BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Al-Qur’an merupakan sumber ilmu yang tidak
habis untuk dikaji berbagai kalangan. Semakin lama dikaji, semakin banyak ilmu
yang terkuak. Sebagai contoh, para
ilmuwan mengembangkan maupun mencocokan penemuan mereka tentang teknologi, ilmu
perbintangan, penemuan pesawat terbang, matematika, fisika, dan lain
sebagainya, dengan pemaparan yang tersebut dalam al-Qur’an. Sebagian
sumber-sumber hukum juga berasal dari al-Qur’an. Sehingga, Pengetahuan mengenai
makna al-Qur’an pun menjadi sangat penting untuk dipahami. Adanya tafsir dan ta’wil
al-Qur’an tentu mempermudah setiap orang memahami hingga mengkaji isi
al-Qur’an. Perlu kiranya kita memperdalam pengetahuan mengenai tafsir, ta’wil
al-Qur’an, metodologi penafsiran hingga tokoh mufassir beserta karyanya.
Sehingga kita dapat mmperkokoh keimanan dan menambah pengetahuan dalam memahami
al-Qur’an. Inilah yang menjadi latar belakang disusunnya makalah tafsir dan ta’wil
ini.
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka rumusan masalah dalam
makalah ini adalah:
1.
Apa yang dimaksud
dengan tafsir dan ta’wil al-Qur’an?
2.
Bagaimana urgensi
tafsir dan ta’wil al-Qur’an?
3.
Bagaimana sejarah
perkembang tafsir dan ta’wil al-Qur’an?
4.
Bagaimana
metodologi dan corak penafsiran al-Qur’an?
5.
Siapa saja
tokoh-tokoh mufassir? Dan apa syarat-syarat menjadi mufassir?
1.3
Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Mengetahui
pengertian, perbedaan, urgensi dan sejarah perkembangan dari tafsir dan ta’wil
al-Quran.
2.
Memahami
metodologi dan corak penafsiran al-Qur’an
3.
Mengetahui
tokoh-tokoh mufassir, syarat menjadi mufassir beserta karya-karnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Tafsir dan
Ta’wil
2.1.1
Pengertian Tafsir
dan Ta’wil
Kata “tafsir” diambil dari kata “fassara-yufassiru-tafsira” yang bearti keterangan atau uraian.
Al-jurani berpendapat bahwa kata “tafsir” menurut pengertian bahasa adalah “Al-kasf wa Al-izhar” yang artinya
menyikap (membuka) dan melahirkan.1[1]
Pada dasarnya, pengertian “tafsir” berdasarkan bahasa tidak akan lepas
dari kandungan makna Al-idhah (menjelaskan), Al-bayan (menerangkan), Al-kasf
(mengungkapkan), Al-izhar (menampakkan), dan Al-ibanah (menjelaskan). Dalam Al-Qur’an
dinyatakan :
Artinya : “Tidaklah kamu mereka datang kepadamu (membawa)
sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan
paling baik tafsir-Nya” (Al-Furqan [25]:33). Maksudnya, “paling baik
penjelasan dan perinciannya.” Diantara kedua bentuk al-fassr dan at-tafsir,
kata at-tafsir (tafsir)-lah yang paling banyak dipergunakan.
Adapun pengertian “tafsir” berdasarkan istilah, para ulama banyak
memberikan komentar, antara lain sebagai berikut:
a.
Menurut Al-Kilabi dalam At-Tashil :
Tafsir adalah
menjelaskan Al-quran, menerangkan maknanya dan menjelaskan dikehendakai dengan
nasbnya atau dengan isyaratnya atau tujuannya.[2]
a.
Menurut Syekh Al-Jazairi dalam Shahib At-Taujih :
Tafsir pada
hakikatnya adalah menjelaskan lafadz yang sukar dipahamioleh pendengar dengan
mengemukakan lafadz sinonimnya atau makna yang mendekatinya, atau dengan jalan
mengemukakan salah satu dilalah lafdz tersebut.[3]
b.
Menurut Abu hayyan :
Tafsir adalah
ilmu mengenai cara pengucapan lafadz-lafadz Al-Quran serta cara mengungkapkan
petunjuk, kandungan-kandungan hukum, dan makna-makna yang terkandung
didslamnya.[4]
c.
Menurut Az-Zarkasyi
Tafsir adalah
ilmu yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan makna-makna kitab Allah yang
diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad SAW., serta
menyimpulkankandungan-kandungan hukum dan hikmahnya.[5]
Berdasarkan beberapa rumusan tafsir yang dikemukakan para ulama
tersebut, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa pada dasarnya, tafsir adalah
suatu hasil usaha tanggapan, penalaran, dan ijtihad manusia untuk menyingkap
nilai-nilai samawi yang terdapat di dalam Al-Quran.
“Ta’wil” menurut bahasa berasal dari kata “aul”, yang berarti
kembali ke asal artinya, memikirkan, memperkirakan dan menafsirkannya. Atas
dasar ini maka ta’wil kalam dalam istilah mempunyai dua makna:
Pertama, ta’wil kalam dengan pengertian sesuatu makna yang kepadanya mutakallim (pembicara, orang pertama)
mengembalikan perkataanya, atau sesuatu makna yang kepadanya suatu makna yang
kepadanya suatu kalam dikembalikan
Kedua, ta’wilun kalam dalam arti menafsirkan dan menjelaskan maknanya. Perkataan
mereka, “apa ta’wil perkataan ini? Artinya ialah “sampai kemanakah akibat yang
dimaksud oleh perkataan itu?” misalnya firman Allah dalam surat Al-A’raf [7]:53
maksudnya ialah “disaat akibat (kesudahan)-nya tersingkap”. Dalam firman-Nya
dalam surat Al-Kahfi [18]:82. “Ta’wil” berasal dari ma’al, yaitu akibat dan
kesudahan. Dengan demikian, ta’wil seakan-akan memalingkan ayat kepada
makna-makna yang dapat diterimanya. Kata “ta’wi” dibentuk dengan pola “taf’il”
adalah untuk menunjukan arti banyak.
Sedangkan arti ta’wil menutakrut
lughat adalah menerangkan, menjelaskan. Diambil dari kata “awwala-yu’awwilu-ta’wilan.”
Al-Qathathan dan Al-Jurjani berpendapat bahwa arti ta’wil menurut lughat adalah
“a;-ruju’ ila Al-ashl” ( berarti kembali pada pokoknya ).[6]
Sedangkan arti bahasanya menurut Az-Zarqani adalah sama dengan arti
tafsir.[7]
Adapun ta’wil mtenurut
istilah, dalam hal ini banyak para ulama memberikan pendapatnya, antara lain:
a.
Menurut Al-Jurzani
Memalingkan suatu lafadz dari makna
lahirnya terhadap makna yang dikandungnya, apabila makna alternatif uyang
dipandnagnya sesuai dengan ketentuan Al-kitab dan As-Sunnah.[8]
b.
Menurut definisi lain:
Ta’wil ialah mengembalikan sesuatu
pada ghayahnya (tujuannya), yakni menerangkan apa yang dimaksud.[9]dk
c.
Menurut Ulama Salaf:
(1)
“Menafsirkan dan menjelaskan makna suatu ungkapan, baik bersesuai
dengan makna lahirnya ataupun bertentangan.” Definisi ta’wil
seperti ini sama dengan definisi tafsir. Dalam pengertian ini pula, Ath-Thabari
menggunakan istilah ta’wil di dalam kitab tafsirnya.
(2)
“Hakikat sebenarnya yang
dikehendaki suatu ungkapan.”[10]
d.
Menurut ulama khalaf:
Mengalihkan suatu lafadz dari
maknanya yang rajib pada makna yang marjub karena ada indikasi untuk itu.
Ringakasnya,
pengertian ta’wil dalam penggunaan istilah adalah suatu usaha untuk memahami
lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Quran melalui pendekatan memahami arti atau maksud
sebagai kandungan dari lafazh itu. Dengan kata lain, ta’wil berarti mengartikan
lafazh dengan beberapa alternatif kandungan makna yang bukan makna lahiriahnya,
bahkan penggunaan secara masyhur kadang-kadang diidentikan dengan tafsir. [11]
2.1.2
Perbedaan antara Tafsir dengan
Ta’wil
Para ulama berbeda pendapat tentang perbedaan antara kedua kata
tersebut. Berdasarkan pada pembahasan diatas tentang makna tafsir dan ta’wil,
kita dapat menyimpulkan pendapat terpenting diantaranya sebagai berikut:
1.
Apabila berpendapat, ta’wil adalah menafsirkan perkataan dan
menjelaskan maknanya, maka “ta’wil” dan “tafsir” adalah dua kata yang
berdekatan atau sama maknanya. Termasuk pengertian ini ialah doa Rasululloh
untuk Ibn Abbas: “Ya Allah, berikanlah kepadanya kemampuan untuk memahami agama
dan ajarkanlah kepadanya ta’wil.
2.
Apabila kita berpendapat, ta’wil adalah esensi yang dimaksud dari
suatu perkataan, maka ta’wil dari talab (tuntutan)
adalah esensi perbuatan yang dituntut itu sendiri dan ta’wil dari khabar adalah esensi sesuatu yang
diberikan. Atas dasar ini maka perbedaan antara tafsir dengan ta’wil cukup
besar; sebab tafsir merupakan syarah dan penjelasan bagi suatu perkataan dan
penjelasan ini berada dalam pikiran dengan cara memahaminya dan dalam lisan
dengan ungkapan yang menunjukkannya. Sedang ta’wil ialah esensi sesuatu yang
berada dalam realita (bukan dalam pikiran). Sebagi contoh, jika dikatakan:
“Matahari telah terbit”, maka ta’wil ucapan
ini ialah terbitnya matahari itu sendiri. Inilah pengertian ta’wil yang lazim
dalam bahasa Quran sebagaimana telah dikemukakan. Allah berfirman:
“Atau (patutkah) mereka mengatakan: ‘Muhammad
membuatnya’ Katakanlah: ‘(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah
datangkan sebuah surah seumpamanya dan panggilah siapa yang dapat kamu panggil
(untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.’ Tetapi
sebenarnya mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan
sempurna padahal belum datang kepada mereka ta’wil-Nya.” (Yunus
[10]:38-39). Yang dimaksud dengan ta’wil disini ialah terjanya sesuatu yang
diberitahukan.
3.
Dikatakan, tafsir adalah apa yang telah jelas di dalam Kitabullah
atau tertentu (pasti) dalam sunnah yang shahih karnanya maknanya telah jelas
dan gamblang. Sedang ta’wil adalah apa yang telah disimpulkan para ulama.
Karena itu sebagian ulama mengatakan, “Tafsir adalah apa yang berhubungan
dengan riwayat sedang Ta’wil adalah
apa yang berhubungan dengan dirayah.[12]
4.
Dikatakan pula, tafsir lebih banyak digunakan dalam (menerangkan)
lafaz dan mufrodat (kosa kata),
sedang ta’wil lebih banyak dipakai dalam (menjelaskan) makna dan susunan
kalimat. Dan masih banyak lagi pendapat-pendapat yang lain.
2.1.3
Keutamaan Tafsir
Tafsir adalah ilmu syariat paling agung dan paling tinggi
kedudukannya. Ia merupakan ilmu yang paling mulia obyek pembahasan dan
tujuannya serta dibutuhkan. Obyek pembahassannya adalah Kamullah yang merupakan
sumber segala hikmah dan “tambang” segala keutamaan. Tujuan utamanya untuk
dapat berpegang pada tali yang kokoh dan mencapai kebahagiaan hakiki. Dan
kebutuhan terhadapnya sangat mendesak karena segala kesempurnaan agamawi dan
duniawi haruslah sejalan dengan syara’ sedang kesejalanan ini sangat bergantung
pada pengetahuan tentang Kitab Allah.[13]
2.2
Urgensi Tafsir dan Ta’wil dalam Memahami Al Quran
Urgensi tafsir
dan ta’wil dalam memahami Al-Qur’an untuk ayat muhkamat dan ayat mutasyabihat
adalah sebagai berikut:
2.2.1
Ayat Mukhamat
Urgensi tafsir dan ta’wil dalam memahami
ayat muhkamat diantaranya adalah:
–
Dengan adanya ayat mukhamat yang sudah jelas arti maksudnya, maka menjadi
rahmat bagi umat Islam, khususnya orang yang kemampuan bahasa Arabnya lemah. Dengan
mempelajari bahasa arab akan menambah kosa kata yang bersumber dari al Quran.
–
Untuk mempermudah dalam memahami isi kandungan al Quran supaya umat
Islam mudah mengamalkan pelaksanaan ajaran-ajarannya karena lafal ayat-ayatnya
telah mudah diketahui dan dipahami.
–
Untuk membantu dalam menghafal al Quran, karena salah satu metode
menghafal yang paling efektif adalah dengan memahami terlebih dahulu arti ayat
yang akan dihafal.
–
Untuk menghilangan kebingungan dan kesulitan umat Islam dalam
mempelajari isi ajarannya karena lafal ayat-ayat dengan sendirinya sudah dapat
menjelaskan arti maksudnya.
2.2.2
Ayat Mutasyabihat
Urgensi tafsir dan ta’wil al-Qur’an dalam
memahami ayat mutasyabihat diantaranya adalah:
–
Memperlihatkan kelemahan akal manusia. Akal sedang dicoba untuk
meyakini keberadaan ayat-ayat al Quran sebagaimana Allah memberi cobaan pada
badan untuk beribadah. Seandainya akal yang merupakan anggota badan paling
mulia itu tidak diuji, tentunya seseorang yang berpengetahuan tinggi akan
menyombongkan keilmuannya sehinnga enggan tunduk kepada naluri kehambaannya.
–
Teguran bagi orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat al Quran.
Sebagaimana Allah menyebutkan bahwa cercaan terhadap orang-orang yang
mengutak-atik ayat-ayat mutasyabihat itu. Sebaiknya Allah memberikan pujian bagi orang-orang yang
mendalami ilmunya.
–
Membuktikan kelemahan dan kebodohan manusia. Sebesar apapun usaha
dan persiapan manusia, masih ada kekurangan dan kelemahannya.
–
Untuk mengetahui kemukjizatan yang terdapat dalam al Quran agar
manusia sadar bahwa kitab itu bukanlah buatan manusia biasa, melainkan wahyu
ciptaan Allah SWT.
2.3
Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an
Tahapan perkembangan tafsir al-Qur’an adalah sebagai
berikut:
1.
Tahap Pertama (Masa Sahabat dan Tabi’in)
Para sahabat memberikan perhatian
maksimal kepada Kitabulla, mereka membaca ayat-ayatnya, memahami kandungan
hukumnya dan merenungkan isinya. Mereka adalah orang-orang yang sangat mengenal
kitabullah.
Para sahabat belum bertumpu kepada
tulisan dan kodifikasi. Masa mereka berlalu tanpa ada pembukuan tafsir
sedikitpun. Semua tafsir terjaga terjaga dalam hafalan, tertanam dalam jiwa dan
muncul tokoh-tokoh seperti khulafa’urrasyidin, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, Ubai bibn
Ka’ab dan lain-lain.
Kemudian datang masa tabi’in. banyak
terjadi pembukaan wilayah. Orang-orang non-Arab masuk Islam berbondong-bondong.
Kebutuhan akan tafsir semakin meningkat. Munsullah sekolah-sekolah tafsir dan
meluaslah tafsir-tafsir yang sebelumnya belum dibutuhkan karena kedekatan
mereka dengan sumber risalah dan pelita kenabian. Ketika mereka semakinjauh
dari masa itu, maka kebutuhan mereka akan tafsir meningkat. Muncullah sekolah
Ibn Abbas di Mekkah yang memunculkan banyak murid terkemuka, sekolah Abdullah
ibn Mas’ud di Kufah yang juga memunculkan banyak murid terkemuka lainnya, di
samping sekolah Ubai bin Ka’b di Madinah yang didatangi oleh banyak murid dari
kalangan sahabat dan tabi’in, sebagaimana akan dijelaskan kemudian.
2.
Tahap Kedua
Tahap ini dimulai pada akhir masa
Bani Umayyah dan awal masa Bani Abbasiyyah, ketika dimulainya pembukuan
terhadap berbagai macam ilmu. Permulaan tafsir adalah bersama pembukuan hadis,
ketika tafsir dimasukkan ke dalam salah satu bab dalam buku-buku hadis. Yang
dikodifikasikan saat itu masih sangat sedikit, terutama yang berkaitan dengan sebab
nuzul sejumlah ayat atau keutamaan sejumlah surat dan ayat. Di dalam al-Kutub
al-Sittah banyak ditemukan.
Sampai saat itu belum ada karya
khusus tentang tafsir al-Qur’an baik secara keseluruhan maupun sebagiannya.
Usaha-usaha untuk menafsirkan al-Qur’an tidak lebih dari penghimpunan sabda
Rasul, pendapat sahabat dan tabi’in tentang Tafsir. Yang mula-mula menulis
tentang hal itu adalah Yazid ibn Harun al-Maslami (w. 117 H), Syu’bah ibn
al-Hajjaj (w. 160 H), Sufyan ibn ‘Uyainah (w. 198 H), Waki’ ibn al-Jarrah (197
H, Ruh ibn Ubadah al-Bashri (w. 205 H), Abdurrazzaq ibn Humam (211 H), Abd ibn
Humaid (w. 249 H) dan lain-lain.
Penulis al-Tafsir wa
al-Mufassirin menjelaskan bahwa tafsir para imam itu tidak sampai kepada
kita. Dikatakan: “Merka itu adalah para imam hadis. Penghimpunan mereka
terhadap hadis adalah penghimpunan terhadap salah satu bab hadis, bukan
penghimpunan tafsir secara mandiri. Semua yang mereka kutip dari para pendahulu
mereka disandarkan kepada mereka. Hanya saja tafsir-tafsir itu tidak sampai
kepada kita sedikitpun. Sehingga kita tidak bisa menilainya.[14]
Kemudian tafsir memisah dari hadis
dan menjadi ilmu tersendiri. Tafsir untuk seluruh ayat mulai ditulis secara
runtut, meski tidak dijumpai sekaligus, meliankan sedikit demi sedikit.
Dalam sejarah penafsiran al-Qur’an,
pada akhir abad kedua Hijriah, muncul-(kalaupn masih diperdebatkan tentang
apakah ia yang pertama atau bukan)- kitab tafsir yang telah tersusun secara
sistematis. Kitab tersebut ditulis oleh Yahya Ibn Ziyad al-Farra’ dangan nama Ma’anil
Qur’an. Para ahli tafsir menengarai zaman itu sebagi suatu zaman di mana
tafsir menjadi bagian integral dari kitab-kitab hadis. Dengan kata lain, pada
abad kedua ini aktivitas penafsiran lebih banyak berbentuk laporan tentang
penafsiran generasi sebelumnya dibanding sebagai hasil kreativitas mandiri.
3.
Tahap Ketiga (Masa Kodifikasi)
Pada tahap ini, muncul banyak tafsir
dengan berbagai ragamnya. Mula-mula tefsir tidak bergerak dari jenis tafsir
bil-ma’tsur. Namun sanad-sanadnya mulai terbuang, agar ringkas, dan
dikodifikasikan pula riwayat-riwayat dari ulama salaf tanpa menisbatkan kepada
orang yang mengatakannya. Ini jelas lubang yang menganga bagi masuknya
pemalsuan dan menerobosnya Isra’iliyyat ke dalam kitab-kitab tafsir.
Sehingga yang shahih berbaur dengan dla’if, yang kuat berbaur
dengan yang lemah, yang berakibat ditinggalkannya banyak riwayat. Sehingga
nilai kitab-kitab itu menjadi kecil.
Setelah itu tafsir meluas. Para
mufassir mulai memasuki tafsir bil-ra’yi. Disusunlah kitab-kitab tafsir
dirayah secara tersendiri. Disamping itu para mufassir juga mulai memadukan
antara tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi. Pemahaman
rasional berbaur dengan tafsir naqli. Sehingga kitab-kitab tafsir itu
lebih mirip dengan karya-karya ilmiah yang menghimpun beragam ilmu dan seni.
Ada yang yang berorientasi pada aspek-aspek balaghah dan bayan. Ada
yang mendalami aspek-aspek fikih. Ada yang sibuk dengan masalah kalam dan
akidah. Ada yang menyelami makna-makna terdalam ayat denganmenggali
isyarat-isyaratnya. Ada yang sengaja memaksa diri menta’wilkan
ayat-ayat untuk membela madzhab dan menyebarnya ideologinya.[15]
2.4
METODOLOGI TAFSIR AL-QURAN
2.4.1
Sejarah Perkembangan Metodologi Tafsir
Al-Quran melalui salah satu ayatnya memperkenalkan diri sebagai hudan
(petunjuk) bagi umat manusia, penjelasan-penjelasan terhadap petunjuk itu dan
sebagai al-furqan. Oleh karena fungsinya itu maka Al-Quran haruslah
dipahami secara tepat dan benar. Upaya dalam memahami Al-Quran dikenal dengan
istilah tafsir. Sekalipun demikian, aktivitas menafsirkan Al-Quran bukanlah
pekerjaan gampang, mengingat kompleksitas persoalan yang dikandungnya serta
kerumitan yang digunakannya. Dalam kaitan ini dapat dikemukakan bahwa redaksi
ayat-ayat Al-Quran, sebagaimana setiap reaksi yang diucapkan atau ditulis,
tidak dapat dijangkau maksudnya secara pasti kecuali oleh pemilik redaksi
tersebut. Meskipun demikian, upaya penafsiran tetap dilakukan
karena, di samping memang dirasakan urgen setiap saat, juga ada bukti
kesejarahan dari Nabi sendiri sebagai pengemban amanat ilahi itu.
Sejarah mencatat, penafsiran al-Quran telah tumbuh dan berkembang
sejak masa-masa awal pertumbuhan dan perkembangan Islam. Hal ini didukung oleh
adanya fakta sejarah yang menyebutkan bahwa Nabi pernah melakukannya. Pada saat
sahabat beliau tidak memahami maksud dan kandungan salah satu isi kitab suci
Al-Quran, mereka menanyakannya kepada Nabi. Dalam konteks ini, Nabi memang
berprofesi sebagai mubayyin, penjelasan terhadap segala
persoalan umat. Penafsiran yang dilakukan Nabi memiliki sifat-sifat dan
karakteristik tertentu, diantaranya makna (bayan al-tashrif); perincian
makna (bayan al-tafshil); perluasan dan penyempitan makna; kualifikasi
makna serta pemberian contoh. Sedangkan dari segi motifnya,
penafsiran Nabi SAW terhadap ayat-ayat Al-Quran mempunyai tujuan; pengarahan (bayan
irsyad), peragaan (tathbiq), pembetulan (bayan tashhih) atau
koreksi.
Sepeninggal Nabi, kegiatan penafsiran Al-Quran tidak berhenti,
malah boleh jadi semakin meningkat. Munculnya persoalan-persoalan baru seiring
dengan dinamika masyarakat yang progresif mendorong umat Islam generasi awal
mencurahkan perhatian yang besar dalam menjawab problematika umat. Perhatian
utama mereka tertuju kepada Al-Quran sebagai sumber ajaran Islam. Maka
upaya-upaya penafsiran terus dilakukan. Dalam menafsirkan Al-Quran pada masa
itu, pegangan utama mereka adalah riwayat-riwayat yang dinukilkan dari Nabi.
Penafsiran-penafsiran yang dilakukan para sahabat di atas, di
belakang hari nanti dikenal dengan tafsir bil ma’tsur. Tafsir yang
disebut terakhir ini mendasari pembahasan dan sumbernya pada riwayat. Cara ini
kemudian dikenal sebagai sebuah metode penafsiran Al-Quran dengan metode riwayah.
Sebagai perimbangan dari metode ini timbullah satu metode lainnya yaitu tafsir
bil-ra’y yang mendasari sumbernya pada penalaran dan ijtihad. Dari dua
metode ini nantinya lahir metode-metode lain yang menyebabkan metodologi
penafsiran Al-Quran berkembang. Metode-metode dimaksud adalah metode tahlili,
metode muqaran, dan metode maudhu’i.
2.4.2
Beberapa Metode Tafsir
A. Metode Tafsir Tahliliy
Metode Tafsir Tahlîliy adalah suatu metode tafsir yang bermaksud
menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Quran dari seluruh aspeknya. Di dalam
tafsirnya, penafsir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun di
dalam mushaf. Penafsir memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosa kata
diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat. Ia juga mengemukakan munâsabah
(korelasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu
sama lain. Begitu pula, penafsir membahas mengenai sabab al-nuzûl (latar
belakang turunnya ayat) dan dalil-dalil yang berasal dari Rasulullah s.a.w.,
sahabat, atau para tabi’in, yang kadang-kadang bercampur-baur dengan pendapat
para penafsir itu sendiri dan diwarnai oleh latar belakang pendidikannya, dan
sering pula bercampur baur dengan pembahasan kebahasaan dan lainnya yang
dipandang dapat membantu memahami nash (teks) al-Quran tersebut.
Muhammad Baqir ash-Shadr menyebut tafsir metode tahlîliy ini dengan
tafsir tajzî’iy, yang secara harfiah berarti “tafsir yang menguraikan
berdasarkan bagian-bagian atau tafsir parsial”.
1.
Bentuk Tafsir al-Quran dengan Metode Tahlîly
Metode Tahlîly kebanyakan dipergunakan para ulama masa-masa klasik
dan pertengahan. Diantara mereka, sebagian mengikuti pola pembahasan secara
panjang lebar (ithnâb), sebagian mengikuti pola singkat (i’jâz)
dan sebagian mengikuti pula secukupnya (musâwâh). Mereka sama-sama
menafsirkan al-Quran dengan metode tahlîliy, namun dengan corak yang
berbeda.
Para ulama membagi wujud tafsir al-Quran dengan metode tahlîly
kepada tujuh macam (bentuk) yaitu: At-Tafsîr bi al-Ma’tsûr, At-Tafsîr
bi ar-Ra’yi, At-Tafsîr ash-Shûfiy, At-Tafsîr al-Fiqhiy, At-Tafsîr
al-Falsafiy, At-Tafsîr al-‘Ilmiy, dan At-Tafsîr al-Adabiy
al-Ijtimâ’iy.
2.
Kitab-kitab Tafsir yang menggunakan metode tahlîliy
Di antara kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah: a) Tafsîr
al-Qurân al-‘Azhîm karya Ibn Katsîr’ b) Tafsîr al-Munîr karya Syaikh
Nawawiy al-Bantaniy.
Ada yang ditulis dengan sangat panjang, seperti kitab tafsir karya
al-Alusi, Fakhr al-Din ar-Razi, dan Ibn Jarir ath-Thabari; ada yang sedang,
seperti kitab Tafsir al-Baidhawi dan an-Naisaburi; dan ada pula yang ditulis
dengan ringkas, tetapi jelas dan padat, seperti kitab Tafsîr al-Jalâlaiyn
karya Jalal ad-Din Suyuthi dan Jalal ad-Din al-Mahalli dan kitab Tafsir yang
ditulis Muhammad Farid Wajdi.
3.
Kelebihan dan Kekurangan Metode Tahlîliy
a. Kelebihan Metode Tahlîliy
·
dapat mengetahui dengan mudah tafsir suatu surat atau ayat, karena susunan
tertib ayat atau surat mengikuti susunan sebagaimana terdapat dalam mushaf
·
mudah mengetahui relevansi/munâsabah antara suatu surat atau ayat
dengan surat atau ayat lainnya
·
memungkinkan untuk dapat memberikan penafsiran pada semua ayat, meskipun
inti penafsiran ayat yang satu merupakan pengulangan dari ayat yang lain, jika
ayat-ayat yang ditafsirkan sama atau hampir sama
·
mengandung banyak aspek pengetahuan, meliputi hukum, sejarah, sains, dan
lain-lain.
b.
Kelemahan Metode Tafsir Tahlîliy
·
menghasilkan pandangan-pandangan yang parsial dan kontradiktif dalam kehidupan
umat Islam.
·
faktor subjektivitas tidak mudah dihindari misalnya adanya ayat yang
ditafsirkan dalam rangka membenarkan pendapatnya
·
terkesan adanya penafsiran berulang-ulang, terutama terhadap ayat-ayat yang
mempunyai tema yang sama
4. Urgensi Metode Tafsir Tahlîliy
Keberadaan metode ini telah memberikan sumbangan yang sangat besar dalam
melestarikan dan mengembangkan khazanah intelektual Islam, khususnya dalam
bidang tafsir al-Quran. Berkat metode ini, maka lahir karya-karya tafsir yang
besar-besar sebagaimana yang telah disebutkan di depan. Berdasarkan kenyataan
itu dapatlah dikatakan, urgensitas metode ini tak dapat dipungkiri oleh siapa
pun. Dalam penafsiran al-Quran, jika ingin menjelaskan dengan firman Allah dari
berbagai segi seperti bahasa, hukum-hukum fiqih, teologi, filsafat, sains, dan
sebagainya, maka di sini metode tahlîliy lebih berperan dan lebih
dapat diandalkan dari pada metode-metode yang lain.
Dari uraian diatas dapat penulis simpulkan, bahwa jika menginginkan
pemahaman yang luas dari suatu ayat dengan melihatnya dari berbagai aspek, maka
jalan yang ditempuh adalah menggunakan metode tafsir tahlîliy.
Dan inilah salah satu urgensi pokok bagi metode ini dibandingkan dengan yang
lain.
B.
Metode Tafsir Ijmâliy
Metode Tafsir Ijmâliy adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan
ayat-ayat al-Quran dengan cara mengemukakan makna global. Di dalam sistematika
uraiannya, penafsir akan membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunan yang ada
di dalam mushaf; kemudian mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat
tersebut. Mufassir dengan metode ini, dalam penyampaiannya, menggunakan bahasa
yang ringkas dan sederhana, serta memberikan idiom yang mirip, bahkan sama
dengan al-Quran. Sehingga pembacanya merasakan seolah-olah al-Quran sendiri yang
berbicara dengannya. Sehingga dengan demikian dapatlah diperoleh pengetahuan
yang diharapkan dengan sempurna dan sampailah kepada tujuannya dengan cara yang
mudah serta uraian yang singkat dan bagus.
Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan metode ini, mufassir juga
meneliti, mengkaji dan menyajikan asbâb al-nuzûl atau peristiwa yang
melatar belakangi turunnya ayat, dengan cara meneliti Hadis-Hadis yang
berhubungan dengannya. Sebagai contoh: ”Penafsiran yang diberikan tafsir al-Jalâlain
terhadap 5 ayat pertama dari surat al-Baqarah, tampak tafsirnya sangat singkat
dan global hingga tidak ditemui rincian atau penjelasan yang memadai.
Penafsiran tentang alif lâm mîm (الم ), misalnya, dia hanya berkata:
Allah Maha Tahu maksudnya. Dengan demikian pula
hanya dikatakan: “Yang dibacakan oleh penafsiran ذلك الكتاب, Muhammad”. Begitu seterusnya,
tanpa ada rincian sehingga penafsiran lima ayat itu hanya dalam beberapa baris
saja. Sedangkan tafsir tahlîliy (analitis), al-Maraghi, misalnya, untuk
menjelaskan lima ayat pertama itu ia membutuhkan 7 halaman.
1.
Kitab-kitab Tafsir yang Menggunakan Metode Ijmâliy
Di antara kitab-kitab Tafsir dengan metode ijmâliy adalah: Tafsîr
al-Jalâlayn, karya Jalal ad-Din as-Suyuthi dan Jalal ad-Din al-Mahalli, Shafwah
al-Bayân Lima’âni al-Qurân, karya Syeikh Hasanain Muhammad Makhluf, Tafsîr
al-Qurân al-‘Azhîm, karya Ustadz Muhammad Farid Wajdiy, Tafsîr al-Wasîth,
karya Tim Majma’ al-Buhûts al-Islâmiyyah (Lembaga Penelitian Islam) al-Azhar
Mesir.
2.
Kelebihan dan Kekurangan Metode Ijmâliy
a.
Kelebihan Metode Tafsir Ijmâliy
·
praktis dan mudah dipahami
·
bebas dari penafsiran israiliyat
·
akrab dengan bahasa al-Quran
b.
Kekurangan metode Tafsir Ijmâliy
·
menjadikan petunjuk al-Quran bersifat parsial
·
midak mampu mengantarkan pembaca untuk mendialogkan al-Quran dengan
permasalahan sosial maupun keilmuan yang aktual dan problematis
3.
Urgensi Metode Tafsir Ijmâliy
Dalam kaitan ini, bagi para pemula atau mereka yang tidak membutuhkan
uraian yang detail tentang pemahaman suatu ayat, maka tafsir yang menggunakan
metode ijmâliy ini sangat membantu dan tepat sekali untuk digunakan. Hal
itu disebabkan uraian di dalam tafsir yang menggunakan metode ini sangat
ringkas dan tidak berbelit-belit, sehingga relatif lebih mudah dipahami oleh
mereka yang berada pada tingkat ini. Kondisi tafsir ijmâliy yang ringkas
dan sederhana ini juga lebih cocok bagi mereka yang disibukkan oleh pekerjaan
rutin sehari-hari. Dengan demikian, tafsir dengan metode ini sangat urgen
(penting) bagi mereka yang berada pada tahap permulaan mempelajari tafsir dan
mereka yang sibuk dalam mencari kehidupannya. Dalam kondisi yang demikian akan
dapat dirasakan betapa cocoknya tafsir ijmâliy ini bagi mereka dalam
rangka membimbing mereka ke jalan yang benar serta diridhai Allah.
C. Metode Tafsir Muqâran
Yang dimaksud dengan metode ini adalah mengemukakan penafsiran ayat-ayat
al-Quran yang ditulis oleh sejumlah para mufassir. Disini seorang mufassir
menghimpun sejumlah ayat-ayat al-Quran, kemudian ia mengkaji dan meneliti
penafsiran sejumlah mufassir mengenai ayat tersebut melalui kitab-kitab tafsir
mereka, apakah mereka itu mufassir dari generasi salaf maupun khalaf, apakah
tafsir mereka itu at-tafsîr bi al-ma’tsûr maupun at-tafsîr bi
ar-Ra’yi. Kemudian ia menjelaskan bahwa diantara mereka ada yang corak
penafsirannya ditentukan oleh disiplin ilmu yang dikuasainya. Ada diantara
mereka yang menitikberatkan pada bidang nahwu, yakni segi-segi i’râb,
seperti Imam az-Zarkasyi. Ada yang corak penafsirannya ditentukan oleh
kecenderungan kepada bidang balâghah, seperti ‘Abd al-Qahhar
al-Jurjaniy dalam kitab tafsirnya I’jâz al-Qurân dan Abu Ubaidah Ma’mar
Ibn al-Mustanna dalam kitab tafsirnya al-Majâz, dimana ia memberi
perhatian pada penjelasan ilmu ma’âniy, bayân, badî’, haqîqah
dan majâz.
Jadi metode tafsir muqâran adalah menafsirkan sekelompok ayat
al-Quran dengan cara membandingkan antar-ayat dengan ayat, atau antara ayat
dengan hadis, atau antara pendapat ulama tafsir dengan menonjolkan aspek-aspek
perbedaan tertentu dari objek yang dibandingkan itu.
1.
Kitab-kitab Tafsir Yang Menggunakan Metode Muqâran
Di antara kitab-kitab
yang menggunakan metode ini adalah: Durrah at-Tanzîl wa Ghurrah at-Tanwîl,
karya al-Iskafi yang terbatas pada perbandingan antara ayat dengan ayat; Al-Jâmi’
li Ahkâm al-Qurân, karya al-Qurthubiy yang membandingkan penafsiran para
mufassir. Rawâ’i al-Bayân fî Tafsîr Âyât al-Ahkâm, karya ‘Ali
ash-Shabuniy’ Qur’an and its Interpreters adalah satu karya tafsir yang
lahir di zaman modern ini, buah karya Profesor Mahmud Ayyoub.
2.
Kelebihan dan Kekurangan Metode Tafsir Muqâran
a.
Kelebihan Metode Tafsir Muqâran
·
membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain.
·
tafsir dengan metode muqaran ini amat berguna bagi mereka yang ingin
mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat.
·
dengan menggunakan metode muqaran ini, maka mufassir didorong untuk
mengkaji berbagai ayat dan hadis-hadis serta pendapat-pendapat para mufassir yang
lain.
b.
Kekurangan Metode Tafsir Muqâran
Di antara kekurangan metode ini adalah:
·
penafsiran yang menggunakan metode ini, tidak dapat diberikan kepada para
pemula.
·
metode muqâran kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan
sosial yang tumbuh di tengah masyarakat. hal itu disebabkan metode ini lebih
mengutamakan perbandingan daripada pemecahan masalah.
·
metode muqâran terkesan lebih banyak menelusuri
penafsiran-penafsiran yang pernah di berikan oleh ulama daripada mengemukakan
penafsiran-penafsiran baru. sebenarnya kesan serupa itu tak perlu timbul bila
mufassirnya kreatif.
3.
Urgensi Metode Tafsir Muqâran
Pada abad modern sekarang, tafsir dengan metode ini terasa makin dibutuhkan
oleh umat. Hal itu terutama dikarenakan timbulnya berbagai paham dan aliran
yang kadang-kadang jauh keluar dari pemahaman yang benar. Dengan menggunakan
metode muqâran ini, akan dapat diketahui mengapa penafsiran yang
menyimpang itu timbul dan bahkan dapat membuat sikap ekstrim di kalangan
sebagian kelompok masyarakat. Dengan metode muqâran ini amat penting
posisinya, terutama dalam rangka mengembangkan pemikiran tafsir, yang rasional
dan objektif, sehingga kita mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif
berkenaan dengan latar belakang lahirnya suatu penafsiran dan sekaligus dapat
dijadikan perbandingan dan pelajaran dalam mengembangkan penafsiran al-Quran
pada periode-periode selanjutnya.
D.
Metode Tafsir Maudhû’iy
Metode tafsir maudhû’iy juga disebut dengan dengan metode tematik
yaitu menghimpun ayat-ayat al-Quran yang mempunyai maksud yang sama, dalam
arti, sama-sama membicarakan satu topik masalah dan menyusunnya berdasar
kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Kemudian penafsir mulai
memberikan keterangan dan penjelasan serta mengambil kesimpulan. Secara khusus,
penafsir melakukan studi tafsirnya ini dengan metode maudhû’iy, dimana
ia melihat ayat-ayat tersebut dari seluruh seginya, dan melakukan analisis
berdasar ilmu yang benar, yang digunakan oleh pembahas untuk menjelaskan pokok
permasalahan, sehingga ia dapat memahami permasalahan tersebut dengan mudah dan
betul-betul menguasainya, sehingga memungkinkan baginya untuk memahami maksud
yang terdalam dan dapat menolak segala kritik.
1.
Cara Kerja Tafsir Maudhû’iy
Al-Farmawi di dalam kitab Al-Bidâyah fî al-Tafsir al-Maudhû’iy
secara rinci mengemukakan cara kerja yang harus ditempuh dalam menyusun suatu
karya tafsir berdasarkan metode ini. Antara lain adalah sebagai berikut:
·
memilih atau menetapkan masalah al-Quran yang akan dikaji secara maudhû’iy
(tematik)
·
melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah
ditetapkan, ayat Makkiyyah dan Madaniyyah
·
menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa turunnya,
disertai pengetahuan mengenai latar belakang turunnya ayat atau asbâb
an-nuzûl.
·
mengetahui korelasi (munâsabah) ayat-ayat tersebut di dalam
masing-masing suratnya.
·
menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna dan
utuh (outline).
·
melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadis, bila dipandang perlu,
sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna dan semakin jelas.
·
mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara
menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara
pengertian ‘âm dan khash, antara yang muthlaq dan yang muqayyad,
menyingkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat nâsikh
dan mansûkh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara,
tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat
kepada makna yang kurang tepat.
·
menyusun kesimpulan yang menggambarkan jawaban al-Quran terhadap masalah
yang dibahas
2.
Bentuk kajian Tafsir Maudhû’iy
Di sini tafsir maudhû’iy mempunyai dua bentuk, yaitu: Tafsir yang
membahas satu surat secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya
yang bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah
yang dikandungnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang betul-betul
utuh dan cermat. Menurut M. Quraish Shihab, biasanya kandungan pesan suatu
surah diisyaratkan oleh nama surah tersebut, selama nama tersebut bersumber
dari informasi Rasulullah s.a.w.. Ia mencontohkan surah al-Kahfi, yang secara harfiah
berarti gua. Gua itu dijadikan tempat berlindung oleh sekelompok pemuda untuk
menghindar dari kekejaman penguasa zamannya. Dari ayat tersebut dapat diketahui
bahwa surah itu dapat memberi perlindungan bagi yang menghayati dan mengamalkan
pesan-pesannya. Itulah pesan umum surah tersebut. Ayat atau kelompok ayat yang
terdapat di dalam surah itu kemudian diupayakan untuk dikaitkan dengan makna
perlindungan itu.
Tafsir maudhû’iy dalam bentuk pertama ini sebenarnya sudah lama
dirintis oleh ulama-ulama tafsir periode klasik, seperti Fakhr ad-Din al-Razi.
Namun, pada masa belakangan beberapa ulama tafsir lebih menekuninya secara
serius. Tafsir yang menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat yang sama-sama
membicarakan satu masalah tertentu; ayat-ayat tersebut disusun sedemikian rupa
dan diletakkan di bawah satu tema bahasan, dan selanjutnya ditafsirkan secara maudhû’iy.
Bentuk kedua inilah yang lazim terbayang di benak kita ketika mendengar istilah
tafsir maudhû’iy itu diucapkan. Upaya mengaitkan antara satu ayat dengan
ayat yang lainnya itu pada akhirnya akan mengantarkan mufassir kepada
kesimpulan yang menyeluruh tentang masalah tertentu menurut pandangan al-Quran.
Bahkan melalui metode ini, mufassir dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
terlintas di dalam benaknya dan menjadikannya sebagai tema-tema yang akan
dibahas dengan tujuan menemukan pandangan al-Quran mengenai hal tersebut.
Contoh: ayat-ayat khusus mengenai harta anak yatim terdapat pada ayat-ayat
di bawah ini:
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih
bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan
dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar
kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil,
kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu
diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.” (QS al-An’âm, 6:152).
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka,
jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta
mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan)
itu adalah dosa yang besar”. (QS an-Nisâ, 4’: 2)
Dan surat QS an-Nisâ, 4’: 10 dan 127.
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke
dalam api yang menyala-nyala (neraka).”
“Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: Allah
memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam
al-Quran (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak
memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin
mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. dan (Allah
menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. dan kebajikan
apa saja yang kamu kerjakan, maka Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahuinya.”
3.
Kitab-Kitab Tafsir Yang Menggunakan Metode Maudhû’iy
Sebagian kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode maudhu’iy ini adalah: Al-Mar’ah
fî al-Qurân dan Al-Insân fî al-Qurân al-Karîm karya Abbas Mahmud
al-Aqqad; Ar-Ribâ fî al-Qurân al-Karîm karya Abu al-‘A’la al-Maududiy; Al-Washâyâ
al-‘Asyr karya Syaikh Mahmud Syalthut; Tema-tema Pokok al-Quran karya
Fazlur Rahman; dan Wawasan al-Quran Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan
Umat karya M. Quraish Shihab.
4.
Kelebihan dan Kekurangan Metode Maudhû’iy
a.
Kelebihan Metode Maudhû’iy
·
hasil tafsir maudhû’iy memberikan pemecahan terhadap
permasalahan-permasalahan hidup praktis, sekaligus memberikan jawaban terhadap
tuduhan/dugaan sementara orang bahwa al-quran hanya mengandung teori-teori
spekulatif tanpa menyentuh kehidupan nyata.
·
sebagai jawaban terhadap tuntutan kehidupan yang selalu berobah dan
berkembang, menumbuhkan rasa kebanggaan terhadap al-Quran.
·
studi terhadap ayat-ayat terkumpul dalam satu topik tertentu juga merupakan
jalan terbaik dalam merasakan fashâhah dan balâghah al-Qurân.
·
kemungkinan untuk mengetahui satu permasalahan secara lebih mendalam dan
lebih terbuka.
·
tafsir maudhû’iy lebih tuntas dalam membahas masalah.
b.
Kekurangan Metode Maudhû’iy
·
Mungkin melibatkan pikiran dalam penafsiran terlalu dalam.
·
Tidak menafsirkan segala aspek yang dikandung satu ayat, tetapi hanya salah
satu aspek yang menjadi topik pembahasan saja.
5.
Urgensi Metode Maudhû’iy
Di depan telah penulis singgung bahwa tafsir dengan metode maudhû’iy
lebih dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan kehidupan di muka bumi ini.
Itu berarti, metode ini besar sekali artinya dalam kehidupan umat agar mereka
dapat terbimbing ke jalan yang benar sesuai dengan maksud diturunkannya
al-Quran. Berangkat dari pemikiran yang demikian, maka kedudukan metode ini
menjadi semakin kuat di dalam khazanah intelektual Islam. Oleh karenanya metode
ini perlu dimiliki oleh para ulama, khususnya oleh para mufassir atau calon
mufassir agar mereka dapat memberikan kontribusi menuntun kehidupan di muka
bumi ini ke jalan yang benar demi meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
2.5
Tokoh Mufassir dan Karyanya
At- Tabhary
Abu Ja'far, Muhammad bin Jarir bin Yazid
ath-Thabariy. Beliau lahir di Baghdad tahun 224 H dan wafat 310 H. ia merupakan ahli tarikh sekaligus ahli
tafsir yang terkemuka. Diantara
kitab-kitabnya yang terkenal ialah Tafsir Jami’ul Bayan, yang
mencerminkan keluasan ilmunya dan ketinggian penyelidikannya.[16]
Ibnu Katsir
Nama lengkapnya
ialah Imaduddin Abul Fida Ismail bin Umar bin Katsir Asy-Syafii. Beliau ialah
seorang imam, hafidz dan sejarawan. Lahir pada tahun 701 H dan wafat tahun 774 H. Kitab tafsirnya ialah Tafsir Quranul Adhim atau yang
dikenal dengan sebutan Tafsir Ibnu Katsir sebanyak 4 jilid.
Al-Qurtuby
Imam
Abu 'Abdillâh, Muhammad bin Ahmad bin Farh al-Anshâriy al-Khazrajiy
al-Andalusiy al-Qurthubiy. Beliau lahir di Cordova (Andalusia) pada tahun
486 H dan wafat di Maushul tahun 671 H. Judul kitab tafsirnya ialah Al-Jâmi'
Li Ahkâm al-Qur`ân.[17]
As Suyuthi
Nama lengkapnya, Jalaludin Abdurrahman bin Abu Bakar bin Muhammad
As-Suyuthi. Lahir pada tahun 849 H dan wafat tahun 911 H. beliau termasuk pakar
sejarah dan ilmu Bahasa arab. Kitab tafsir susunannnya sangat terkenal yakni
Tafsir Jalalain.
As-Sa’di
Beliau
adalah Abu ‘Abdillah, ‘Abdurrahman bin Nashir bin ‘Abdullah bin Nashir as-Sa’dy
at-Tamimy al-Qashimy, al-‘Allamah, seorang Mufassir dan ahli fiqih, pengarang
banyak buku. Kitab tafsirnya berjudul Tafysiir al-Kariim ar-Rahmaan Fii Tafsiir Kalaam al-Mannaan.[18]
Az-Zamakhsyari
Beliau
adalah Abu al-Qasim, Mahmud bin ‘Umar bin Muhammad al-Khawarizmi, al-Hanafi,
penganut aliran Muktazilah, yang dijuluki Jaarullah. Ia lahir ada tahun
467H dan wafat tahun 538 H. Kitab yang beliau susun ialah Al-Kasysyaaf ‘An Haqaa’iq
at-Tanziil Wa ‘Uyuun al-Aqaawiil Fii Wujuuh at-Ta’wiil. [19]
Al-Baghawiy
Ia
adalah Abu Muhammad al-Husayn ibn Mas'ud ibn Muhammad al-Farra' al-Baghawi
lahir 1122 M dan wafat pada bulan Syawal tahun 516 H. di Marw ar-Rud, di
kuburkan di samping makam gurunya (al-Qadi Husen), Beliau terkenal sebagai
Mufassir, ahli Hadis dan Faqih bermadzhabkan al-Syafi'i. kitab tafsir susunanya
ialah Ma'âlim at-Tanzîl.[20]
Muhammad Rasyid Ridho
Muhammad Rasyîd
bin ‘Aly Ridla bin Muhammad Syams ad-Dîn bin Minla ‘Aly Khalîfah al-Qalmûny
al-Baghdâdy al-Hasany (dinisbahkan kepada al-Hasan bin ‘Aly), pemilik
majalah al-Manâr dan termasuk seorang Da’i yang Mushlih
(reformis) dan Mujaddid. Lahir di Kalmun pada tahun 1283 H dan wafat
tahun 1353 H. Nama kitab tafsirnya adalah Tafsir al-Qur`ân
al-Hakîm dan lebih dikenal dengan nama Tafsir al-Manâr.
Namun sayang tafsir ini tidak rampung dan hanya sampai pada surat Yûsuf, ayat
101.[21]
Ibn Athiyyah Al-Muharibi
Ia lahir di Granada pada tahun481 H. Dalam menulis tafsir, beliau
terkadang mengutip pemikiran ath-Tabrany dalam tafsir Jami’ al-Bayan juga dari
tafsir al-Mahdawi yang berjudul at-Tafsir al-Jami’ li Ulum at-Tanzil.
2.6
Syarat-syarat Mufassir
Syarat-syarat yang harus dimiliki mufassir adalah
sebagai berikut:
1.
Mempunyai Aqidah yang Benar.
Aqidah
berpengaruh besar bagi mufassir. Apabila seorang mufassir beraqidah jelek, maka
kemungkinan ia akan mengubah nash-nash dan akan berhianat dalam meriwayatkan
berita, ia akan mena’wilkan ayat-ayat yang bertentangan dengan aqidahnya serta
akan menjuruskan tafsirnya kepada madzhabnya yang batal.
2.
Tidak Dipengaruhi Oleh Hawa Nafsunya.
Hawa nafsunya kadang-kadang mengajak
mufassir itu untuk membela madzhabnya. Kemudian mereka menipu manusia dengan
perkataan-perkataan yang indah seperti yang dilakukan oleh Madzhab Qadariyah,
Rafidlah, Mu’tazilah dan lain-lain.
3.
Mengetahui ilmu Bahasa Arab dan Cabang-cabangnya.
Seorang yang akan menafsirkan
al-Qur’an wajib menguasai ilmu bahasa Arab, karena bahasa Arab merupakan
bahasanya al-Qur’an. Ilmu bahasa Arab memiliki beberapa cabang, dan yang
terpenting di antaranya adalah: Ilmu nahwu, Ilmu Sharaf, Isytiqaq dan Ilmu
Balaghah.
4.
Menguasai ilmu ushul fiqih
Dengan ilmu ini, dapat diketahui
bagaimana cara menggunakan dalil (dalam hal ini adalah al-Qur’an), yang dari
dalil tersebut bisa diambil kesimpulan hukum tentang suatu perkara.
5.
Menguasai ulumul Qur’an.
Di antara cabang ulumul Qur’an yang
wajib dikuasai oleh seorang mufassir adalah: Ilmu qiraat, Ilmu asbabun nuzul,
Ilmu nasikh-mansukh dan Ilmu qashashul Qur’an.
6.
Mendalamnya faham yang memungkinkan mufassir itu mentarjihkan suatu
makna atas makna yang lain, atau mengistinbathkan makna yang sesuai dengan
nash-nash syari’ah.
7.
Mengetahui hadits-hadits Nabi yang berisi tafsir terhadap ayat-ayat
al-Qur’an. Orang yang paling memahami al-Qur’an adalah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Jadi, agar seorang mufassir tidak menyimpang tafsirnya, ia
wajib mengetahui hadits-hadits Nabi yang terkait dengan ayat yang ingin ia
tafsirkan.
8.
Mengetahui tafsir shahabat
Setelah Nabi, para shahabat lah yang paling mengetahui al-Qur’an,
karena mereka hidup di masa turunnya al-Qur’an, hari-hari mereka dihabiskan
dengan bersama Rasul, sang penerima wahyu. Jadi, seorang mufassir wajib
mengetahui tafsir para shahabat, dan menjadikannya sumber ketiga dalam
penafsiran al-Qur’an setelah al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW.
2.7 Corak
Penafsiran Alquran
Corak
penafsiran dalam literatur sejarah tafsir biasanya diistilahkan dalam bahasa
Arab yaitu “al-laun” yang arti “dasarnya warna”.[22]
Corak penafsiran yang dimaksud ialah nuansa khusus atau sifat khusus yang
memberikan warna tersendiri pada tafsir.[23]
Ada
7 corak penafsiran yang relatif digunakan para mufasir dalam menafsirkan
Al-Quran:
1. Tafsir Bercorak Sufi
Tafsir
bercorak sufi ialah tafsir dengan kecenderungan mentakwilkan Al-Quran selain
dari apa yang tersirat, dengan berdasarkan isyarat-isyarat yang nampak pada
ahli ibadah.[24]
Corak
tasawuf, akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari
kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap
kelemahan yang dirasakan. [25]
Dalam
perjalanannya, tafsir ini terbagi ke dalam dua bagian, yaitu:
a. Tafsir Sufi Isyari, yaitu penafsiran
Al-Quran dalam bentuk takwil, yakni penafsiran yang bersifat batini. Penafsiran
ini dapat diuji validitasnya ketika dibuktikan kesesuaiannya antara penafsiran
yang batini dengan kenyataan lahiriah.
b. Tafsir Sufi Nadzari, yaitu tafsir yang
dibangun atas premis-premis ilmiah yang diterapkan dalam penafsiran Al-Quran.
Sedangkan Tafsir Sufi Isyari tidak dibangun atas dasar premis-premis ilmiah. Ia
dibangun atas dasar riyadhah ruhiyyah, yaitu latihan-latihan spiritual yang dilakukan seorang sufi
hingga ia mencapai tingkat menemukan petunjuk melalui hati nuraninya.
Salah
karya yang menampilkan corak tafsir sufi adalah
1)
Tafsir Al-Quran al-Karim, karya Sahl al-Tustari (w.283 H);
2)
Haqa‟iq al-Tafsir, karya Abu Abd al-Rahman al-Sulami (w.412 H);
3)
Latha‟if al-Isyarah, karya al-Qusyairi, dan
4)
Ara‟is al-Bayan fī Haqa‟iq al-Qurann, karya al-Syirazi (w.606).[26]
2. Tafsir Bercorak Fiqh
Tafsir
bercorak fiqh ialah kecenderungan tafsir dengan metode fiqh sebagai basisnya,
atau dengan kata lain, tafsir yang berada di bawah pengaruh ilmu fiqh, karena
fiqih sudah menjadi minat dasar mufasirnya sebelum dia melakukan usaha
penafsiran.[27]Tafsir
semacam ini seakan-akan melihat Al-Quran sebagai kitab suci yang berisi
ketentuan perundang-undangan, atau menganggap Al-Quran sebagai kitab hukum.[28]
Corak
fiqih atau hukum, timbulnya akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya
mazhab-mazhab fiqih, yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran
pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.[29]
Faktor yang cukup mencolok berkaitan dengan kemunculan corak tafsir fiqh adalah
karya-karya yang menampilkan pandangan fiqh yang cukup sektarian, ketika kita
menemukan tafsir fiqh sebagai bagian dari perkembangan kitab-kitab fiqh yang
disusun oleh para pendiri madzhab. Meskipun begitu, ada pula sebagian yang
memberikan analisis dengan membandingkan perbedaan pandangan madzhab yang
mereka anut.[30]Contoh
: Abu as-Su’ûd Muhammad ibn Muhammad al-Hanafi, Irsyâd al-‘Aql as-Salîm Ilâ
Mazâya al-Kitâb al-Karîm;[31]
3. Tafsir Bercorak Lughowi
Tafsir bercorak Lughawi adalah sebuah
tafsir yang cendrung kebidang bahasa. Penafsirannya meliputi segi irab,
harakat, bacaan, pembentukan kata, susunan kalimat dan kesusastraannya. Tafsir
semacam ini selain menjelaskan maksud-maksud ayat-ayat Al-Quran juga
menjelaskan segi-segi kemukjizatannya.[32]
Corak sastra bahasa timbul akibat
banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama Islam, serta akibat
kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan
kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman
arti kandungan Al-Qur’an. Contoh: Abu as-Su’ûd Muhammad ibn Muhammad al-Hanafi,
Irsyâd al-‘Aql as-Salîm Ilâ Mazâya al-Kitâb al-Karîm;[33]
4. Tafsir Bercorak Sosial Masyarakat
Tafsir ini adalah tafsir yang
memiliki kecenderungan kepada persoalan sosial kemasyarakatan. Tafsir jenis ini
lebih banyak mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan
kebudayaan masyarakat yang sedang berlangsung. Corak tafsir ini berusaha
memahami teks Al-Quran dengan cara, pertama dan utama, mengemukakan
ungkapan-ungkapan Al-Quran secara teliti, selanjutnya menjelaskan makna-makna
yang dimaksud oleh Al-Quran tersebut dengan gaya bahasa yang indah dan menarik,
kemudian berusaha menghubungkan nash-nash Al-Quran yang tengah dikaji dengan
kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada. Pembahasan tafsir ini sepi dari
penggunaan istilah-istilah ilmu dan teknologi, dan tidak akan menggunakan
istilah-istilah tersebut kecuali jika dirasa perlu dan hanya sebatas kebutuhan.
[34]
5. Tafsir Bercorak Filsafat
Tafsir bercorak falsafi ialah
kecenderungan tafsir dengan menggunakan teori-teori filsafat, atau tafsir dengan dominasi
filsafat sebagai pisau bedahnya. Tafsir semacam ini pada akhirnya tidak lebih
dari deskripsi tentang teori-teori filsafat .[35]
Dalam melakukan tafsir Falsafi, dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: pertama
dengan metode takwil atas teks-teks agama dan hakikat umumnya yang sesuai
dengan pandangan-pandangan filosofis. Dan yang kedua dengan Metode pensyarahan
teks-teks agama dan hakikat hukumnya berdasarkan pandangan-pandangan filosofis.
[36]
Corak teologi dan atau filsafat,
timbulnya akibat penerjmahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak,
serta akibat masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang dengan
sadar atau tanpa sadar masih mempecayai beberapa hal dari kepercayaan lama
mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang tercermin
dalam penafsiran mereka.[37]
Ada
beberapa kitab tafsir falsafi seperti :
1)
Mafatih Al-Ghaib, karya Fakhr al-Razi (w. 606 H),
2)
Al-Isyarat, karya Imam al-Ghazali (w. 505 H)
3)
Rasail Ibn Sina, karya Ibn Sina (w. 370 H)[38]
6. Tafsir Bercorak Ilmu
Tafsir bercorak Ilmu adalah
kecenderungan menafsirkan Al-Quran dengan memfokuskan penafsiran pada kajian
bidang ilmu pengetahuan, yakni untuk menjelaskan ayat-ayat yang berkaitan
dengan Ilmu dalam Al-Quran.[39]
Corak penafsiran Ilmu, timbul akibat
kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha mufasir untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an
sejalan dengan perkembangan ilmu. Contoh: Asy-Syaikh Thanthâwi Jauhari (w. 1358
H), al-Jawâhir fî Tafsîr Al-Qur’ân al-Karîm;[40]
7. Tafsir Bercorak Teologi (Kalam)
Tafsir bercorak Teologi (Kalam) ialah
tafsir dengan kecendrungan pemikiran Kalam, atau tafsir yang memiliki warna
pemikiran kalam. Tafsir semacam ini merupakan salah satu bentuk penafsiran
Al-Quran yang tidak hanya ditulis oleh simpatisan kelompok Teologis tertentu,
tetapi lebih jauh lagi merupakan tafsir yang dimanfaatkan untuk membela sudut
pandang Teologi tertentu. Paling tidak tafsir model ini akan lebih banyak
membicarakan tema-tema Teologis dibandingkan mengedepankan pesan-pesan pokok
Al-Quran. Salah satu kitab tafsir yang bercorak Teologi adalah Tafsir
Mu‟tazilah.[41]
2.8 Contoh Ayat
Tafsir dan Ta’wil
2.8.1
Contoh Ayat Tafsir
Menafsirkan Al-Qur’an dengan As-Sunnah/Hadits
Contoh Surat Al-An’am ayat 82:
الذين آمنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم أولئك لهم الأمن وهم مهتدون
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka
dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan dan mereka
orang-orang yang mendapat petunjuk”
Kata “al-zulm” dalam ayat tersebut, dijelaskan oleh Rasul Allah saw
dengan pengertian “al-syirk” (kemusyrikan).
2.8.2
Contoh Ayat Takwil
Menurut Az-Zuhaili, di antara contoh takwil ialah taqyîd al-muthlaq
(pemberian batasan/syarat pada nash yang mutlak), takhshîsh al-‘âmm
(pengkhususan nash yang umum), dan pengalihan nash umum dari maknanya yang umum
ke makna khusus. Az-Zuhaili lalu mencontohkan takwil Imam Asy-Syafi’i terhadap
firman Allah Swt.:
وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
Janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa)
tampak darinya. (QS an-Nur [24]: 31).
Frasa illâ mâ zhahara minhâ asalnya bermakna umum (kecuali yang
tampak darinya). Lalu Imam Asy-Syafi’i menakwilkannya dengan, “illâ al-wajh wa
al-kaffayn” (kecuali wajah dan dua telapak tangannya). Takwil ini berdasarkan
hadis yanhg dituturkan Aisyah ra. bahwa Nabi saw. pernah berkata kepada Asma’
binti Abu Bakar:
«يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ
تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ
وَكَفَّيْهِ»
Hai Asma’, sesungguhnya wanita itu, jika sudah haid, tidak pantas
dilihat darinya kecuali ini dan ini (Nabi saw. menunjuk pada wajah dan kedua
telapak tangannya). (HR Abu Dawud).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang patut kita pelajari.
Metodologi tafsir Al-Qur’an adalah salah satu cara untuk mengkaji, memahami dan
menguak lebih jauh maksud dan kandungan dari ayat-ayat Al-Qur’an. Metode tafsir
yang adapun sangat beragam model, bentuk dan pendekatannya. Adalah
suatu hal yang sangat penting bagi kita untuk mengetahui dan memahami
macam-macam metode tafsir ayat Al-Qur’an
yang ada dengan berbagai macam pendekatannya, jika hal ini telah kita
ketahui, maka ayat-ayat Al-Qur’an
semakin hidup dan mampu untuk menjawab segala persoalan masyarakat
yang berkembang begitu cepat. Hal ini semakin mempertegas bahwa Al-Qur ’an
adalah wahyu Allah yang menjadi rujukan dan sumber utama
semua umat Islam.
Wallahu A’lam.
DAFTAR PUSTAKA
http://amirsabri.blogspot.co.id/2015/01/muhkam-dan-mutasyabih-a.html?m=1. Januari 2015. Muhkam dan Mutasyabih. 09 September 2017.
https://ebdaaprilia.wordpress.com/2013/05/21makalah-ulumul-quran-muhkam-mutasyabih/. 21 Mei 2013. Ulumul Qur’an(Muhkam Mutasyabih). 09 September 2017.
https://muslim.or.id/28026-apa-yang-dimaksud-dengan-muhkam-dan-mutasyabih-dalam-al-quran.html.
11 Mei 2016. Apa yang
Dimaksud dengan Muhkam dan Mutasyabih dalam Al Qur’an? 09 September 2017.
Iqbal, Mashuri
Sirojuddin., dan A. Fudlali. 1987. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung: ANGKASA
Bandung.
Saiful Amin
Ghofur. 2007. Profil Para Mufasir Al-Qur’an.Yogyakarta: Insan Madani.
Izzan, Ahmad, 2011. Metodologi Ilmu Tafsir: Bandung
:Tafakur
Mustaqim,
Abdul, 2005, Aliran Aliran Tafsir, dari Periode Klasik hingga
Kontemporer, Yogyakarta : Kreasi Warna
Kholid,
Abdul,2003, Kuliah Madzahib Al Tafsir. IAIN Sunan Ampel Surabaya: Fakultas
Ushuluddin.
Ilyas, Yunahar, 2014, Kuliah Ulumul Quran. Yogyakarta : ITQAN
Publishing
Al-hay Al
Farmawi, Abdul, 1996, Metode Tafsir Maudhu’i, Jakarta: Raja Grafindo
Persada
[1]
Al-Jurjani, At-Ta’rifs, At-Thaba’ah wa An-Nasyr wa At-Tauzi, Jeddah,t.t., hlm.
63; Muhammad Husein Al-Dzahabi, At-Tafsir wa Al-Mufassirun, juz I, Dar
AlAl-Maktub Al-Haditsah, Mesir, 1976, hlm. 13.
[2]
Ash-Shiddieqy, TM Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran, Jakarta, Bulan
Bintang, bandung, hlm. 178.
[3]
Ibid.
[4]
Adz-Dzahabi, op. Cit., hlm. 14.
[5]
Lihat Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum Al-Quran, Mansyurat Al-Ashr
Al-Hadis, 1973, hlm. 324.
[6]
Ibid., hlm. 50.
[7]
Muhammad Az-Zarqani, Manahil Al-Irfan fi’Ulum Al-Quran, juz I, Isa Al-Baby
Al-Halabi, Mesir, t.t., hlm. 4-5
[8]
Al-Jurjani, loc. Cit.
[9]
Ash Shiddieqy, op. Cit., hlm. 180.
[10]
Adz-Dzabi, op. Cit., hlm. 17.
[11]
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, jakarta, 1984, hlm.
1062
[12]
Al-Itqan, jilid 2, halaman 173
[13]
Al-Itqan, jilid 2, halaman 175
[14]
Lihat al-Tafsir wa al-Mufassirin karya Dr. al-Dzahabi, 1/14
[15]
Lihat misalnya Mafatih al-Ghaib karya al-Fakhrurrazi.
[16] Qawl al-Mukhtashar al-Mubîn Fî
Manâhij al-Mufassirîn karya Abu 'Abdillah, Muhammad al-Hamûd an-Najdiy,
Hal.9-11)
[22]
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir: Tafakur, 2011, hal. 199
[23]
Abdul Mustaqim, Aliran Aliran
Tafsir, dari Periode Klasik hingga
Kontemporer, Yogyakarta : Kreasi Warna,
2005,hal. 69
[24]
Adul Kholid, Kuliah Madzahib Al Tafsir. IAIN Sunan Ampel Surabaya: Fakultas
Ushuluddin. 2003, hal. 56
[25]
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Quran.
Yogyakarta : ITQAN Publishing, 2014, hal. 285
[26] Abd.
Al-hay Al Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996, hal. 18
[27]
Abdul Mustaqim, Op.cit.,70
[28] Taufik
Adnan Amal, dkk. Tafsir Kontekstual Al-Quran, Bandung: Mizan, 1990, hal. 24.
[29]
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Quran. Yogyakarta : ITQAN Publishing, 2014, hal.
284
[30] Abd.
Al-hay Al Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu‟iy, hal. 18
[31]
Yunahar Ilyas, Op.cit., 284
[32] Abd.
Kholid, Kuliah Madzahib al-Tafsir, IAIN Sunan Ampel Surabaya: Fakultas
Ushuluddin, 2003, hal. 61
[33]
Yunahar Ilyas, Op.cit., hal. 284
[34] Muhammad
Husein al-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, Juz III,. hal. 214
[35]
Ibid
[36] Rosihon
Anwar, Ilmu Tafsir, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2005, hal, 170
[37]
Yuniar Ilyas, Kuliah Ulumul Quran. Yogyakarta : ITQAN Publishing, 2014, hal. 284
[38]
Ibid
[39] Abd.
Kholid, Kuliah Madzahib Tafsir., hal. 69
[40]
Yuniar Ilyas, hal. 285
[41] Abdul
Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir., hal. 70
Komentar
Posting Komentar