada abad ini ialah adanya Revolusi Industri. Revolusi industri diawali dengan penemuan mesin uap oleh James Watt pada tahun 1765. Sejak penemuan tersebut, lahirlah mesin mesin lain secara berangsur-angsur. Tentu saja, hal ini memiliki dampak positif dan juga negatif. Dampak positifnya ialah, manusia bisa terbantu pekerjaannya dengan menggunakan mesin, kegiatan produksi lebih efisien, dan ekonomi maju secara pesat. Namun disisi lain, revolusi industri juga mendatangkan kerugian pada masyarakat. Dengan ditemukannya mesin, pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh manusia diganti oleh mesin. Secara otomatis, pada era tersebut banyak sekali orang yang menjadi pengangguran. Efek dari pengangguran tersebut membuat banyak masyarakat miskin menjadi kelaparan, dan pada akhirnya memaksa anak-anak untuk ikut bekerja mencari nafkah. Disebutkan dalam buku The Northon Anthology of English Literature karya Abrams (2000), bahwasannya anak-anak dan wanita bekerja di tambang pada saat itu. Selain merugikan masyarakat dengan adanya PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) secara besar-besaran, alam pun juga ikut terkena dampak negatifnya. Pada saat itu, alam di Inggris terutama mengalami banyak perubahan, diantaranya polusi dimana-dimana, awan menjadi gelap dikarenakan asap dari cerobong pabrik dengan jumlah besar menyebar di langit. Selain itu, cat gedung juga berubah menjadi hitam, dikarenakan efek asap dan polusi tersebut. Bisa kita bayangkan pada saat itu situasi alam di Inggris sangat buruk sekali. Maka dari itu, tak jarang dari penyair pada zaman tersebut memiliki tema tentang rakyat miskin dan kecintaan terhadap alam.

2.2       Raja-raja Inggris yang memerintah pada periode romantis
Pada era Romantis, Inggris masih dipimpin oleh wangsa Hanover, tepatnya oleh raja George III yang merupakan cucu dari George II. Raja George II meninggal pada tahun 1760, lalu ia digantikan George III (William Frederick) sampai tahun 1820. Kenapa tidak digantikan oleh anaknya sendiri, Frederick, Prince of Wales? Karena pangeran Frederick mati terlebih dahulu sebelum penobatannya menjad raja. Pada usia 44 ia wafat setelah bola kriket menghantam kepalanya dengan keras. (liputan 6) Pada masa pemerintahan George III, timbul masa-masa transisi di bidang politik, sosial, serta struktur ekonomi. Sebagai contoh, dibidang pemerintahan, Raja George III sangat tidak setuju pemerintahan negara dilaksanakan oleh para menteri dan parlemen. Ia berusaha memerintah negeri ini dengan menerapkan kekuasaan tradisional sebagaimana dipraktekkan oleh dinasti Stuart. Ia berusaha untuk mengontrol Parlemen. Dengan menggunakan kekuasaan uang, ia membeli orang-orang untuk setia padanya dan mendirikan suatu partai sendiri yang disebut “King’s Friends“ atau para sahabat raja. Perlahan-lahan George III mampu melemahkan kekuasaan Partai Whig di parlemen sehingga akhirnya ia bisa menguasai parlemen.
Pada saat itu, George III memimpin negaranya dengan baik, ia memilih seseorang yang tepat bernama Lord North sebagai menteri utama. Ia memiliki tentara yang hebat pula. Terbukti dengan kemenangannya saat melawan Perancis dalam Perang Tujuh Tahun. Selain itu, ia mampu memperluas wilayah kekuasaannya hingga penjuru Amerika, Eropa bahkan Afrika. Tentaranya pun juga mampu mengalahkan, kaisar terhebat Perancis, Kaisar Napoleon Bonaparte dalam perang Waterloo (Redaksi, 2016). Sayangnnya, dikarenakan ambisi kerajaan Inggris untuk menguasai dunia, membuat banyak konflik dan perang dengan negara-negara lain. Sebagai contoh, peperangan antara Inggris dengan Amerika yang meminta kemerdekaan. Perang kemerdekaan USA pada 1778-1783 tersebut mengakibatkan meninggalnya Pasukan George III dalam jumlah yang besar. Semenjak kejadian tersebut, banyak pihak yang beroposisi terhadap raja. Peran George III sebagai raja Inggris semakin mengikis saat diangkatnya William Pitt pada tahun 1784 sebagai perdana menteri menggantikan perdana menteri sebelumnya, Lord North. Keadaan itu terus memburuk seiring dengan terjangkitnya gangguan saraf pada tubuh sang raja. Gangguan saraf tersebut membuat George III gila pada tahun 1810. Menurut dokter, ia menderita penyakit Porfiria, dimana sang pasien mengalami kerusakan didarahnya dan dapat menyebabkan ia mengidap gangguan jiwa yang tak dapat disembuhkan. Penyakit ini merupakan penyakit bawaannya sejak lahir (Julio, 2017). Keadaan inilah yang mebuat putranya raja George IV menjadi pangeran Regent (pangeran yang mewakili raja).
Kemudian saat raja George III meninggal, raja George IV (George Agustus Frederick) lah yang menggantikannya. Ia dinobatkan sebagai raja pada tahun 1820. Ia memerintah selama 10 tahun. Selama menjabat menjadi raja, ia hidup bermewah-mewahan. Ia melindungi segala bentuk hiburan baru. Sebagai contoh, ia menugaskan John Nash untuk membangun Royal Pavilion di Brighton dan merombak istana Buckingham. Dia memiliki hubungan buruk dengan dan istrinya, Caroline Brunswick (Editor, n.d.). Ia menikahi istrinya yang merupakan sepupunya hanya untuk membayar hutangnya. Mereka lalu berpisah pada tahun 1817.
Ayahnya, Raja George III menganggap pernikahan Augustus bertentangan dengan Undang-undang (UU) Perkawinan Kerajaan, sehingga kedua istrinya itu pun tidak mendapatkan gelar.
Hal itu karena Augustus menikahi wanita dari kalangan biasa, bukan bangsawan.
Begitu pula dengan dua keturunan Augustus dari pernikahannya tersebut, kedua anaknya juga tidan mendapatkan gelar satu pun lantaran dianggap sebagai anak yang tidak sah.


Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Meghan Markle Bakal Jadi Wanita Pertama Bergelar Duchess of Sussex dalam Sejarah Inggris, http://www.tribunnews.com/seleb/2018/05/19/meghan-markle-bakal-jadi-wanita-pertama-bergelar-duchess-of-sussex-dalam-sejarah-inggris.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Willem Jonata

Setelah kematian sang kakak, George IV, William IV menjabat sebagai raja Britania sekaligus Hanover. Keputusan ini diambil karena anak semata wayang raja George IV, putri Charlotte meninggal saat masih kecil.  Ada pula yang mengatakan bahwasannya putri raja George IV dengan Caroline merupakan anak yang tidak sah, karena raja George IV menikahi wanita biasa bukan dari kalangan bangsawan.
William IV (William Henry) sendiri lahir pada tanggal 21 Agustus 1765 dan meninggal pada tanggal 20 Juni 1837. Raja William IV tidak memiliki keturunan yang sah dan masih hidup. Maka dari itu, saat ia meninggal, tahta kerajaan diambil alih oleh keponakannya, Victoria. (BBC, 2014)

2.3       Ciri karya sastra era romantis
Ciri karya sastra yang paling nampak disini ialah kecintaan terhadap alam, kebebasan dan perasaan. Hal ini sangat berbeda sekali dengan karya sastra yang ada pada periode sebelumnya, Periode Agustus. Pada periode Agustus, ciri yang paling menonjol adalah sistem dan keteraturan dalam penulisan. Kecenderungan tersebut menimbulkan gaya bahasa yang jelas, teliti dan sederhana. Ciri lainnya ialah adanya penekanan pada akal fikiran karena pada waktu itu ada “revolusi intelektuil” sebagai akibat dari banyaknya kemajuan pesat dalam ilmu pengetahuan. Selain itu, banyak dari karya sastra pada era ini lebih menggambarkan masyarakat lapisan atas. Kemudian, bentuk utama dari penulisan sajak pada periode Agustusan ialah heroic couplet (Samekto, 1974)
Dikutip dari buku karya Samekto (1974), karya sastra pada era romantis mayoritas mendapat sumber inspirasi dari alam. Cinta terhadap alam sangat erat hubungannya dengan rasa simpati yang mendalam terhadap rakyat pedesaan serta golongan masyarakat rendahan. Lalu, para sastrawan pada periode ini cenderung untuk tidak lagi memakai kaedah-kaedah penulisan yang dibuat sebagai standar penulisan pada era sebelumnya, Agustus. Pemilihan bentuk karya sastra ditentukan oleh suara hati. Sajak-sajaknya ditulis dalam blank verse, sajak yang tak memiliki rima, serta tidak lagi dalam heroic couplet, puisi yang menggunakan rima iambic pentameter. Selain itu, para sastrawan disini juga cenderung memilih bahan-bahan (inspirasi) dari dalam negeri untuk dijadikan karya sastra mereka. Kecenderungan tersebut membuat adanya minat pada masa lampau dan kebudayaan sendiri serta juga pada dialek rakyat daerah.
Alasan mengapa para sastrawan lebih memilih membuat karya sastra yang berisi curahan perasaan adalah karena adanya Revolusi Perancis. Mereka berempati pada rakyat Perancis disana karena ditindas dan tidak diperlakukan semena-mena oleh rajanya. Hal ini juga pernah terjadi pada rakyat Inggris pada saat Glorious Revolution (Revolusi Gemilang). Revolusi Gemilang sendiri merupakan peristiwa besar yang terjadi saat rakyat Inggris meruntuhkan kekuasaan raja James II pada tahun 1688. Karena dianggap senasib, banyak dari para sastrawan Inggris terinspirasi dari peristiwa tersebut. Maka dari itu, sebagian besar dari karya satra pada era romantis memiliki tema kebebasan dan curahan hati. Hal ini didukung oleh para pemikir yang kontra dengan kerajaan Perancis yang absolut dan selalu bertindak semena-mena pada rakyatnya. Para pemikir bermaksud untuk menggalang kekuatan rakyat melalui protes yang disampaikan melalui pemikiran-pemikiran mereka. Diantara pemikir tersebut ialah John Locke (1632-1704) melancarkan protesnya dengan mengemukakan ide-ide mengenai hak asasi manusia (hak milik, hak kemerdekaan dan hak kebebasan); stated rule by law; dan perlunya pemisahan kekuasaan. Selain itu, ada ada pemikiran yang paling terkenal yakni, J.J. Rousseau (1712-1778) dengan kata-kata: Kebebasan, Persamaan, dan Persaudaraan. Maka, dengan munculnya pemikiran J.J. Rousseau tersebut, para sastrawan Inggris terinspirasi dan mulai untuk menulis karya karyanya dengan tema kebebasan, persamaan hak, dan persaudaraan antar sesama manusia.
Selain itu, dijelaskan Thorslev Jr. (1962) bahwa Romantis merupakan sindiran terhadap perilaku masyarakat pada masa Revolusi Industri di Inggris. Mereka diperbudak oleh teknologi, dan berperilaku layaknya mesin. Pada saat itu, mayarakat banyak yang kehilangan pekerjaan karena ditemukannya mesin untuk kebutuhan produksi baik di perusahaan maupun bidang pertanian. Hal ini membuat banyak orang jatuh miskin dan kelaparan. Pada akhirnya, mereka, khususnya anak-anak dan wanita, terpaksa bekerja serabutan dengan upah minim atau bahkan tidak sesuai dengan jam kerja mereka. Selain itu dengan merebaknya revolusi industri, membuat banyaknya pembangunan pabrik di inggris. Dengan dibangunnya banyak pabrik memang membuat ekonomi mengalami kemajuan yang sangat pesat, namun itu berdampak buruk bagi alam. Bahkan disebutkan bahwa pada saat itu lingkungan di Inggris menjadi penuh polusi, awan menghitam karena efek asap pabrik dengan jumlah yang besar, bahkan cat tembok rumah masyarakat juga ikut mengusam sehingga Inggris hilang keindahannya (Abrams, 2000). Maka dari itu, tak jarang dari para sastrawan yang menggunakan subjek kecintaan alam dan simpati terhadap rakyat miskin pada periode ini.
            Karya sastra pada era ini dibagi menjadi dua periode, yakni pre-romantis dan Romantis sendiri. Pre-romantis disini maksudnya adalah era peralihan dari periode Agustus menuju periode romantis.

2.4       Karya sastra pada periode pre-romantis
·         Puisi
Pada era ini, masih belum terlalu banyak para satrawan yang menunjukkan tendensi romantik. Ada sebagian dari mereka yang masih berpegang teguh pada norma-norma dan nilai-nilai yang dibentuk oleh para sastrawan pada era sebelumnya. Disisi lain, juga terdapat penyair-penyair yang mampu mengkombinasikan kedua gaya tersebut, diantaranya Thomas Gray (1716-1771), Oliver Goldsmith (1728-1774), William Cowper (1731-1800). Namun juga ada penyair yang menemukan sifat-sifat romantik sepenuhnya, seperti Robert Burns dan William Blake (1757-1827). (Samekto, 1974)
Dalam bukunya, Samekto (1974) menjelaskan bahwa Thomas Gray pernah belajar di Universitas Cambridge sekaligus menjadi guru besar disana. Karyanya yang berhasil mengkombinasikan tendesi-tendensi romantik dan sifat persajakan sebelumnya ialah “Elegy Written in a Country Churchyard” (1750). Pada karyanya yang ini, sajaknya merupakan pernyataan perasaan melankolis. Seperti halnya yang ada pada karya romantism, alam dan susasana pedesaan menjadi latar belakang alunan emosi. Selain itu, karya ini juga mengandung simpati pada rakyat pedesaan. Namun, gaya bahasa yang dipakainya tak belebihan, rapi, cermat, bersih. Ciri-ciri ini hanya dapat ditemukan pada karya sastra periode Agustusan. Maha karyanya ini digarap selama 9 tahun lamanya. Hal ini merupakan bukti bahwa ia benar-benar ingin membuat karya ini dengan sebaik-baiknya. Sajak lain yang ia tulis ialah “The Fatal Sisters” dan “The Descent of Odin”. Sajak-sajak tersebut menceritakan mitologi Skandinavia. Tendesi romantik dapat dilihat dengan jelas disini, dengan bagaimana Thomas menceritakan mitologi yang bukan merupakan mitologi klasik.
Pada lingkup puisi, Oliver Goldsmith dikenal dengan sajaknya “The Deserted Village”. Sajaknya ia tulis dengan mengikuti kaidah yang ada, yakni heroic couplet. Selain itu dalam pemilihan kata, ia juga masih menggunakan cara konvensionil. Unsur romantik terletak dalam pelukisan alam dan rasa simpatinya terhadap rakyat kecil di pedesaan. Sebenarnya, ia lebih dikenal dalam bidang prosa dan drama daripada puisi.
Dalam sajak William Cowper juga didapati unsur romantik, teradapat beberapa sajak yang memiliki unsur cinta pada alam, simpati terhadap rakyat kecil. Namun, sama halnya dengan cara Oliver Goldsmith, ia masih menggunakan kaidah lama dalam penulisannya, seperti heroic couplet dan gaya bahasa yang konvensionil. Karyanya antara lain ialah “John Gilpin” dan “The Task”. Karyanya “The Task” sangat dikenang dan sampai saat ini masih dinyanyikan di gereja-gereja. (Samekto, 1974)
Robert Burns ialah penyair yang terlahir dan besar di daerah pedesaan. Keluarganya bekerja sebagai petani. Ia dikenal sebagai penyair genius yang selalu mengandalkan instingnya dalam setiap pembuatan sajak-sajaknya. Puisinya yang berjudul “Heaven-taught Plowman” merupakan puisi yang spontan dan merupakan luapan perasaannya (Abrams, 2000). Selain itu, ia juga menggunakan bahasa daerahnya sendiri, yaitu dialek Skot. (Samekto, 1974) Disini dapat dilihat, bahwasannya Robert Burns benar-benar menerapkan unsur romantik pada puisinya. Sajaknya yang berlatar belakang alam diantaranya ialah “To a Mountain Daisy”, “Winter”, “Ye banks and braes o’ bonic Doon” dan “To a Mouse”. Kemudian “I Love my Jean” dan “To Mary in Heaven” merupakan karyanya yang bertema cinta yang keluar dari hati dan sekaligus langsung menyentuh hati. Selain itu, ia juga menciptakan sajak yang menceritakan kecintaanya pada tempat kelahirannya, hal ini menimbulkan adanya rasa patriotisme pada orang yang membacanya. Sajaknya antara lain adalah “Scots wha hae wi’ Wallace bled”. Lalu, ia juga memiliki sajak yang bertemakan rasa kemanusiaan dan penghargaannya terhadap individu, yakni “A man’s a man for a’ that” dan “Auld Lang Syne”.
William Blake adalah seorang penyair hebat sekaligus pelukis yang hebat.
Blake menemukan metode ukiran relief yang mampu menggabungkan puisi dan lukisannya sehingga mereka membentuk karya yang
menyatu (Buckley, 2005). Ia dikenal sebagai seorang yang mistik dan suka melihat khayalan-khayalan ghaib (visions) sejak kecil (Samekto, 1974).  Penulis biografinya, Bentley (2001), menceritakan, “Suatu hari ibunya memukulinya karena berlari masuk dan mengatakan bahwa dia melihat Nabi Yehuwa di bawah Pohon di Lapangan ”. bersama dengan penglihatannya yang luar biasa, Blake justru cenderung depresi berat (Buckley, 2005). Tak ayal, sajak-sajaknya penuh dengan lukisan alam denga segala penghuninya, termasuk makhluk halus. Bagi Blake, alam serta segala makhluk memiliki arti kosmis, yaitu segala sesuatunya berhubungan dengan yang lain sebagai again-bagian integral dari Tuhan dan juga dimana Tuhan bersemayam. Seperti halnya pada karyanya yang berjudul “Jerussalem” dan “Milton”. Karya tersebut sukar dipahami karena menurut keterangan Blake, sajak-sajak tersebut di dekte langsung oleh kekuatan-kekuatan ghaib. Selain itu, ia juga memiliki karya lain yang memiliki tendensi romantik seperti yang terhimpun dalam “Song of Innocence” dan “Song of Experience” (Samekto, 1974).

·         Prosa
Pada era transisi ini, mulai muncul jenis karya sastra baru, yakni novel. Novel adalah genre prosa yang menampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap, memiliki media yang luas, selain itu novel juga menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang paling luas. Pada umumnya sebuah novel bercerita tentang tokoh-tokoh dan kelakuan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, novel dikatakan genre yang paling sosiologis dan responsive sebab sangat peka terhadap fluktuasi sosiohistoris (Ratna, 2004:336).
Penulis novel pertama dalam sejarah kesusateraan Inggris ialah Samuel Richardson (1689-1761). Ia menemukan jenis novel secara kebetulan. Suatu hari ia diminta oleh penerbit untuk menulis “buku surat” yang dapat digunakan sebagai buku tuntunan dalam menulis surat. Kemudian, hasilnnya bukanlah surat lepas yang mudah digunakan sebagai contoh, melainkan serangkaian surat yang burhubungan satu sama lain dan keseluruhannya merupakan cerita. Judul dari novel Richardson ialah “Pamela, or Virtue Rewarded”. Novel ini diterbitkan dalam 4 jilid dan dikeluarkan berturut turutantara 1740-1741. Cerita dalam novel itu ialah kisah yang terjadi dalam didri seorang gadis pembantu rumah tangga yang mendapat dari godaan-godaan dari tuannya. Ia juga menulis novel lain yakni “Clarissa, or The History of a Young Lady” yang diterbitkan dalam 8 jilid dan terbit antara 1747-1748. Kemudian, novelnya yang terakhir ialah “Sir Charles Grandison” dalam 7 jilid. Richardon mengakui bahwa semua karyanya bertujuan untuk mengajarkan kebijakan dan tatakrama (Samekto, 1974).
Henry Fielding (1707-1754) menulis karya pertamanya pada tahun 1742, berjudul “Joseph Andrews”. Karya ini berisi tentang parodi dan ejekan yang mendapat godaan terhadap “Pamela”. Ceritanya mengenai seorang pembantu rumah tangga lelaki yang mendapat godaan dari majikan perempuannya. Novel yang ditulis oleh Fielding ini dipenuhi rasa humor, realistis dan bahkan kata-kata kasar, tanpa ulasan moral ataupun kebajikan tokoh ceritanya. Lalu, karya terbaiknya ialah “The History of Tom Jones a Foundling” (1749). Novel yang ini lebih baik dari yang pertama dalam hal rangka cerita maupun perwatakan. Teknik penulisan yang dugunakan oleh Fielding dalam penulisan novel berbeda dengan Richardson. Apabila Richardson manggunakan “teknik surat”, maka Fielding menggunakan “teknik mata Tuhan” (the eye of God technique). Dalam “teknik surat”, kisah diceritakan oleh tokoh cerita itu sendiri melalui surat-suratnya. Sedangkan “teknik mata Tuhan”, penulisnya berdiri diluar cerita, dan menceritakan tentang tokoh-tokoh serta segala peristiwa yang terjadi dalam cerita itu. Seolah-olah penulisnya mengetahui dan melihat segalanya, bagaikan Tuhan saja.
Samekto (1974) menambahkan, penulis novel lainnya yang memberikan kontribusi dalam pertumbuhan novel ialah Tolbiah Smollet (1721-1771), Lawrence Sterne (1713- 1768). karya-karya Smollet ialah “Roderick Random” (1748), “Peregrine Pickle” (1751) dan Humprey Clinker” (1771).  Masing-masing dari karya tersebut menceritakan tentang pengembaraan dan petualangan pelaku-pelakunya sehingga karya tersebut menyerupai “picaresque chronicle”. Teknik perwatakan sebagian tokoh-tokoh cerita Smollet mirip dengan yang digunakan Ben Johnson dalam “Every a Man in His Humour”, yaitu melebih-lebihkan sifat khas tokohnya sehingga menyerupai karikatur. Kemudian, ada juga sumbangsih Oliver Goldsmith dalam bidang prosa. Karyanya “The Vicar of Wakefield” (1766) bercerita tentang hidup rumah tangga seseorang rohaniawan bersahaja yang bahagia kemudian mengalami berbagai cobaan berat, namun tidak menggoyahkan iman kerokhaniawannya. Novel ini bebas dari nada sentimental ataupun nada kasar. Teknik yang digunakan oleh Goldsmith dan juga Smollet ialah “epistolary technique”, yaitu kisah diceritakan oleh penulisnya atau salah seorang tokoh ceritanya, sebagai penglaman sendiri kecuali ia bercerita langsung tanpa surat.

·         Drama
Sejumlah drama yang muncul pada periode ini bergenre komedi. Drama-drama tersebut diciptakan oleh Goldsmith da Brinsley Sheridan (1751-1816). Goldsmith menulis dua komedi, yakni “The Good Natured Man” (1768) dan “She Stoops to Conquer” (1773). Dramanya “The Good Natured Man” sukses menarik perhatian para audien saat ditampilkan di Taman Covent pada tahun 1768 (O'Shaughnessy, 2016). Sheridan menciptakan “The Rivals” (1775), “The School for Scandal” (1777), dan The Critic (1779). Menurut Samekto (1974), komedi yang diciptakan Sheridan penuh dengan dialog yang cemerlang seperti yang ada di periode Restorasi, namun tidak ada kata-kata cabul didalamnya. Kelemahan dari drama Sheridan ini terasa dangkal.

2.5       Karya sastra periode romantis
Pada periode ini, sastrawan sudah sepenuhnya menggunakan unsur romantik didalam karya sastranya.
·         Puisi
Disini, para sastrawan memberikan penekanan pada perasaan dan spontanitas pada setiap puisinya. Para penyair yang mahsyur pada era ini antara lain: William Wordswoth (1770-1850), Samuel Taylor Coleridge (1772-1854), Robert Southey (1774-1843), Lord Byron (1788-1824), Percy Byssge Shelley (1792-1822), John Keats (1795-1821), dan Walter Scott (1771-1832). (Samekto, 1974).
William Wordsworth lahir di Cockermouth, Kerajaan Inggris, 7 April 1770 dan meninggal di Cumberland, Inggris, 23 April 1850 pada umur 80 tahun (Mahyudi, 2015). Saat pecahnya revolusi perancis, ia pergi ke perancis untuk menggabungkan diri dengan kaum revolusioner ekstrim, namun rasa simpatinya berubah menjadi benci setelah terjadi ekses-ekses kekejaman dan mulai berkuasanya Napoleon. Namun ideal-ideal yang diperjuangkan Revolusi Perancis itu tetap menjiwainya. Hal ini Nampak pada karya-karya yang dihasilkannya. Subjek dari puisinya ialah kehidupan rakyat bersahaja, dan dinyatakan dalam bahasa yang bersahaja juga. Rasa kemanusiaan Wordswoth erat hubungannya dengan alam. Menurutnya, setiap ia merenungkan alam, ia selalu disadarkan akan kesengsaraan yang diderita manusia. Karyanya yang menceritakan rakyat bersahaja diantaranya: “The Solitarity Reaper”, “To a Highland Girl”, “Michael”, dan “Stepping Westward” (Samekto, 1974).
Selain adanya unsur alam yang melekat pada sajak-sajaknya, ada sebagian dari karyanya yang memiliki sangkut paut dengan hal-hal mistik, seperti milik Blake. Menurutnya, hidup di dunia ini hanyalah sekedar satu mata rantai dalam rangkaian eksistensi jiwa manusia yang abadi, sehingga anak lebih dekat dengan Tuhan daripada orang dewasa. Dekat dengan Tuhan berarti dekat dengan alam, maka dari itu anak seorang anak selalu berjiwa murni dan memiliki kebahagiaan sejati. Diantara karya-karanya yang menceritakan tentang anak dan alam ialah: “Tintern Abbey”, “The Rainbow”, “Ode to Duty”, dan “Intimations of Immortality from Recollections of Early Childhood” (Samekto, 1974). Karya lainnya yang terkenal terhimpun dalam Lyrical Ballads.  (1798)  (Mahyudi, 2015).
Samuel Taylor Coleridge adalah seorang penyair, kritikus, dan ahli filsafat berkebangsaan Inggris. Lahir pada tanggal 21 Oktober 1772 di Ottery St Mary di Britania Raya dan meninggal pada 25 Juli 1834 di Highgate, Britania Raya  (Mahyudi, 2015). Ia menulis “Ode on The Destruction of The Bastille” yang menceritakan suka citanya terhadap kebebasan. Pada sat itu ia sangat antusias dengan adanya Revolusi Perancis. Namun, pada akhirnya, ia mengalami kekecewaan terhadap Revolusi Perancis. Kekecewaannya itu dituangkan pada sajaknya “Ode to France”. Hampir sama dengan Wordswoth, meskipun kecewa, namun ideal Revolusi  Perancis masih terasa dalam penulisan sajaknya “Kubla Khan”, “Christabel”, dan “The Rime of The Ancient Mariner”. Selalin penuh dengan antusiasme pada kebebasan, karya-karya tersebut juga memiliki tendensi imajinasi dan memberikan kesan keghaiban. Sajak-sajak terbaiknya juga dihimpun di Lyrical Ballad bersama dengan milik Wordswoth (Samekto, 1974).
Penyair lain ialah Robert Southey. Ia merupakan penyair yang paling produktif terbukti dengan banyaknya tulisan yang dihasilkan, yaitu 109 jilid dan 150 artikel. Namun mutunya tidak lebih bagus dari kedua rekannya, Coleridge dan Wordswoth. Coleridge adalah penyair yang sangat kritis terhadap pemerintah Inggris dan perang yang mereka kejar terhadap Prancis. Puisi besar pertamanya adalah Joan of Arc, sebuah puisi epik dalam sepuluh buku yang mulai ditulisnya pada tahun 1793, dan diterbitkan pada tahun 1796. Puisi itu adalah tentang perang sebelumnya antara Britania dan Prancis, dan ia memihak pada sisi Prancis, dan sangat kritis terhadap Inggris. Dalam karyanya, ia menjunjung tinggi martabat manusia dengan simptinya terhadap rakyat kecil. Hal ini dapat dilihat dalam karyanya yang berjudul “The Scholar”, “The Incape Rock”, dan “The Well of St. Keyne” (Samekto, 1974). Southey memiliki daya tarik nyata dengan negara dan tempat yang jauh. Hal ini dapat dilihat dari puisi panjangnya, misalnya, Thalaba the Destroyer memiliki latar di Arab Saudi, Madoc dengan setting di Meksiko, dan The Curse of Kehama diatur di India.
George Gordon Byron (1788–1824), atau yang lebih dikenal sebagai Lord Byron adalah orang awal abad ke-19 dari seorang bintang rock bad-boy modern yang tampan, berbakat, kaya. Namun, tak banyak orang yang tau jika Byron adalah orang yang lumpuh kakinya.  Menurut Gamble (1974), di sepanjang hidup Byron, ia telah menulis beberapa puisi yang paling indah pada periode Romantis, diantaranya "Childe Harold's Pilgrimage", "Don Juan," dan lirik pendek seperti "She Walks in Beauty," dan "So, We’ll Go No More A Roving. Dia memiliki sifat emosional, sensitif, dan keras kepala. Bahkan ia tak segan-segan memberontak masyarakat. Byron sangat membenci penindasan, maka dari itu, ia sering menyuarakan ketidakpuasannya terhadap Revolusi Perancis. Jiwa pemberontak tersebut dapat diketahui di karya sastranya yang berjudul “English Bards and Scotch Reviewer”. Karya satire ini ditulis dalam bentuk heroic couplet dan isinya merupakan penyerangan habis-habisan terhadap orang yang mengkritik karyanya yang pertama yakni “Hours of Idleness”. Selain puisi ia juga menulis drama yang berjudul "Manfred" dan “Cain” (Samekto, 1974)
Percy Bysshe Shelley dilahirkan sebagai pewaris perkebunan kaya dan putra seorang Anggota Parlemen.  Pada tahun 1810, ia pergi ke University College, Oxford untuk menimba ilmu disana (Poemhunter.com, 2004). Seperti halnya Byron, Shelley adalah seorang penyair yang suka memberontak. Ia memberontak atas alasan perikemanusiaan dan atas dasar cita-cita untuk membangun masyarakat baru yang bahagia, bebas dari penindasan, dan diliputi rasa persaudaraan sehingga lembaga konvensionil tidak diperlukan lagi. Dalam jiwa Shelley terdapat jiwa yang selalu sadar akan suatu ideal, dan ia menyadari bahwa mengejar ideal adalah perbuatan yang sia-sia. Hal ini dapat dilihat pada karyanya yang berjudul “Alastor, or The Spirit of Solitude” (1816). Dalam karyanya tersebut, ia menceritakan rasa kegagalannya dalam mengejar ideal. Selain menulis sajak, ia juga menulis drama lirik “Prometheus Unbound” (1818-1820). Isi dari karya tersebut ialah pernyataan seorang revolusioner yang ingin menjebol tata masyarakat yang ada dan membangun masyarakat baru. Karyanya yang lain ialah “Adonais” yang berisi curahan rasa sedih atas meninggalnya John Keats. Kemudian ia juga menulis lirik-lirik pendek seperti “Ode to The West Wind”, “To A Skylark”, yang menyatakan cintanya pada alam (Samekto, 1974).
John Keats lahir di London, Inggris, pada 31 Oktober 1795, John Keats mengabdikan hidupnya yang pendek untuk kesempurnaan puisi yang ditandai dengan pencitraan yang hidup, daya tarik sensual yang hebat, dan upaya untuk mengekspresikan filsafat melalui legenda klasik. Dia pernah mengenyam pendidikan medis sebagai ahli bedah. Dia akhirnya belajar kedokteran di rumah sakit London dan menjadi apoteker berlisensi pada tahun 1816. Tetapi karir Keats dalam dunia kedokteran tidak pernah benar-benar terjadi. Bahkan ketika dia belajar kedokteran, keterikatan Keats pada sastra dan seni tidak pernah berhenti. Melalui temannya, Cowden Clarke, yang ayahnya adalah kepala sekolah di Enfield, Keats bertemu penerbit, Leigh Hunt of The Examiner. Pada tahun 1813 ia pernah di penjara karena menghina Pangeran Regent, George IV (Editors, 2014).
Seseorang yang sangat berjasa pada Keats dalam perjalanan kariernya ialah temannya, Hunt. Melalui Hunt, Keats diperkenalkan ke dunia politik dan sangat memengaruhi apa yang ia masukkan dalam karyanya. Selain itu, Hunt juga memperkenalkan penyair muda itu kepada sekelompok penyair Inggris lainnya, termasuk Percy Bysshe Shelley dan Williams Wordsworth. Pada tahun 1817, Keats memanfaatkan persahabatan barunya untuk menerbitkan volume puisi pertamanya, “Poems” oleh John Keats. Tahun berikutnya, Keats menerbitkan "Endymion," sebuah puisi sepanjang empat ribu baris yang didasarkan pada mitos Yunani (Editors, 2014). Selanjutnya, Keats menerbitkan "Isabella," sebuah puisi yang menceritakan kisah seorang wanita yang jatuh cinta dengan seorang pria di bawah kedudukan sosialnya. Dari sini Nampak jelas bahwa subjek puisi hanyalah perasaan individu dan keindahan dunia fisik. Selain itu, ia juga menulis beberapa sajak dengan nada melankolis, kecenderungan tersebut terungkap dalam liriknya “The Ode on a Grecian Urn”, “Ode to A Nightingale”, dan “Ode to Autumn”. Tak hanya itu, ia juga menulis sajak panjang “Hyperion” dan “The Eve of St. Agnes” yang memiliki tema klasik di zaman pertengahan. (Samekto, 1974).
Walter Scott ialah penyair yang tidak menjadikan Revolusi Perancis sebagai motivasinya dalam berkreasi. Bahkan yang menjadi subjek dari karyanya adalah tanah kelahirannya sendiri, Skotlandia. Sajak Scott yang pertama ialah “The Lay of The Last Minstrel” (1805) yang merupakan romance sejarah. Sebelumnya, ia juga pernah menulis balada Skotlandia kuno, seperti “Minstresly of The Scottish Border”. Selanjutnya, sajak panjang yang ia tulis ialah “Marmion” dan “The Lad of The Lake”. Sajak-sajak tersebut penuh gerak, watak-watak kepahlawanan dan peristiwa yang menegangkan, tanpa imajinasi yang melambung namun memiliki bahasa yang sulit dipahami (Samekto, 1974).

·         Prosa
Hasil karya prosa tidak sebanyak puisi pada masa ini. Prosa yang muncul pada zaman ini mayoritas ialah prosa non-fiksi, diantaranya seperti sejarah, biografi, kritik sastra, pembahasan ilmiah, keagamaan, essay dan sebagainya. Prosa yang terkenal pada era ini ialah “Essays of Elia” karangan Charles Lamb. Lamb juga menulis “Tales from Shakespeare”. Selain Lamb ad juga Thomas de Quincey yang menulis autobiografi “Confessions of an English Opium Eater”. Lalu “Lectures on The English Poets” dan “The Character’s of Shakespeare’s Plays”.
Dalam bidang novel, terdapat novel-novel Walter Scott yang disebut “romance historis”. Disebut seperti itu karena para tokoh serta adegannya diambil dari masa lampau dan tidak semuanya dari sejarah yang sungguhan. Diantara karyanya ialah “Guy Mannering” (1815), “The Heart of Midlothian” (1818). “The Bride of Lammermoor” (1819), “Ivanhoe” (1820), dan “The Talisman (1825)”.
Selain adanya novel yang romantik, ada juga novel yang berbau mistik dan mengerikan. Sebagai contoh “The Castle of Otranto” oleh Horace Walpole, “The Mysteries of Uldopho” oleh Anne Radcliffe. Karya semacam ini disebut “Terror Novels”. Genre lainnya terdapat pada novel karangan Jane Austen “Northanger” (1798), “Sense and Sensibility” (1798), Pride and Prejudice (1797), “Mansfiels Park” (1814), “Emma” (1816), dan Persuasion” (1816) (Samekto, 1974).

·         Drama
Pada periode ini, tidak ada karya drama ciptaan baru yang benar-benar berhasil. Sebenarnya, ada penulis yang mengarang drama namun tidak sukses. Menurut Samekto (1974), adanya kemunduran drama dimungkinkan bahwa golongan menengah ynag tidak menghargai drama sebagai suatu seni. Bagi golongan menengah pada era tersebut, rumah adalah pusat segala aspek kehidupan sosial, sehingga jenis karya sastra sastra yang digandrungi adalah jenis karya sastra yang dapat dinikmati di rumah, seperti halnya novel.










BAB III
PENUTUP
3. 1      Kesimpulan
Periode Romantis terjadi diantara akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19. Disebut sebagai era romantis bukan berarti seluruh karya sastra dalam era ini tentang sesuatu yang berhubungan persoalan cinta, asmara atau ketertarikan antara laki-laki dan perempuan. Namun periode ini disebut sebagai era romantis karena pada periode ini ide karya sastranya didominasi dengan unsur-unsur seperti imajinasi, kebebasan mengeluarkan pendapat (berekspresi), dan idealisme. Dalam penulisan karya sastra, para sastrawan tidak lagi menggunakan kaidah standar yang dibuat oleh para penyair periode Agustus. Para sastrawan yang terkenal di bidang puisi yakni: William Wordswoth, Samuel Taylor Coleridge, Robert Southey, Lord Byron, Percy Byssge Shelley, John Keats, dan Walter Scott. Sedangakan sastrawan pada prosa: Charles Lamb, Thomas de Quincey,Walter Scott, Horace Walpole, dan Anne Radcliffe.





 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abrams, M. H. (2000). The Northon Anthology of English Literature. New York: W. W. Northon & Company, Inc.
BBC. (2014). BBC . Retrieved from George IV: http://www.bbc.co.uk/history/historic_figures/george_iv_king.shtml
Buckley, P. J. (2005). William Blake. Am J Psychiatry, 1.
Editor. (n.d.). Wikiwand. Retrieved from George IV dari Britania Raya: http://www.wikiwand.com
Editors, B. (2014, April). John Keats Biography. Retrieved from The Biography.com website: https://www.biography.com/people/john-keats-9361568
Julio, E. (2017, January). Okezone.com. Retrieved from Historipedia: Wafanya Raja George III: http://www.news.okezone.com
McMichael, G. 1989. Anthology of American Literature, Volume I: Colonial through Romantik. New York. Macmillan USA.
Mahyudi, J. (2015). Jejak Wordsworth, Coleridge, dan Shelley pada Sejumlah Sajak Chairil Anwar yang dilengkapi Nama Wanita. LINGUA.
O'Shaughnessy, D. (2016). Oliver Goldsmith. Dublin: The University of Dublin.
Poemhunter.com. (2004). Percy Bysshe Shelley. The World's Poetry Archive.

Pranachitra, B. 2010. Representasi Byronic Hero Dalam Novel Mary Shelley Frankestein Karya Mary Shelley. Tesis. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Ratna, Nyoman Khuta. 2004. Teori Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Denpasar: Pustaka Pelajar.
Redaksi. (2016, October). Metro24. Retrieved from Jejak Waktu Hari ini: Raja George III Memerintah Inggris dan Irlandia: http://www.metro24.com
Samekto. (1974). Ikhntisar Sejarah Kesusasteraan Inggris. Jakarta: PT Gramedia.
Sugiarti. 2004. Dasar - Dasar Kesastraan. Malang: UMM Press
Susilawati, M. (2010, May). General Information. Retrieved from Revolusi Perancis: https://meiharls.blogspot.com

 Thoslev, Jr. 1964. The Byronic Hero: Types and Prototypes. Pennsylvania. Penn State University Press.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian, Syarat, dan Metode Tahammul wal Ada'

Pengertian Tahammul wa al-Ada’           Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan hadits dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadits.[1] Muhammad ‘Ajaj al-Khatib memberikan defenisi dengan kegiatan menerima dan mendengar hadits.[2] Jadi tahammul adalah proses menerima periwayatan sebuah hadits dari seorang guru dengan metode-metode tertentu. Al-‘Ada adalah kegiatan meriwayatkan dan menyampaikan hadits.[3] Menurut Nuruddin ‘Itr adalah menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada orang lain.[4] Jadi al-‘ada adalah proses menyampaikan dan meriwayatkan hadits. At-Tahammulal-Hadist        Menurut bahasa tahammul merupakan masdar dari fi’il madli tahmmala ( ﺗَﺤَﻤَّﻞَ - ﻳَﺘَﺤَﻤَّﻞُ - ﺗَﺤَﻤُﻼ ) yang berarti menanggung , membawa, atau biasa diterjemahkan dengan menerima. Berarti tahammul al-hadits menurut bahasa adalah menerima hadits atau menanggung hadits. Sedangkan tahammul al-hadits menurut istilah ulama ahli hadits, sebagaima

MAKALAH Hadits menurut segi kuantitas rawi (Mutawatir dan Ahad); segi kualitas Rawi (Shahih, Hasan dan Dhaif) LENGKAP

BAB I PENDAHULUAN 1.1      Latar Belakang Seperti yang telah diketahui, hadits diyakini sebagai sumber ajaran Islam setelah kitab suci Al-Quran. Hadits merupakan segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW. baik berupa ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum dan ketentuan Allah yang disyari’atkan kepada manusia. Selain itu, hadits juga dibutuhkan manusia untuk mengetahui inti-inti ajaran dalam Al-Quran. Jika ayat-ayat dalam Al-Quran mutlak kebenarannya, berbeda dengan hadits yang bisa saja belum jelas periwayatannya, hadits tersebut benar berasal dari Nabi Muhammad SAW. atau bukan. Ditinjau dari segi kuantitasnya, hadits dibagi menjadi mutawatir dan ahad. Sedangkan ditinjau dari segi kualitasnya, hadits terbagi menjadi dua yaitu, hadits Maqbul (hadits yang dapat diterima sebagai dalil) dan hadits Mardud (hadits yang tertolak sebagai dalil). Hadits Maqbul terbagi menjadi dua yaitu hadits Shahih dan Hasan, sedangkan yang termasuk dalam ha

Language Varieties (Dialect, Styles, Slang word, Registers)

Language Varieties Group 6 Rizal Fachtur Hidayat (16320017) Balqist Hamada (16320021) Sheni Diah Safitri (16320052) Dhimas Muhammad I. J. (16320053) Yoshi Nur Rahmawati (16320096) Nikma Hidayatul Khasanah (16320101) Audy Oktaviani A. I. (16320140) Roby Inwanuddin Affandi (16320220) Wahida Camelia (16320228) Language Varieties Language varies from one social group to another social group, from one situation to another situation, and from one place to another place. Variation shows that every speaker does not speak the same way all the time. Language varieties indicate that the speakers are distinct from members of other groups (Finegan, 2008) . Language variety that signifies particular situations of use is called registers, it is appropriate for use in particular speech situations. There are some examples of language variations that are of interest to linguist according to   (Akmajian, 1998) , lingua francas, pidgins, creoles, jargon, sl