Langsung ke konten utama

SUMBER HUKUM ISLAM



A. Al Qur’an
Al Qur’an berisi wahyu-wahyu dari Allah SWT yang diturunkan secara berangsur-angsur (mutawattir) kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Al Qur’an diawali dengan surat Al Fatihah, diakhiri dengan surat An Nas. Membaca Al Qur’an merupakan ibadah.
Al Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang utama
Isi pokok Al Qur’an
Akidah
Al-Qur’an mengajarkan akidah tauhid kepada kita yaitu menanamkan keyakinan terhadap Allah SWT yang satu yang tidak pernah tidur dan tidak beranak-pinak.
Ibadah
ibadah adalah segala bentuk ketaatan yang dijalankan atau dikerjakan untuk mendapatkan ridho dari Allah SWT.
akhlak
Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memperbaiki akhlak
Hukum
Hukum dalam islam berdasarkan Al-Qur’an ada beberapa jenis atau macam seperti jinayat, mu’amalat, munakahat, faraidh, dan jihad.

Sunnah
Sunnah dalam istilah ulama ushul adalah apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW., baik dalam bentuk perkataan, perbuatan maupun pengakuan Nabi SAW.
Sebagaimana pengertian yang telah diungkapkan diatas, maka dari segi materinya, Sunnah menurut pengertian ahli ushul terbagi menjadi 3 (tiga) macam :
Sunnah Qauliyah, yaitu ucapan Rasulullah SAW yang didengar oleh sahabat beliau dan disampaikannya kepada orang lain. Contohnya, sahabat berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Menuntut Ilmu itu wajib bagi muslim laki-laki dan perempuan”.
Sunnah Fi’liyah, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW yang dilihat atau diketahui oleh sahabat kemudian disampaikannya kepada orang lain. Contohnya, Sahabat berkata: “Saya melihat Rasulullah SAW melakukan sholat sunnat dua raka’at sesudah shalat dzuhur.”
Sunnah Taqririyah, yaitu perbuatan sahabat yang dilakukan dihadapan atau sepengetahuan Rasulullah SAW. tetapi tidak dicegah oleh Rasulullah SAW. Diamnya Rasulullah SAW tersebut disampaikan sahabat kepada yang lainnya. Umpamanya seorang sahabat memakan daging dab dihadapan Rasulullah SAW., sehingga Rasulullah SAW mengetahui apa yang dimakan sahabatnya tersebut, tetapi Rasulullah SAW tidak melarangnya. Kisah tersebut disampaikan sahabat kepada lainnya dengan ucapan: “Saya melihat seorang sahabat memakan dab di dekat Nabi, Nabi mengetahui tetapi Nabi tidak melarangnya.”
Ijma’ (Konsensus)
Ijma’ adalah kesepakatan para mujahid dari umat Islam atas hukum syara’ (mengenai suatu masalah) pada suatu masa sesudah Nabi Muhammad SAW wafat
Adapun kriteria Ijma' menurut sebagian ulama ushul adalah :
(a) Kesepakatan sekelompok fuqaha/ulama;
(b) Pada kurun waktu tertentu; dan
(c) Di ruang lingkup suatu wilayah atau kawasan tertentu pula.

Qiyas (Analogi)
Qiyas secara etimologi berarti "ukuran", "mengetaui ukuran sesuatu", "membandingkan" atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Adapun pengertian Qiyas secara terminologis, menurut Hanafi, Qiyas ialah "mempersamakan hukum suatu perkara yang belum ada ketentuan hukumnya dengan perkara yang sudah ada ketentuan hukumnya karena adanya segi-segi persamaan alam antara keduanya yang disebut illat."
Adapun rukun Qiyas itu ada empat, yaitu :
(1) Ahad (pokok), yaitu masalah yang menjadi ukuran atau tempat menyerupakan. Menurut fuqaha, ashl adalah suatu peristiwa yang sudah ada nash-nya yang dijadikan tempat meng-qiyas-kan. Sedangkan menurut hukum teolog adalah suatu nash syara' yang menunjukkan ketentraman hukum, dengan kata lain, suatu nash yang menjadi dasar hukum. Ashl
"Siapa yang ditanya tentang (hukum) suatu masalah, seyogianya ia memberikan fatwa berdasarkan hukum yang ada dalam Kitab Allah. Kalau
dapat juga disebut dengan Maqis Alaih (yang dijadikan tempat meng-qiyas-kan). Dalam contoh diatas adalah khamar.
(2) Far'u (cabang), yaitu masalah atau peristiwa yang tidak ada nash-nya Far'u itulah yang hendak untuk disamakan hukumnya dengan ashl. Far'u ini dinamakan juga dengan Maqis (yang dianalogikan) dan Musyah (yang diserupakan) dalam contoh diatas adalah nabidz.
(3) Hukum ashl, yaitu hukum syara' yang ditetapkan oleh suatu ash. Dalam hal diatas ialah hukum haram. (4) Illat, yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl. Illat menurut ahli ushul fiqh ialah "mempersamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nasnya dengan hukum yang sudah ada nasnya lantaran adanya persamaan illat hukumnya. Dalam contoh diatas ialah memabukan.


Pengertian Istihsan
Secara etimologi, istihsan berarti “menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu”
“Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali (yang jelas) kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan yang kulli (umum) kepada ketentuan yang sifatnya istisna’i (pengecualian), karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan tersebut.
Dari pengertian tersebut jelas bahwa istihsan ada dua, yaitu sebagai berikut:
Menguatkan Qiyas Khafi atas qiyas jali dengan dalil. Misalnya, menurut ulama Hanafiyah bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Qur’an berdasarkan istihsan, tetapi haram menurut qiyas.
–          Qiyas: wanita yang sedang haid itu di qiyaskan kepada orang junub dengan illat sama-sama tidak suci. Orang junub haram membaca Al-Qur’an, maka orang yang Haid haram membaca Al-Qur’an.
–          Istihsan: haid berbeda dengan junub karena haid waktunya lama. Oleh karena itu, wanita yang sedang haid dibolehkan membaca Al-Qur’an, sebab bila tidak, maka haid yang panjang itu wanita tidak memperoleh pahala ibadah apapun, sedang laki-laki dapat beribadah setiap saat.

Istishab
Istishab adalah melanjutkan berlakunya hukum yang sudah ada dan sudah ditetapkan ketetapan hukumnya, lantaran sesuatu dalil sampai ditemukan dalil lain yang mengubah ketentuan hukum tersebut.
Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya. Contohnya adalah sebagai berikut:­­ Seseorang yang mulanya ada wudhu, kemudian datang was-was dalam hatinya, bahwa boleh jadi dia telah mengeluarkan angin yang membatalkan wudhunya. Dalam kondisi begini, hendaklah ia menetapkan hukum semula, yaitu ada wudhu. Dan was-was yang datang belakangan itu, tidak boleh mengubah hukum yang semula.
Macam-macam Istishab
Istishab hukm al- ibahah al ashliyah. Maksudnya, menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh, selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Contohnya: seluruh pepohonan yang ada dihutan merupakan milik bersama manusia dan masing-masing berhak menebang dan mengambil manfaatkan pohon dan buahnya, sampai pada bukti yang menunjukkan bahwa hutan itu telah menjadi milik orang.
Istishab Al-Bara`at Al Ashliyat. Yaitu kontinuitas hukum dasar ketiadaan berdasarkan argumentasi rasio dalam konteks hukum-hukum syar’i.
Contoh: hukum wudhu seseorang dianggap berlangsung terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya.
Istishab Al-‘Umumi. Istishab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang mengkhususkannya dan istishab dengan nash selama tidak ada dalil yang naskh (yang membatal-kannya). Contohnya: kewajiban puasa di Bulan Ramadhan yang berlaku bagi umat sebelum Islam, tetap wajib wajib bagi umat Islam (QS.Al-Baqarah : 183) selama tidak ada nash lain yang membatalkannya.

Imam Ar-Razi mendefinisikan mashlahah[17] yaitu  perbuatan yang bermanfaat yang telah ditujukan oleh syari’ (Allah) kepada hamba-Nya demi memelihara dan menjaga agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya dan harta bendanya.
mashlahah mursalah merupakan suatu metode ijtihad dalam rangka menggali hukum (istinbath) Islam, namun tidak berdasarkan pada nash tertentu, namun berdasarkan kepada pendekatan maksud diturunkannya hukum syara’ (maqashid as-syari’ah).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian, Syarat, dan Metode Tahammul wal Ada'

Pengertian Tahammul wa al-Ada’           Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan hadits dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadits.[1] Muhammad ‘Ajaj al-Khatib memberikan defenisi dengan kegiatan menerima dan mendengar hadits.[2] Jadi tahammul adalah proses menerima periwayatan sebuah hadits dari seorang guru dengan metode-metode tertentu. Al-‘Ada adalah kegiatan meriwayatkan dan menyampaikan hadits.[3] Menurut Nuruddin ‘Itr adalah menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada orang lain.[4] Jadi al-‘ada adalah proses menyampaikan dan meriwayatkan hadits. At-Tahammulal-Hadist        Menurut bahasa tahammul merupakan masdar dari fi’il madli tahmmala ( ﺗَﺤَﻤَّﻞَ - ﻳَﺘَﺤَﻤَّﻞُ - ﺗَﺤَﻤُﻼ ) yang berarti menanggung , membawa, atau biasa diterjemahkan dengan menerima. Berarti tahammul al-hadits menurut bahasa adalah menerima hadits atau menanggung hadits. Sedangkan tahammul al-hadits menurut istilah ulama ahli hadits, sebagaima

MAKALAH Hadits menurut segi kuantitas rawi (Mutawatir dan Ahad); segi kualitas Rawi (Shahih, Hasan dan Dhaif) LENGKAP

BAB I PENDAHULUAN 1.1      Latar Belakang Seperti yang telah diketahui, hadits diyakini sebagai sumber ajaran Islam setelah kitab suci Al-Quran. Hadits merupakan segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW. baik berupa ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum dan ketentuan Allah yang disyari’atkan kepada manusia. Selain itu, hadits juga dibutuhkan manusia untuk mengetahui inti-inti ajaran dalam Al-Quran. Jika ayat-ayat dalam Al-Quran mutlak kebenarannya, berbeda dengan hadits yang bisa saja belum jelas periwayatannya, hadits tersebut benar berasal dari Nabi Muhammad SAW. atau bukan. Ditinjau dari segi kuantitasnya, hadits dibagi menjadi mutawatir dan ahad. Sedangkan ditinjau dari segi kualitasnya, hadits terbagi menjadi dua yaitu, hadits Maqbul (hadits yang dapat diterima sebagai dalil) dan hadits Mardud (hadits yang tertolak sebagai dalil). Hadits Maqbul terbagi menjadi dua yaitu hadits Shahih dan Hasan, sedangkan yang termasuk dalam ha

Language Varieties (Dialect, Styles, Slang word, Registers)

Language Varieties Group 6 Rizal Fachtur Hidayat (16320017) Balqist Hamada (16320021) Sheni Diah Safitri (16320052) Dhimas Muhammad I. J. (16320053) Yoshi Nur Rahmawati (16320096) Nikma Hidayatul Khasanah (16320101) Audy Oktaviani A. I. (16320140) Roby Inwanuddin Affandi (16320220) Wahida Camelia (16320228) Language Varieties Language varies from one social group to another social group, from one situation to another situation, and from one place to another place. Variation shows that every speaker does not speak the same way all the time. Language varieties indicate that the speakers are distinct from members of other groups (Finegan, 2008) . Language variety that signifies particular situations of use is called registers, it is appropriate for use in particular speech situations. There are some examples of language variations that are of interest to linguist according to   (Akmajian, 1998) , lingua francas, pidgins, creoles, jargon, sl