Puasa
Puasa
dalam bahasa Arab (صوم /shaum) berarti “Menahan Diri” dari makan dan minum serta dari semua
perkara yang dapat membatalkan puasa mulai dari terbit fajar shidiq (subuh)
sampai terbenam matahari (maghrib).
Syarat Wajib Puasa
Syarat
wajib dalam melaksanakan ibadah puasa ramadhan
adalah :
1.
Beragama Islam
2.
Baligh dan berakal
3.
Suci dari Haid dan Nifas
4.
Mampu ( ada kekuatan )
Syarat Sah Puasa
Syarat
sah dalam melaksanakannya adalah :
1.
Islam
2.
Mumayyiz, dapat membedakan mana
yang baik dan buruk
3.
Suci dari haid dan nifas
4.
Tidak dilaksanakan pada hari-hari
yang dilarang, yaitu diluar bulan ramadhan.
Rukun Puasa
Mengucapkan
niat berpuasa ramadhan mulai terbenam matahari hingga sebelum fajar shadiq.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Ummul Mukminin Hafsah Ra :
“Barang
siapa yang tidak menetapkan puasa sebelum fajar, maka tiada sah puasanya”
Hal (perkara) Yang Dapat
Membatalkan Puasa
1. Makan Dan Minum Disengaja
Memasukan benda baik berupa makanan atau minuman atau benda lain kedalam mulut atau salah satu dari lubang lain dalam anggota tubuh secara sengaja yang menyebabkan makanan atau benda tersebut masuk kedalam perut (lambung) tidak termasuk jika tidak disengaja
1. Makan Dan Minum Disengaja
Memasukan benda baik berupa makanan atau minuman atau benda lain kedalam mulut atau salah satu dari lubang lain dalam anggota tubuh secara sengaja yang menyebabkan makanan atau benda tersebut masuk kedalam perut (lambung) tidak termasuk jika tidak disengaja
2. Jima’
Melakukan jima’ siang hari dengan sengaja baik dengan istri atau suami termasuk dengan siapapun baik keluar mani atau tidak maka puasanya batal
Melakukan jima’ siang hari dengan sengaja baik dengan istri atau suami termasuk dengan siapapun baik keluar mani atau tidak maka puasanya batal
Bagi mereka yang berniat puasa pada
malam harinya lalu pada siang harinya melakukan hal itu maka diwajibkan
§ Meng-qadha
(mengganti) dan membayar kafarat dengan memerdekakan budak sebagai hukuman yang
setara, jika tidak mampu
§ Mengganti
puasa diluar bulan ramadhan selama 2 bulan berturut-turut, jika tidak mampu
§ Membayar
fidyah untuk 60 orang fakir miskin, jika tidak mampu
§ Tetap
menjadi tanggungan dan wajib membayar setelah mampu
3. Mengeluarkan Mani Dengan Sengaja
Mengeluarkan dengan sengaja misalnya dipelintir-pelintir, berhayal yang disengaja sampai keluar sperma dapat membatalkan puasa, tidak termasuk jika bermimpi.
Mengeluarkan dengan sengaja misalnya dipelintir-pelintir, berhayal yang disengaja sampai keluar sperma dapat membatalkan puasa, tidak termasuk jika bermimpi.
4. Muntah Disengaja
Muntah disengaja seperti memasukan jari kedalam kerongkongan agar muntah, tapi tidak termasuk muntah karena sakit atau mabuk perjalanan
Muntah disengaja seperti memasukan jari kedalam kerongkongan agar muntah, tapi tidak termasuk muntah karena sakit atau mabuk perjalanan
5. Haid Dan Nifas
Bag wanita yang sedang haid atau nifas (melahirkan) tidak diperbolehkan puasa sampai sampai bersih dari haidnya
Bag wanita yang sedang haid atau nifas (melahirkan) tidak diperbolehkan puasa sampai sampai bersih dari haidnya
6. Memasukkan Jarum suntik
Masukan suatu hal dalam tubuh melalui jarum suntik yang bertujuan untuk mengenyangkan, biasa membatalkan puasa, namun ada beda pendapat tentang hal hani.
Masukan suatu hal dalam tubuh melalui jarum suntik yang bertujuan untuk mengenyangkan, biasa membatalkan puasa, namun ada beda pendapat tentang hal hani.
7. Gila (hilang akal)
Orang yang mengalami kegilaan tidak diwajibkan berpuasa, jika sedang berpuasa lalu tiba-tiba mengalami gila puasanya batal
Orang yang mengalami kegilaan tidak diwajibkan berpuasa, jika sedang berpuasa lalu tiba-tiba mengalami gila puasanya batal
8. Memasukan Benda melalui Kubul
dan Dhubur
Sengaja memasukan benda padat atau cair melalui kedua lubang (dubur atau qubul) dapat membatalkan puasa, sebaiknya hindari buang angin didalam air yang bisa menyebabkan air masuk
Sengaja memasukan benda padat atau cair melalui kedua lubang (dubur atau qubul) dapat membatalkan puasa, sebaiknya hindari buang angin didalam air yang bisa menyebabkan air masuk
9. Menghisab asap rokok Dengan
Sengaja
Saat melaksanakan puasa lalu merokok maka batal puasanya, karena asab rokok termasuk benda (ain) yang bisa masuk kedalam lambung keculi mencium wangi-wangian
Saat melaksanakan puasa lalu merokok maka batal puasanya, karena asab rokok termasuk benda (ain) yang bisa masuk kedalam lambung keculi mencium wangi-wangian
ari A’isyah radhiyallahu ‘anha,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من مات وعليه صيام صام عنه وليُّه
“Siapa yang meninggal dan dia masih
memiliki tanggungan puasa maka walinya wajib
mempuasakannya.” (HR.
Bukhari 1952 dan Muslim 1147) hadis di atas
menunjukkan bahwa ketika ada seorang muslim yang memiliki hutang puasa dan
belum dia qadha hingga meninggal maka pihak keluarga (wali) orang ini
berkewajiban mempuasakannya.
Pendapat pertama menyatakan bahwa
kewajiban mengqadha utang puasa mayit berlaku untuk semua puasa wajib. Baik
puasa ramadhan, puasa nadzar, maupun puasa kaffarah. Ini adalah pendapat
syafiiyah dan pendapat yang dipilih Ibnu Hazm. Dalil pendapat ini adalah hadis
A’isyah di atas, yang maknanya umum untuk semua utang puasa.
Pendapat kedua, bahwa kewajiban
mengqadha utang puasa mayit, hanya berlaku untuk puasa nadzar, sedangkan utang
puasa ramadhan ditutupi dengan bentuk membayar fidyah. Ini adalah pendapat
madzhab hambali,
LANSIA
Dan berdasarkan pada dalil dan riwayat yang dijelaskan
di atas , para Ulama bersepakat bahwa orang tua yang telah lansia mendapatkan
keringanan bahkan boleh untuk tidak menjalankan puasa di bulan Ramadhan . Serta
bersepakat bahwa orang yang tua renta tidak memiliki kewajibn untuk mengqada
puasa yang di tinggalkan di hari lain melainkan mengganti puasanya dengan
membayar fidyah .
Fidyah , yaitu memberi makan kepada orang
miskin selama jumlah hari tidak berpuasa . Ukuran fidyah yaitu satu sho’ bahan
pokok seperti kurma , gandum , beras dan bahan pokok lainnya .
Musafir
Musafir, orang yang melakukan
perjalanan jauh dibolehkan berbuka dan tidak diwajibkan berpuasa, berdasarkan
dalil Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’. Allah ta’ala berfirman,
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ
أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka siapa diantara kalian yang
sakit atau dalam perjalanan jauh (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain (di
luar Ramadhan).” [Al-Baqoroh:
184]
Apakah musafir boleh berpuasa?
1) Apabila
musafir berpuasa akan membahayakannya atau sangat memberatkannya maka hukumnya
haram,
2) Apabila
musafir berpuasa akan memberatkannya, namun ia masih mampu untuk berpuasa maka
hukumnya makruh,
3) Apabila
musafir berpuasa tidak membahayakannya dan tidak pula memberatkannya, atau
kondisinya sama saja, baik berbuka atau berpuasa tidak ada bedanya, maka boleh
baginya untuk berpuasa dan boleh berbuka,
Kesepuluh: Apa Kewajiban Musafir yang Tidak Berpuasa?
Kewajibannya hanyalah meng-qodho’ sejumlah hari yang ia tidak berpuasa
padanya di bulan Ramadhan, sebagaimana firman Allah ta’ala,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ
أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Dan siapa yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari
yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” [Al-Baqoroh:
185]
Hukum Islam
Wanita menyusui dan hamil ada
dua kondisi;
1. Jika
tidak ada pengaruh kesehatan bagi janin dan bayinya saat bepuasa dan tidak
kesulitan baginya untuk berpuasa serta tidak dikhawatirkan terhadap anaknya,
maka wajib baginya berpuasa, dan dia tidak boleh berbuka.
2. Jika
khawatir terhadap dirinya atau anaknya jika berpuasa, atau dirinya akan sangat
payah. Maka dia boleh berbuka dan mengqadha hari-hari yang dia berbuka.Dalam kondisi seperti ini, lebih utama baginya
jika berbuka dan makruh berpuasa. Bahkan sebagian ulama menyebutkan bahwa jika
dia khawatir terhadap anaknya, wajib baginya berbuka dan haram baginya
berpuasa.
Pendapat Ulama
o Wanita
Hamil dan Menyusui yang Khawatir Keadaan Dirinya Saja Bila Berpuasa.
Dalam keadaan ini maka wajib untuk mengqadha (tanpa fidyah) di hari yang lain ketika telah sanggup berpuasa. Keadaan ini disamakan dengan orang yang sedang sakit dan mengkhawatirkankeadaan dirinya. Sebagaimana dalam ayat, “Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (Qs. Al Baqarah (2): 184)
Dalam keadaan ini maka wajib untuk mengqadha (tanpa fidyah) di hari yang lain ketika telah sanggup berpuasa. Keadaan ini disamakan dengan orang yang sedang sakit dan mengkhawatirkankeadaan dirinya. Sebagaimana dalam ayat, “Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (Qs. Al Baqarah (2): 184)
- Wanita Hamil dan Menyusui yang Khawatir Keadaan Dirinya dan Buah Hati Bila Berpuasa. Pada situasi ini, wanita hamil dan menyusyi wajib mengqadha (saja) sebanyak hari-hari puasa yang ditinggalkan ketika sang ibu telah sanggup melaksanakannya. Imam Nawawi mengatakan: “Para sahabat kami (ulama Syafi’iyah) mengatakan, ‘Orang yang hamil dan menyusui, apabila keduanya khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya, maka dia berbuka dan mengqadha. Tidak ada fidyah karena dia seperti orang yang sakit dan semua ini tidak ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah). Apabila orang yang hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya akan membahayakan dirinya dan anaknya, maka sedemikian pula (hendaklah) dia berbuka dan mengqadha, tanpa ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah).’” (al-Majmu’: 6/177)
o Wanita
Hamil dan Menyusui yang Mengkhawatirkan Keadaan Buah Hati saja.
Jadi sebenarnya ia mampu untuk berpuasa, namun karena menurut pengalaman atau menurut keterangan dokter akan berbahaya bagi sang bayi jika ia berpuasa, sehingga ia tidak berpuasa. Dalam hal ini ulama berbeda pendapat tentang hukumnya: Syaikh Bin Baz dan Syaikh As-Sa’di berpendapat bahwa wanita hamil atau menyusui ini disamakan statusnya sebagaimana orang sakit, sehingga ia hanya wajib mengqadha puasanya saja. Dalil yang digunakan adalah Qs. Al Baqarah (2):184.
Jadi sebenarnya ia mampu untuk berpuasa, namun karena menurut pengalaman atau menurut keterangan dokter akan berbahaya bagi sang bayi jika ia berpuasa, sehingga ia tidak berpuasa. Dalam hal ini ulama berbeda pendapat tentang hukumnya: Syaikh Bin Baz dan Syaikh As-Sa’di berpendapat bahwa wanita hamil atau menyusui ini disamakan statusnya sebagaimana orang sakit, sehingga ia hanya wajib mengqadha puasanya saja. Dalil yang digunakan adalah Qs. Al Baqarah (2):184.
o Ibnu
Abbas dan Ibnu ‘Umar ra. serta Syaikh Salim dan Syaikh Ali Hasan
berpendapat bahwa wanita hamil atau menyusui yang khawatir akan bayinya, wajib
membayar fidyah saja. Dalil yang digunakan adalah sama sebagaimana dalil para
ulama yang mewajibkan qadha dan fidyah, yaitu perkataan, “Wanita hamil dan menyusui, jika takut terhadap anak-anaknya, maka
mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin.” (HR. Abu Dawud)
eskipun demikian, Asep
menambahkan, Islam memberikan keringanan kepada wanita hamil, dan menyusui
untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan, dengan kewajiban menggantinya pada
hari lain setelah Ramadhan berlalu.
Mengenai ibadah pengganti puasa yang ditinggalkan pada bulan Ramadhan itu, ada dua macam tergantung alasan pertimbangannya. “Kalau wanita hamil atau menyusui itu tidak berpuasa karena khawatir tentang dirinya sendiri, maka dia hanya wajib mengganti puasanya. Sedangkan kalau dia tidak berpuasa karena mengkhawatirkan dirinya dan bayi yang dikandungnya atau anak yang disusuinya, maka dia wajib membayar puasa dan kifarat (denda) berupa fidyah,” papar Asep Abdul Wadud
Mengenai ibadah pengganti puasa yang ditinggalkan pada bulan Ramadhan itu, ada dua macam tergantung alasan pertimbangannya. “Kalau wanita hamil atau menyusui itu tidak berpuasa karena khawatir tentang dirinya sendiri, maka dia hanya wajib mengganti puasanya. Sedangkan kalau dia tidak berpuasa karena mengkhawatirkan dirinya dan bayi yang dikandungnya atau anak yang disusuinya, maka dia wajib membayar puasa dan kifarat (denda) berupa fidyah,” papar Asep Abdul Wadud
Read more https://konsultasisyariah.com/19414-meninggal-dan-masih-punya-hutang-puasa.html
Read more https://konsultasisyariah.com/19414-meninggal-dan-masih-punya-hutang-puasa.html
Read more https://konsultasisyariah.com/19414-meninggal-dan-masih-punya-hutang-puasa.html
Komentar
Posting Komentar